Kedua tim menyadari kesalahan sekecil apapun di lini tengah bisa berujung fatal. Karena itu, gelandang menjadi kunci utama, bukan hanya dalam membangun serangan, tapi juga menjaga keseimbangan permainan.
Jika biasanya pertandingan besar ditentukan striker atau bek tangguh, kali ini spotlight justru jatuh ke lini tengah. Mereka adalah arsitek di balik setiap fase permainan yang menentukan arah laga.
Para gelandang PSG dan Inter seakan memberi pelajaran otak lebih penting dari otot. Mereka menunjukkan kecerdikan bisa menjadi pembeda saat semua pemain di lapangan punya kemampuan fisik serupa.
Final ini pun berpotensi menjadi titik balik tren sepak bola modern. Dari obsesi pressing kembali ke esensi permainan, berpikir, mengontrol, dan mengeksekusi dengan presisi.
Dengan segala kecerdikan yang ditampilkan kedua tim, siapa pun yang juara adalah kemenangan untuk sepak bola yang cerdas. Lini tengah jadi medan tempur utama yang menentukan siapa yang layak mengangkat trofi.
Pada akhirnya, Liga Champions 2024/2025 bukan soal siapa paling agresif menekan, tapi siapa paling genius di ruang sempit. Sepak bola sedang kembali ke akarnya, sebuah permainan tentang otak, bukan sekadar otot.(*/Jawapos)