Mengikuti Diskusi Sejarah Asal-usul Orang Asli PApua
Hingga saat ini orang Papua belum mengetahui pasti persebaran dan asal mula nenek moyangnya yang dibuktikan dengan akurat melalui penelitian yang pasti dan akurat, maka beberapa alumni Antropologi Universitas Cenderawasih menggagas sebuah pertemuan, untuk mendiskusikan asal-usul orang asli Papua (OAP). Apa saja yang terungkap ?
Laporan : Noel Wenda
Ya, hingga kini belum ada cendikiawan Papua yang berani mempublikasikan hasil studinya. Sehingga hal ini membuat sampai orang Papua hanya menerima hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan bukan dari Papua maupun Indonesia tetapi dan luar negeri.
” Masyarakat juga disebut kesulitan untuk mengakses referensi yang sah, Kalau pun ada, biasanya studi tentang Papua dibuat ilmuwan Barat dan berbasis pada masing-masing suku,” ujar sala satu pemateri Daniel Randongkir pada diskusin Sabtu, (16/3) di Museum Loka Budaya Uncen, Abepura.
Pemerintah Provinsi Papua perlu serius untuk melibatkan beberapa akademisi, ilmuwan untuk meneliti sejarah orang Papua dan penyebarannya sehingga ada sebuah dasar sejarah yang bisa kita pegang dan membantah beberapa ilmuwan barat yang menyebut asal usul orang Papua tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Tidak hanya pembangunan yang di pikir pemerintah tetapi pemerintah juga harus melibatkan peneliti dan melengkapi peralatan sekalipun Harus dipanggil dari luar negeri Karena alat tersebut tidak ada di sini ini perlu diperhatikan pemerintah,” ujarnya.
Dalam Diskusi yang menghadirkan mahasiswa antropologi dan pemuda dan masyarakat lainnya ia mengatakan dari riset yang diperolehnya, nenek moyang orang Melanesia, termasuk yang tinggal di Papua, meninggalkan Afrika sejak 72.000 tahun yang lalu. Mereka berkelana dari Asia 47.000–35.000 tahun yang lalu. Kemudian mereka berpisah dengan orang Aborigin di Australia, dan orang Papua menetap di daratan Papua hingga sekarang.
” Hampir 255 suku asli yang mendiami Papua mereka memiliki pandangan tersendiri tentang asal-usulnya, Itu kita sebut sebagai pandangan lokal dan yang tadi migrasi itu pandangan globalnya,” ujar Randongkir.
Namun demikian untuk literatur tentang pandangan lokal, katanya masih terbatas. Maka jika berbicara tentang identitas orang Papua, ada pada tiap suku atau marga.
“Jadi selama ini identitas Papua secara keseluruhan itu belum ada, meraka ini hidup terpisah juka di pengaruhi perbedaan pemahaman dan budayah antara masing-masing suku. Itu juga menjadi tantangan buat kita,” katanya.
Peneliti dari Balar Papua, yang juga Arkeolog Papua, Marlin Tola perlu adanya diskusi seperti ini Sehingga Pemuda Papua dan masyarakat dapat mengetahui dan memahami asal-usul mereka secara ilmu pengetahuan bukan berdasarkan taksiran masing-masing suku yang selama ini ada di Papua.
“Ini merupakan wadah bersama, untuk memikirkan dan mensharingkan pengetahuan soal asal-usul orang Papua, mengingat karakteristik dan suku di Papua beragam, Wadah seperti ini sangat bagus sekali untuk menyatukan pendapat, visi,” paparnya.
Dikatakan pihaknya bersama Balar Papua tidak cukup data untuk mengungkapkan teori Out of Africa atau Out of Taiwan karena itu, dia berharap agar dapat terungkap pasca penelitian tentang migrasi dengan spesialisasi soal morfologi dikaitkan dengan material budaya, yang sedang dikerjakanny bahkan dalam melakukan riset di Papua, Balar tentu terkendala dengan kondisi geografis yang menantang. Apalagi penelitinya hanya delapan orang.
Pemateri lainya Andy Tagihuma, yang mengatakan memang menurut teori Out of Africa, orang Papua bermigrasi dari Afrika ini berdasarkan temuan fosil tertua di Afrika, seandainya ada fosil yang lebih tua ditemukann di Papua, tentu saja nanti teori tentang Out of Afrika akan berubah menjadi Out of Papua.
Namun, tiap suku mempunyai pandangan tersendiri tentang awal mula kehidupan. Misalnya, ada suku yang mengatakan Amungme, Anim-Ha, Asmat O, Ap Yali, Ap Hubula, ini artinya bahwa mereka adalah manusia sejati, manusia yang utuh. Mereka manusia yang hadir di wilayah tersebut sejak dahulu kala dan tidak berasal dari luar Papua.
“Konsep itu juga menunjukkan bahwa suku tersebut menghargai keberadaan suku yang lainnya, mereka tidak akan masuk ke wilayah suku lain, sehingga tidak ada suku yang memonopoli suku yang lain. Masing-masing berada di wilayahnya, dan saling menghargai,” kata Andy.
Dia menyarankan agar tiap suku dengan pandangan lokalnya didokumentasikan dengan baik. Dengan begitu tiap suku saling mengenal sejarahnya masing-masing. Pemerintah juga harus mendorong upaya tersebut, sehingga sejarahnya ada–sejarah masa lalu Papua yang utuh.
Meski terdapat jejak prasejarah berupa lukisan dinding batu di Fakfak, Raja Ampat, Biak, Wamena, dan Jayapura, serta beberapa fosil tertua, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dianggap belum memfokuskan penelitiannya di Papua.
Ia juga meminta kepada masyarakat Papua, khususnya pemuda untuk bisa belajar sejarah lelurnya dengan dengan data yang harus di pertangungjawabkan.(*/wen)