Generasi tersebut, kata Sanusi, harus dipersiapkan, termasuk dari sisi spiritual. Karena itu, di At-Tin, mereka tak hanya bisa salat, tapi juga belajar bersama.
Dasar pemikiran Sanusi bersama kawan-kawannya, di era Nabi Muhammad, masjid simpul gerakan. Baik untuk belajar, bermuamalah, bahkan mengatur strategi perang.
Dalam konteks hari ini, ada kebutuhan umat untuk memanfaatkan masjid secara lebih luas. Sebagai contoh, untuk tempat istirahat atau bahkan sekadar mengisi ulang baterai ponsel. ’’Tapi, bagaimana bisa kalau jam 9 malam sudah dikunci,’’ tuturnya.
Di Masjid Sejuta Pemuda, siapa pun boleh menggunakan fasilitas selama bisa menjaga kesopanan. Bahkan, jika ada yang istirahat, marbot akan memberi bantal sampai kasur.
Para marbot juga rata-rata punya latar pengalaman profesional. Peracik kopi suguhan jemaah, misalnya, pernah bekerja di kafe. Sanusi sendiri seorang sarjana lulusan manajemen yang bertugas mengurus keuangan. ’’Karena yang namanya urus masjid itu harus profesional, masak kita kalah sama perusahaan,’’ jelasnya.
Sanusi mengungkapkan, marbot mendapat pemasukan dari muamalah yang disediakan. Misalnya dalam kegiatan marbot camp yang diikuti banyak peserta, pihaknya menarik biaya yang sebagian disisihkan untuk marbot.
Di luar itu, kebutuhan sehari-hari marbot juga banyak dibantu dari donasi jemaah. Bahkan, makanan, minuman hingga camilan yang disuguhkan pengurus kepada jemaah dan marbot juga hampir seluruhnya sumbangan.
’’Ketika kita ngurus rumah-Nya, otomatis yang punya rumah (Allah) memperhatikan kita juga,’’ tegas Sanusi penuh keyakinan.
Substansi kegiatan keagamaan tentu tidak ditinggalkan. Setiap hari masjid juga menggelar kegiatan baca Alquran seusai salat.
Kegiatan itu bertajuk One Day One Juz. Dengan begitu, akan tercapai target khatam Alquran di setiap bulan. Masjid juga memfasilitasi mereka yang ingin mendapatkan pelajaran agama secara intensif.
Masyarakat sekitar juga menerima baik model pengelolaan ala Masjid Sejuta Pemuda. Kuncinya, kata Sanusi, bukan pada konsep. Melainkan kemampuan menjalin hubungan. Apalagi, pengurus juga membuat pengajian rutin yang melibatkan warga.
Model pengelolaan di At-Tin juga menjadi materi edukasi dalam marbot camp yang diikuti para pengurus masjid lain. Banyak pula pengurus dari luar kota yang datang.
Salah satunya Helmi Ramadhan, pengurus Masjid Ismuhu Yahya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Menurut Helmi, Ismuhu Yahya sebenarnya juga sudah memulai model pengelolaan serupa. Mereka membuka diri selama 24 jam.
Namun, dia mengakui sosialisasinya belum masif. Karena itu, dia ditugaskan untuk belajar ke At-Tin. ’’Belajar bagaimana cara membuat konten media sosial,’’ katanya.
Helmi sepakat, ke depan pengelolaan masjid di Indonesia harus menempatkan masjid tak semata sebagai tempat ibadah. ’’Tapi juga tempat beraktivitas keseharian dan menjadi pusat kemajuan peradaban,” ucapnya. (*/c17/ttg)