MERAUKE-Memperingati hari Galungan, Umat Hindu Kabupaten Merauke menggelar sembahyang di Pura Amartasari, Rabu (10/11) malam. Sembahyang yang dilakukan di Pura Amartasari ini setelah Umat Hindu melaksanakan doa yang sama di pura dan rumah masing-masing pada pagi harinya.
“Sembahyang yang digelar ini merupakan gabungan dari seluruh umat Hindu yang dapat dijangkau ke Kota Merauke,” kata Ketua Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Merauke I Wayan Suwasta, SE, seusai sembahyang bersama di Pura Amartasari Merauke, Rabu malam.
Sembahyang di Pura Amartasari tersebut dilakukan secara khusuk dimulai sekitar pukul 18.00 WIT dengan prokes. Berlangsung sekitar 1 jam, sembahyang yang dipimpin Pandite Sangraha Nusantara (PSN) Mangkuduwiyono. I Wayan Suwasta menjelaskan agama Hindu memiliki 3 kerangka agama Hindu yang disebut filosofi, etika dan upacara.
“Kalau kita bicara filosofinya galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan adharma atau pelawan baik melawan perbuatan yang tidak baik,” jelasnya.
Menurut dia, setiap hari manusia berperang terhadap perbuatan yang tidak baik yang muncul atau timbul dari dalam diri sendiri yang sebut sadriku yang menurut agama Hindu manusia mempunyai 6 musuh pada diri sendiri diantaranya momo, iri hati, loba dan semacamnya. ‘’Itu yang kita lawan setiap hari. Hawa nafsu yang tidak benar itu yang kita lawan setiap hari yang di sebut adharma,” jelasnya.
Dikatakan, hari galungan diperingati setiap 210 hari, karena hari raya ini dihitung kalender Bali yang disebut perhitungan dasaware. Tapi khusus hari galungan dihitung dari pancaware dan saptaware. “Kalau kita bicara hari galungan itu kita sudah bicara soal etika. Filosofinya, kita merayakan kemenangan dharma secara etika bahwa galungan ini harus dirayakan di tempat suci seperti pura kecil dan pura besar,” terangnya.
Dikatakan, galungan merupakan rangkaian perayaaan. Dimana 25 hari sebelum Galungan disebut tumpek bubuk. Pada saat itulah dilakukan pembersihan dengan menanam buah-buahan , menanam biji-bijian yang dibutuhkan sebagai sarana sembahyang seperti yang dilakukan pada perayaan hari Galungan tersebut. “Itu adalah aksi menjaga alam,” terangnya.
Rangkaian kedua adalah penyucian alam yang disebut Sugian Jawa. Sugian Jawa adalah penyucian secara makro, dimana alam dibersihkan lebih dulu setelah ditanami dengan tanaman buah-buahan. “Tapi sering orang salah pengertian pikir Sugian Jawa itu orang Hindu dari Jawa. Tidak, tapi pembersihan dunia ini bersama isinya. Besoknya pada hari Jumat, dilakukan pembersihan diri yang dilakukan di keluarga masing-masing.’Karena kita anggap diri ini alam yang kecil atau mikro cosmos,” jelasnya.
Setelah kedua penyucian itu dilakukan, maka pada hari Minggu dilanjutkan dengan penyekabang dimana keadaan atau situasi melawan A Dharma, karena menurut agama Hindu diturunkan 3 budek galungan yang disebut adharma atau sifat-sifat tidak bagus. ‘’Pada hari minggu itulah dilakukan pengendalian pada pikiran. Hari Seninnya kita melakukan penajahan yakni dari bahan yang tidak jadi menjadi bahan yang jadi supaya menjadi sesajen.”ungkapnya.
“Secara nyatanya mikro cosmos, disitu kita mengendalikan pembicaraan kita. Kita sudah mulai mengendalikan bicara kita dan hari Selasa adalah hari penambahan galungan yang identik pemotongan babi. Dimana mengambil babi itu sebagai simbol binatang dimana sifat-sifat kebinatangan kita hancurkan.” Jelasnya.
“Penyucian pada pikiran, penyucian pada pembicaraan dan terakhir penyucian pada perbuatan. Tiga ini yang kita laksanakan setelah penyucian.”terangnya.
Jika ini semua dilalui maka semua umat yang melaksanakan rangkaian berhak untuk datang ke tempat suci untuk merasakan kebahagiaan menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kekuatan, ketulusan, dan anugrah yang lainnya sampai bisa melewati tantangan-tantangan. ‘’Jadi hari ini khusus upacara penyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita telah memenangkan Dharma,’’ pungkasnya. (ulo/tri)