Sunday, November 24, 2024
24.7 C
Jayapura

ICJR Ingatkan Pemerintah soal Legalisasi Aborsi untuk Korban Rudapaksa

JAKARTA-Pemerintah melegalkan aborsi bagi korban kasus rudapaksa atau kekerasan seksual. Legalitas itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti jaminan aborsi aman tersebut. Peneliti ICJR Johanna Poerba menyatakan, terbitnya PP 28/2024 tersebut yang menjamin tersedianya aborsi aman bagi korban perkosaan, kekerasan seksual dan indikasi kedaruratan medis bukanlah hal yang baru dalam legislasi di Indonesia. Pengaturan ini sudah dijamin sebelumnya dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Apabila merujuk pada UU Kesehatan Tahun 2009, PP No. 61 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 3 Tahun 2016, pada praktiknya penyediaan layanan aborsi aman tidak terlaksana di lapangan dikarenakan tidak ada realisasi konkret dari pemangku kepentingan untuk menyediakan layanan,” kata Johanna dalam keterangannya, Senin (5/8).

Baca Juga :  Bahlil pastikan Perpanjangan Izin Freeport Bakal Terbit Sebelum Jokowi Lengser

Johanna menjelaskan, sejak adanya PP 61/2014 dan Permenkes 3/2016, Kepolisian diamanatkan untuk mendukung penyediaan kontrasepsi darurat dan menyediakan surat keterangan dugaan perkosaan bagi korban perkosaan yang ingin mengakses aborsi aman.

Seharusnya dengan kondisi saat ini, kata Johanna, korban perkosaan bisa mandapatkan kontrasepsi darurat dan melakukan aborsi aman sampai dengan batas usia kehamilan 8 minggu.

Namun, berdasarkan penelitian ICJR pada 2021 dan pemantauan sampai saat 2024 ini, belum ada komitmen nasional di Kepolisian untuk menerbitkan aturan internal ataupun panduan polisi untuk dapat merujuk pemberian kontrasepsi darurat ataupun menerbitkan surat keterangan dugaan perkosaan.

“Malah pada 2021 lalu, pihak kepolisian menolak permohonan aborsi anak 12 tahun, korban perkosaan di Jombang, padahal saat itu usia kehamilan korban belum sampai 8 minggu,” ucap Johanna.

Baca Juga :  Hadir di Saga  Mall, Skintific Tawarkan Solusi Kulit Sehat

Selain itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak kunjung menunjuk layanan yang dapat memberikan aborsi aman. Padahal, Permenkes 3/2016 mengamanatkan Kemenkes untuk menetapkan fasilitas kesehatan (faskes) yang dapat memberikan layanan aborsi.

“Delapan tahun Permenkes tersebut hadir, dan lima belas tahun UU Kesehatan 2009 berlaku, Kemenkes masih belum menetapkan faskes yang dapat memberikan layanan aborsi aman tersebut,” tegas Johanna.

Karena itu, ICJR menekankan jaminan aborsi aman tidak hanya perlu dilakukan dalam tataran penerbitan aturan seperti dengan adanya PP 28/2024 yang baru ini. Namun, komitmen realisasi konkret pemangku kepentingan sangat diperlukan.

“Aborsi aman akan semakin aman jika dilakukan pada usia kehamilan lebih awal, sehingga seharusnya surat keterangan dugaan perkosaan atau kekerasan seksual tersebut dapat diperoleh dengan cepat dan tidak hanya dapat diterbitkan oleh Kepolisian,” pungkasnya. (*)

Sumber: jawapos

JAKARTA-Pemerintah melegalkan aborsi bagi korban kasus rudapaksa atau kekerasan seksual. Legalitas itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti jaminan aborsi aman tersebut. Peneliti ICJR Johanna Poerba menyatakan, terbitnya PP 28/2024 tersebut yang menjamin tersedianya aborsi aman bagi korban perkosaan, kekerasan seksual dan indikasi kedaruratan medis bukanlah hal yang baru dalam legislasi di Indonesia. Pengaturan ini sudah dijamin sebelumnya dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Apabila merujuk pada UU Kesehatan Tahun 2009, PP No. 61 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 3 Tahun 2016, pada praktiknya penyediaan layanan aborsi aman tidak terlaksana di lapangan dikarenakan tidak ada realisasi konkret dari pemangku kepentingan untuk menyediakan layanan,” kata Johanna dalam keterangannya, Senin (5/8).

Baca Juga :  Pelayanan Kesehatan Saat Libur Nataru Berjalan Normal

Johanna menjelaskan, sejak adanya PP 61/2014 dan Permenkes 3/2016, Kepolisian diamanatkan untuk mendukung penyediaan kontrasepsi darurat dan menyediakan surat keterangan dugaan perkosaan bagi korban perkosaan yang ingin mengakses aborsi aman.

Seharusnya dengan kondisi saat ini, kata Johanna, korban perkosaan bisa mandapatkan kontrasepsi darurat dan melakukan aborsi aman sampai dengan batas usia kehamilan 8 minggu.

Namun, berdasarkan penelitian ICJR pada 2021 dan pemantauan sampai saat 2024 ini, belum ada komitmen nasional di Kepolisian untuk menerbitkan aturan internal ataupun panduan polisi untuk dapat merujuk pemberian kontrasepsi darurat ataupun menerbitkan surat keterangan dugaan perkosaan.

“Malah pada 2021 lalu, pihak kepolisian menolak permohonan aborsi anak 12 tahun, korban perkosaan di Jombang, padahal saat itu usia kehamilan korban belum sampai 8 minggu,” ucap Johanna.

Baca Juga :  Jokowi Kunjungi Jerman, Ukraina, Rusia, dan Uni Emirat Arab

Selain itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak kunjung menunjuk layanan yang dapat memberikan aborsi aman. Padahal, Permenkes 3/2016 mengamanatkan Kemenkes untuk menetapkan fasilitas kesehatan (faskes) yang dapat memberikan layanan aborsi.

“Delapan tahun Permenkes tersebut hadir, dan lima belas tahun UU Kesehatan 2009 berlaku, Kemenkes masih belum menetapkan faskes yang dapat memberikan layanan aborsi aman tersebut,” tegas Johanna.

Karena itu, ICJR menekankan jaminan aborsi aman tidak hanya perlu dilakukan dalam tataran penerbitan aturan seperti dengan adanya PP 28/2024 yang baru ini. Namun, komitmen realisasi konkret pemangku kepentingan sangat diperlukan.

“Aborsi aman akan semakin aman jika dilakukan pada usia kehamilan lebih awal, sehingga seharusnya surat keterangan dugaan perkosaan atau kekerasan seksual tersebut dapat diperoleh dengan cepat dan tidak hanya dapat diterbitkan oleh Kepolisian,” pungkasnya. (*)

Sumber: jawapos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya