Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Pemerintah Harus Segera Ambil Sikap

Terkait Polemik Penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah

JAYAPURA-Belum juga diketok palu, penetapan ibu kota Papua Tengah antara Nabire atau Timika menjadi persoalan. Dua kabupaten ini yaitu Kabupaten Nabire dan Mimika, menginginkan menjadi ibu kota di Papua Tengah apabila nanti dimekarkan.

Terkait penempatan ibu kota Papua Tengah, pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak Papua yang juga Ketua DPC Peradi Kota Jayapura, Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH mempunyai pengamatan tersendiri.

Menurut Raharusun, jika melihat dari aspek Undang-Undang 45 tahun 1999 dimana dulunya bernama Provinsi Irian Jaya Tengah yang terdiri dari beberapa kabupaten yakni Biak Numfor, Yapen Waropen, Nabire, Paniai dan Kabupaten Mimika.

Jika sekarang terjadi polemik tarik ulur antara pembentukan berdasarkan UU 45 tahun 1999, dengan semangat dari masing masing daerah membentuk ibu kota apakah Nabire atau Timika, maka itu menjadi ranah kewenangan dari pemerintah untuk menentukan itu.

Sehingga menurut Raharusun, pembentukan provinsi baru tidak berdasarkan lagi pada UU 45 tahun 1999. Dengan catatan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru melalui UU pembentukan Provinsi Papua Tengah yang nantinya apakah ibu kotanya berkedudukan di Timika atau di Nabire.

“Dengan terjadinya polemik seperti ini, pemerintah harus menentukan sikap melalui UU. Jika aspirasi itu datangnya dari masyarakat, maka hal ini bukan sesuatu yang dipolitisir. Kewenangan provinsi baru berdasarkan UU Otsus Papua maupun PP 106 itu menjadi dua opsi. Berdasarkan prakarsa daripada pemerintah pusat dan DPR RI kemudian juga pemekaran berdasarkan usulan pemerintah daerah,” ungkap Anthon kepada Cenderawasih Pos, Rabu (16/2).

Baca Juga :  Maju Pilkada, Dua Pj. Bupati di Papua Ajukan Pengunduran Diri 

Yang menjadi pertanyaan lanjut Anthon, apakah usulan pemekaran yang ada di wilayah Timika maupun Nabire dalam rangka Otsus atau dalam rangka otonomi daerah ? Jika usulan itu dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka itu menjadi ranah kewenangan pemerintah pusat dan DPR RI. Namun jika itu dalam rangka Otsus, maka harus ada kewenangan MRP dan DPRP atas persetujuan Guberbnur Papua selaku wakil pemerintah pusat yang ada di daerah.

“Jika saat ini pemerintah mau membentuk lagi provinsi-provinsi baru, maka UU 45 dicabut, kemudian pemerintah membentuk UU baru yang mengatur tentang pembentukan provinsi. Apakah Papua Tengah ibu kotanya berkedudukan di Nabire atau Timika, yang pasti, dilihat dari kesiapan sosial budaya harus dipertimbangkan,” tuturnya.

Terlebih kata Anthon, apakah masyarakat di dua kabupaten ini (Nabire dan Timika-red)  secara kesiapannya sosial budaya, sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan masa mendatang. “Tentunya harus dilihat daerah mana yang  itu kira-kira paling siap,” ujarnya.

Selain itu lanjut Anthon, apakah benar-benar masyarat dan pemerintah daerah setempat sudah mempersiapkan diri menata pemekaran provinsi baru tersebut ?

“Saya melihat pemekaran saat ini belum terlalu urgent, tidak menjadi satu kebutuhan masyarakat. Karena pemerintah baru saja melakukan penataan kembali terhadap pelaksanaan  Otsus dengan peningkatan sumber penerimaan Papua,” kata Anthon.

Baca Juga :  Apotek dan Dokter Praktek Umum Tetap Buka Seperti Biasa

Untuk menyelesaikan polemik penetapan ibu kota  Papua Tengah ini, Raharusun menyampaikan sarannya agar Pemerintah Provinsi Papua maupun kabupaten/kota harusnya fokus untuk melaksanakan Otsus dengan baik. Sebab pemekaran bukan persoalan utama daripada kebijakan di Papua. Persoalan utama adalah bagaimana meningkatkan akselarasi pembangunan di Papua dalam rangka mengoptimalkan Otsus.

“Saat ini, belum saatnya pemekaran di Papua itu dilakukan. Sebaiknya pemerintah menata kembali Otsus walupun memang dalam UU Otsus UU nomor 21 maupun perubahan UU nomor 2 tahun 2021 atau peraturan pemerintah nomor 106 tahun 2021 mengatur mekanisme pemekaran. Tetapi sebaiknya berbagai kebijakan baru Presiden perlu ditata kembali,” sarannya.

Pemekaran provinsi baru di Papua menurutnya sebaiknya dipending hingga pemerintah melaksanakan Otsus secara baik. Setelah itu barulah  berpikir pemekaran dengan sungguh sungguh memperhatikan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi masyarakat dan bagaimana melihat perkembangan Papua ke depan.

