Friday, November 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Tapera Bentuk Penindasan bagi Rakyat

Ekonom Uncen: Kebijakan yang Harus Dikaji Secara Detail

JAYAPURA-Pada 20 Mei 2024 lalu Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Hadirnya Peraturan tersebut memantik amarah dari berbagai pihak, karena dianggap kebijakan yang tidak efektif, serta dilakukan hanya atas kepentingan politik para elit.

Dekan Fakultas Ekonomi (FEB) Univeristas Cendrawasih (Uncen) Mesak Iek mengatakan progam ini bentuk penindasan kepada masyarkat miskin. Karena dibentuk tanpa adanya sosialisasi serta arah dari kebijakannyapun tidak jelas.

Sehingga dia pun menilai progam Tapera ini hanya dibentuk karena faktor kepentinga para elit, tanpa memikirkan nasib rakyat miskin.

“Progam ini kan sama dengan BPJS, kita bayar setiap bulan tapi kita tidak gunakan, entah uang kita selama ini dikemanankan kita juga tidak tahu,” kata Mesak, Senin (3/6).

Lebih lanjut jika mekanisme dari progam Tapera tersebut diperuntukan bagi semua pekerja dengan gaji UMR, maka ini akan memberikan dampak buruk pada progam pembangunan di Indonesia. Pasalnya dengan besaran UMR di Indonesia yang tidak lebih dari Rp. 5 juta, lalu kemudian gaji dipotong dengan besaran yang telah dituangkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Program Tapera.

Baca Juga :  Menjadi Preseden Buruk  di Dunia Kesehatan

Maka sama halnya negara mengambil hak masyarakat miskin, tanpa adanya  jelas peruntukannya dari aturan tersebut.

Lain cerita kata Mesak, jika gaji para elit di pemerintah pusat itu dipotong untuk membangun rumah rakyat. Maka progam Tapera ini dinilai sangat penting dilakukan. Namun dengan kebijakan tersebut yang mana akan memotong gaji karyawan dengan gaji maksimum, maka konsep tersebut justru memperlambat pembangunan.

“Progam Tapera ini sangat jelas adanya kepentingan politik, saya kira ini perlu dikaji kembali,” harapnya.

Sehingga kemudian tidak membebankan rakyat menengah, yang jelas-jelas upah kerjanya hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari hari.

Lalu kalau misalnya gaji karyawan yang gajinya hanya Rp. 4 juta misalnya kemudian dipotong, 2,5 persen maka potongannya setiap bulan sebesar Rp. 100 ribu, dengan besaran itu, pertanyaanya butuh berapa ratusan tahun baru bisa beli rumah yang harganya sekarang kisaran ratusan juta rupiah,” kata Mesak.

Baca Juga :  Bea Cukai: PLBN Skow Berpotensi Jadi Pusat Ekonomi Baru Papua

Sehingga diapun menegaskan kebijakan progam Tapera ini tidak serta merta diputuskan menjadi aturan. Sebab jika telah diundangkan, maka akan menjadi kebwajiban yang harus dipenuhi masyarakat.

Padahal masyarakat saat ini masih banyak yang susah karena upah kerjanya tidak sesuai dengan UMP, adapun yang sesuai UMP namun itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari. Namun dengan adanya kebijakan ini, maka pekerja akan semakin melarat.

“Saya harap kebijakan ini tidak serta merta dijalankan, tapi harus dikaji secara detail, sehingga tidak terkesan hanya untuk menindas rakyat kecil,” pungkasnya (rel/wen)

Ekonom Uncen: Kebijakan yang Harus Dikaji Secara Detail

JAYAPURA-Pada 20 Mei 2024 lalu Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Hadirnya Peraturan tersebut memantik amarah dari berbagai pihak, karena dianggap kebijakan yang tidak efektif, serta dilakukan hanya atas kepentingan politik para elit.

Dekan Fakultas Ekonomi (FEB) Univeristas Cendrawasih (Uncen) Mesak Iek mengatakan progam ini bentuk penindasan kepada masyarkat miskin. Karena dibentuk tanpa adanya sosialisasi serta arah dari kebijakannyapun tidak jelas.

Sehingga dia pun menilai progam Tapera ini hanya dibentuk karena faktor kepentinga para elit, tanpa memikirkan nasib rakyat miskin.

“Progam ini kan sama dengan BPJS, kita bayar setiap bulan tapi kita tidak gunakan, entah uang kita selama ini dikemanankan kita juga tidak tahu,” kata Mesak, Senin (3/6).

Lebih lanjut jika mekanisme dari progam Tapera tersebut diperuntukan bagi semua pekerja dengan gaji UMR, maka ini akan memberikan dampak buruk pada progam pembangunan di Indonesia. Pasalnya dengan besaran UMR di Indonesia yang tidak lebih dari Rp. 5 juta, lalu kemudian gaji dipotong dengan besaran yang telah dituangkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Program Tapera.

Baca Juga :  Pemda Jayawijaya Ingin Wujudkan Peningkatan SDM Masyarakat

Maka sama halnya negara mengambil hak masyarakat miskin, tanpa adanya  jelas peruntukannya dari aturan tersebut.

Lain cerita kata Mesak, jika gaji para elit di pemerintah pusat itu dipotong untuk membangun rumah rakyat. Maka progam Tapera ini dinilai sangat penting dilakukan. Namun dengan kebijakan tersebut yang mana akan memotong gaji karyawan dengan gaji maksimum, maka konsep tersebut justru memperlambat pembangunan.

“Progam Tapera ini sangat jelas adanya kepentingan politik, saya kira ini perlu dikaji kembali,” harapnya.

Sehingga kemudian tidak membebankan rakyat menengah, yang jelas-jelas upah kerjanya hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari hari.

Lalu kalau misalnya gaji karyawan yang gajinya hanya Rp. 4 juta misalnya kemudian dipotong, 2,5 persen maka potongannya setiap bulan sebesar Rp. 100 ribu, dengan besaran itu, pertanyaanya butuh berapa ratusan tahun baru bisa beli rumah yang harganya sekarang kisaran ratusan juta rupiah,” kata Mesak.

Baca Juga :  Dua Kubu Minta Perang Tiga Hari

Sehingga diapun menegaskan kebijakan progam Tapera ini tidak serta merta diputuskan menjadi aturan. Sebab jika telah diundangkan, maka akan menjadi kebwajiban yang harus dipenuhi masyarakat.

Padahal masyarakat saat ini masih banyak yang susah karena upah kerjanya tidak sesuai dengan UMP, adapun yang sesuai UMP namun itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari. Namun dengan adanya kebijakan ini, maka pekerja akan semakin melarat.

“Saya harap kebijakan ini tidak serta merta dijalankan, tapi harus dikaji secara detail, sehingga tidak terkesan hanya untuk menindas rakyat kecil,” pungkasnya (rel/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya