Saturday, September 6, 2025
21.1 C
Jayapura

Dari Revolusi Oranye hingga Brave Pink sebagai Simbol Perlawanan

JAKARTA-Di jalanan maupun di layar ponsel, warna sering lebih lantang berbicara daripada kata-kata. Kini, di Indonesia, dua warna yakni Brave Pink dan Hero Green, sedang ramai dipakai warganet sebagai simbol protes terhadap pemerintah.

Mereka muncul di avatar media sosial, unggahan kreatif, hingga filter TikTok, menjadi bendera virtual yang menyatukan keresahan publik terhadap kondisi bangsa belakangan ini. Elite politik dan penguasa yang tak peka, tutup mata, tutup telinga terhadap persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat.

Namun demikian, melansir berbagai sumber, ternyata fenomena ini bukan hal baru. Sejarah mencatat, dunia penuh dengan kisah warna yang menjelma jadi bahasa perlawanan.

Seperti misalnya di Georgia pada 2003, ribuan orang turun ke jalan membawa mawar, menuntut mundurnya rezim korup. Gerakan itu kemudian dikenal sebagai Revolusi Mawar.

Baca Juga :  7 Tips Istirahat dari Media Sosial dan Manfaat yang akan Didapatkan

Setahun berselang, Ukraina menyusul dengan lautan massa berpakaian oranye di Lapangan Kemerdekaan Kyiv, memaksa pemilu ulang lewat Revolusi Oranye.

Tak lama, Iran menghadirkan Gerakan Hijau (2009), ketika warga mengenakan syal, pita, dan gelang hijau sebagai simbol demokrasi. Sementara di Myanmar, jubah safron para biksu pada 2007 menjadi ikon moral melawan junta militer.

Asia Tenggara pun punya kisah serupa. Filipina pada 1986 menjadikan pita kuning sebagai lambang People Power yang menggulingkan rezim Marcos.

Di Malaysia, massa Bersih berpakaian kuning menuntut pemilu yang lebih jujur. Dan di Hongkong, payung kuning pada 2014 menjadi simbol perlindungan dari gas air mata, sekaligus lambang perlawanan damai.

Baca Juga :  Gunung Merapi Mengalami 75 Kali Gempa Guguran

JAKARTA-Di jalanan maupun di layar ponsel, warna sering lebih lantang berbicara daripada kata-kata. Kini, di Indonesia, dua warna yakni Brave Pink dan Hero Green, sedang ramai dipakai warganet sebagai simbol protes terhadap pemerintah.

Mereka muncul di avatar media sosial, unggahan kreatif, hingga filter TikTok, menjadi bendera virtual yang menyatukan keresahan publik terhadap kondisi bangsa belakangan ini. Elite politik dan penguasa yang tak peka, tutup mata, tutup telinga terhadap persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat.

Namun demikian, melansir berbagai sumber, ternyata fenomena ini bukan hal baru. Sejarah mencatat, dunia penuh dengan kisah warna yang menjelma jadi bahasa perlawanan.

Seperti misalnya di Georgia pada 2003, ribuan orang turun ke jalan membawa mawar, menuntut mundurnya rezim korup. Gerakan itu kemudian dikenal sebagai Revolusi Mawar.

Baca Juga :  Pemerintah Tetapkan 1 Ramadan Jatuh 3 April

Setahun berselang, Ukraina menyusul dengan lautan massa berpakaian oranye di Lapangan Kemerdekaan Kyiv, memaksa pemilu ulang lewat Revolusi Oranye.

Tak lama, Iran menghadirkan Gerakan Hijau (2009), ketika warga mengenakan syal, pita, dan gelang hijau sebagai simbol demokrasi. Sementara di Myanmar, jubah safron para biksu pada 2007 menjadi ikon moral melawan junta militer.

Asia Tenggara pun punya kisah serupa. Filipina pada 1986 menjadikan pita kuning sebagai lambang People Power yang menggulingkan rezim Marcos.

Di Malaysia, massa Bersih berpakaian kuning menuntut pemilu yang lebih jujur. Dan di Hongkong, payung kuning pada 2014 menjadi simbol perlindungan dari gas air mata, sekaligus lambang perlawanan damai.

Baca Juga :  Aktif di Medsos Ibarat Pisau Bermata Dua, Tidak Hati-hati Bisa Melukai

Berita Terbaru

Artikel Lainnya