“Kebijakan pemekaran memang bukan hal yang tabu karena diatur dalam UU, hanya saja untuk saat ini menurut saya belum waktunya untuk melakukan pemekaran di Provinsi Papua. Pemerintah Papua harus fokus melaksanakan kebijakan baru dari pemerintahan Jokowi dalam rangka penataan Otsus di Papua,” pungkasnya. (fia/nat)

Terkait Polemik Penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah

JAYAPURA-Belum juga diketok palu, penetapan ibu kota Papua Tengah antara Nabire atau Timika menjadi persoalan. Dua kabupaten ini yaitu Kabupaten Nabire dan Mimika, menginginkan menjadi ibu kota di Papua Tengah apabila nanti dimekarkan.

Terkait penempatan ibu kota Papua Tengah, pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak Papua yang juga Ketua DPC Peradi Kota Jayapura, Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH mempunyai pengamatan tersendiri.

Menurut Raharusun, jika melihat dari aspek Undang-Undang 45 tahun 1999 dimana dulunya bernama Provinsi Irian Jaya Tengah yang terdiri dari beberapa kabupaten yakni Biak Numfor, Yapen Waropen, Nabire, Paniai dan Kabupaten Mimika.

Jika sekarang terjadi polemik tarik ulur antara pembentukan berdasarkan UU 45 tahun 1999, dengan semangat dari masing masing daerah membentuk ibu kota apakah Nabire atau Timika, maka itu menjadi ranah kewenangan dari pemerintah untuk menentukan itu.

Sehingga menurut Raharusun, pembentukan provinsi baru tidak berdasarkan lagi pada UU 45 tahun 1999. Dengan catatan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru melalui UU pembentukan Provinsi Papua Tengah yang nantinya apakah ibu kotanya berkedudukan di Timika atau di Nabire.

“Dengan terjadinya polemik seperti ini, pemerintah harus menentukan sikap melalui UU. Jika aspirasi itu datangnya dari masyarakat, maka hal ini bukan sesuatu yang dipolitisir. Kewenangan provinsi baru berdasarkan UU Otsus Papua maupun PP 106 itu menjadi dua opsi. Berdasarkan prakarsa daripada pemerintah pusat dan DPR RI kemudian juga pemekaran berdasarkan usulan pemerintah daerah,” ungkap Anthon kepada Cenderawasih Pos, Rabu (16/2).

Baca Juga :  PON Papua Terancam Ditunda

Yang menjadi pertanyaan lanjut Anthon, apakah usulan pemekaran yang ada di wilayah Timika maupun Nabire dalam rangka Otsus atau dalam rangka otonomi daerah ? Jika usulan itu dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka itu menjadi ranah kewenangan pemerintah pusat dan DPR RI. Namun jika itu dalam rangka Otsus, maka harus ada kewenangan MRP dan DPRP atas persetujuan Guberbnur Papua selaku wakil pemerintah pusat yang ada di daerah.

“Jika saat ini pemerintah mau membentuk lagi provinsi-provinsi baru, maka UU 45 dicabut, kemudian pemerintah membentuk UU baru yang mengatur tentang pembentukan provinsi. Apakah Papua Tengah ibu kotanya berkedudukan di Nabire atau Timika, yang pasti, dilihat dari kesiapan sosial budaya harus dipertimbangkan,” tuturnya.

Terlebih kata Anthon, apakah masyarakat di dua kabupaten ini (Nabire dan Timika-red)  secara kesiapannya sosial budaya, sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan masa mendatang. “Tentunya harus dilihat daerah mana yang  itu kira-kira paling siap,” ujarnya.

Selain itu lanjut Anthon, apakah benar-benar masyarat dan pemerintah daerah setempat sudah mempersiapkan diri menata pemekaran provinsi baru tersebut ?

“Saya melihat pemekaran saat ini belum terlalu urgent, tidak menjadi satu kebutuhan masyarakat. Karena pemerintah baru saja melakukan penataan kembali terhadap pelaksanaan  Otsus dengan peningkatan sumber penerimaan Papua,” kata Anthon.

Baca Juga :  Suhu Panas Sampai Akhir Oktober

Untuk menyelesaikan polemik penetapan ibu kota  Papua Tengah ini, Raharusun menyampaikan sarannya agar Pemerintah Provinsi Papua maupun kabupaten/kota harusnya fokus untuk melaksanakan Otsus dengan baik. Sebab pemekaran bukan persoalan utama daripada kebijakan di Papua. Persoalan utama adalah bagaimana meningkatkan akselarasi pembangunan di Papua dalam rangka mengoptimalkan Otsus.

“Saat ini, belum saatnya pemekaran di Papua itu dilakukan. Sebaiknya pemerintah menata kembali Otsus walupun memang dalam UU Otsus UU nomor 21 maupun perubahan UU nomor 2 tahun 2021 atau peraturan pemerintah nomor 106 tahun 2021 mengatur mekanisme pemekaran. Tetapi sebaiknya berbagai kebijakan baru Presiden perlu ditata kembali,” sarannya.

Pemekaran provinsi baru di Papua menurutnya sebaiknya dipending hingga pemerintah melaksanakan Otsus secara baik. Setelah itu barulah  berpikir pemekaran dengan sungguh sungguh memperhatikan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi masyarakat dan bagaimana melihat perkembangan Papua ke depan.

“Kebijakan pemekaran memang bukan hal yang tabu karena diatur dalam UU, hanya saja untuk saat ini menurut saya belum waktunya untuk melakukan pemekaran di Provinsi Papua. Pemerintah Papua harus fokus melaksanakan kebijakan baru dari pemerintahan Jokowi dalam rangka penataan Otsus di Papua,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya