BIAK-Angka kasus kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Biak, memiliki versi yang berbeda tiap instansi penangannya. Hal itu tidak lain disebabkan, jumlah kasus yang terlapor memang belum satu pintu.
Karena penanganan kasus ini memang cenderung sensitif, dan pendekatan preventif lebih diutamakan dalam proses penyelesaiannya. Baik melalui pihak keagamaan, pendekatan adat, hingga pendekatan melalui dinas terkait maupun hingga ke ranah hukum peradilan.
Yohana Naap, Kepala Dinas Perlidungan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana mengatakan, kasus yang terlapor pada Dinas DP3AKB Biak Numfor di tahun 2023 terdapat 37 kasus.
Sementara di tahun 2024 hingga akhir Juni terlapor ada 8 kasus. Perubahan ini belum terlalu signifikan dari tahun sebelumnya, yang mana dalam kurun waktu 6 bulan terakhir di tahun 2023 tercatat ada 9 kasus.
Memang kata Yohana Naap, pendekatan dalam kasus ini memang perlu perlakuan khusus. Tidak semua kasus harus berakhir di rana hukum, jika saja memang masih dapat dilakukan proses mediasi. Jika memang kasus itu tergolong berat, dan melanggar hak asasi manusia, tentu perlu di laporkan ke pihak kepolisian, untuk dilanjutkan ke rana hukum.
Sementara Koordintor dari Wahana Visi Indonesia Biak Numfor, Maria Silaen menyebutkan, ada sejumlah kasus yang pernah dicatat, dan diminta untuk diteruskan keranah hukum.
Namun memang, budaya patriarki di Biak yang cukup dominan, danhukum adat yang menjadi perhatian semua pihak, menjadikan sejumlah laporan tindakan kekerasan tidak sampai mendapatkan keadilan, dan diselesaikan lewat jalur adat. Efek jera dari kasus yang melalui jalur ini kadang, kurang begitu maksimal bagi para pelaku, dan memberatkan korban.
Sementara Dinas Sosial Biak Numfor sendiri memaparkan ada 18 kasus di tahun 2023, dan sementara di tahun 2024 hingga akhir Juni terdapat 15 kasus tindakan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Sementara Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Biak Numfor, IPDA Ervina Duwila, SH mengatakan, dalam penanganan kasus perempuan dan anak di Biak, memang diutamakan pendekatan secara preventif, dan proses penyelesaian jalur mediasi.
Namun yang menjadi dilema saat ini adalah, tidak sedikit kasus kekerasan terhadap anak, justru kadang kala anak yang menjadi korban dan ada juga anak yang menjadi pelaku. Anak dalam hal ini adalah anak dalam usia sekolah dibawah 12 tahun kasus tidak dapat dilanjutkan kerana pidana.
“Anak usia sekolah tapi yang tidak ada di sekolah juga harus menjadi bagian untuk diperhatikan, kadang mereka juga terlibat sebagai pelaku kekerasan, tanda kutip sebagai anak jalanan. Usia 12-14 tahun bisa diproses di polisi tapi tidak bisa ditahan. 14-18 tahun bisa diproses pidana dan bisa ditahan. Bisa dijatuhi vonis hukuman,” ungkap Ervina. ( il).
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos