Friday, November 14, 2025
26.4 C
Jayapura

Semangat Lex Specialis Papua Tempatkan Nilai-nilai lokal sebagai Unsur Penting

Menata Ulang Ruang Ekspresi Publik di Kota Jayapura Sejalan Semangat Otsus

Aksi demo di Kota Jayapura yang sering berujung anarkis menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat. Karena itu, Pemkot Jayapura mendorong kesepakatan dengan masyarakat adat di 14 kampung untuk tidak melakukan aksi palang dan demo di Kota Jayapura selama kepemimpinan Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo 5 tahun ke depan.

Laporan: Jimianus Karlodi_Jayapura

Rencana pemerintah kota Jayapura untuk menertibkan kegiatan penyampaian aspirasi masyarakat di ruang publik memunculkan perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Sebagian pihak menilai langkah ini sebagai upaya menjaga ketertiban dan kenyamanan bersama untuk seluruh masyarakat yang ada di Kota Jayapura. Hal ini pun menuai pro dan kontra, tak sedikit orang khawatir kebijakan tersebut berpotensi membatasi ruang warga untuk mengungkapkan pandangan secara terbuka.

Baca Juga :  Kapolda Geram, Pendemo HAM di Nabire Lakukan Rudapaksa

Dalam perspektif Hukum Tata Negara, persoalan ini bukan semata tentang boleh atau tidak boleh, melainkan bagaimana menyeimbangkan antara hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjaga ketertiban umum.

Lily Bauw (Foto: Jimi/Cepos)

Dosen Hukum Tata Negara Uncen, Lily Bauw menjelaskan kegiatan penyampaian aspirasi di depan umum dilindungi oleh Konstitusi melalui Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Namun Pasal 28 j ayat (2) menegaskan bahwa setiap kebebasan memiliki batas, yaitu penghormatan terhadap hak orang lain, moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

“Dengan demikian, kebebasan berpendapat bukanlah hak yang berdiri sendiri; ia diatur agar dapat dijalankan secara tertib dan bertanggung jawab,” kata Lily dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/11).

Baca Juga :  Jadikan Koya Timur Lumbung Budidaya Ikan Nila

Lily menerangkan dalam praktik ketatanegaraan, pemberitahuan sebelum aksi sebetulnya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab bersama antara warga dan pemerintah.

Negara tidak meminta izin atas kebebasan berpendapat, melainkan memastikan agar ruang publik dapat dikelola secara aman dan tertib. Adapun tantangannya kata dosen hukum tata negara itu terletak pada bagaimana prosedur pemberitahuan diimplementasikan agar tidak bergeser dari fungsi pengaturan menuju pembatasan yang tidak perlu.

Menata Ulang Ruang Ekspresi Publik di Kota Jayapura Sejalan Semangat Otsus

Aksi demo di Kota Jayapura yang sering berujung anarkis menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat. Karena itu, Pemkot Jayapura mendorong kesepakatan dengan masyarakat adat di 14 kampung untuk tidak melakukan aksi palang dan demo di Kota Jayapura selama kepemimpinan Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo 5 tahun ke depan.

Laporan: Jimianus Karlodi_Jayapura

Rencana pemerintah kota Jayapura untuk menertibkan kegiatan penyampaian aspirasi masyarakat di ruang publik memunculkan perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Sebagian pihak menilai langkah ini sebagai upaya menjaga ketertiban dan kenyamanan bersama untuk seluruh masyarakat yang ada di Kota Jayapura. Hal ini pun menuai pro dan kontra, tak sedikit orang khawatir kebijakan tersebut berpotensi membatasi ruang warga untuk mengungkapkan pandangan secara terbuka.

Baca Juga :  Lokasi yang Dulu Rawa Kini Jadi Tempat yang Menginspirasi

Dalam perspektif Hukum Tata Negara, persoalan ini bukan semata tentang boleh atau tidak boleh, melainkan bagaimana menyeimbangkan antara hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjaga ketertiban umum.

Lily Bauw (Foto: Jimi/Cepos)

Dosen Hukum Tata Negara Uncen, Lily Bauw menjelaskan kegiatan penyampaian aspirasi di depan umum dilindungi oleh Konstitusi melalui Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Namun Pasal 28 j ayat (2) menegaskan bahwa setiap kebebasan memiliki batas, yaitu penghormatan terhadap hak orang lain, moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

“Dengan demikian, kebebasan berpendapat bukanlah hak yang berdiri sendiri; ia diatur agar dapat dijalankan secara tertib dan bertanggung jawab,” kata Lily dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/11).

Baca Juga :  Buat Sertifikat Tanah Berbelit, Warga Minta BPN Tidak Menipu Masyarakat

Lily menerangkan dalam praktik ketatanegaraan, pemberitahuan sebelum aksi sebetulnya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab bersama antara warga dan pemerintah.

Negara tidak meminta izin atas kebebasan berpendapat, melainkan memastikan agar ruang publik dapat dikelola secara aman dan tertib. Adapun tantangannya kata dosen hukum tata negara itu terletak pada bagaimana prosedur pemberitahuan diimplementasikan agar tidak bergeser dari fungsi pengaturan menuju pembatasan yang tidak perlu.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/