Menyaksikan Festival Negeri 1000 Ombak Sail Teluk Cenderawasih 2023
Setelah dibuka oleh Penjabat Gubermur Papua Ridwan Rumasukun, msayarakat Sarmi berbondong-bondong menyaksikan Festival lnegeri 1000 Ombak Sail Teluk Cenderawasih di Telaga Cemara Kampung Holmafen, apa saja kegiatan tersebut?
Weny Firmansyah
Festival Negeri 1000 ombak Sail Teluk Cenderawasih 2023 benar-benar mengeksplore seni dan budaya Sarmi. Banyak sekali budaya yang belum diketahui masyarakat luas diangkat ke permukaan sehingga masyarakat terutama generasi muda bisa mengetahui akar dan budaya Sarmi.
Bernard Cawem Ketua Dewan Adat Sarmi kepada Cenderawasih Pos memberi apresiasi tinggi kepada pemerintdah daerah kabupaten Sarmi yang sudah mengangkat nilai-nilai budaya yang mulai terkikis dengan perkembangan zaman.
“Ya, nilai-nilai budaya Sarmi harus dipertahankan, dilestarikan, dan ditingkatkan agar generasi muda tidak melupakan ciri khas budaya Sarmi,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos.
Seperti budaya tarian lemon nipis, kegiatan seperti ini harus tetap ada, sebab jarang sekali tarian lemon nipis diangkat ke permukaan. Diceritakan tarian lemon nipis bukan hanya tari-tarian biasa namun orang-orang terdahulu mengadakan tarian lemon nipis sebagai ungkapan suka cita atas keberhasilan, kemenangan dan sebagainya.
“Dan melalui kegiatan ini diharapkan orang-orang dari luar bisa mengetahui seni dan budaya adat Sarmi, kami yakin dengan diperhatikan adat dan budaya maka daerah Sarmi akan lebih maju, tentunya ada kerja sama antara pemerintah daerah dan masyarakat adat,” ungkapnya di Lapangan Merdeka Sarmi.
Kemudian di venue acara, tak henti-hentinya seniman lokal mempertunjukan kebolehannya dengan menyanyikan lagu-lagu. Dan panitia nampaknya mengakomodir para musisi untuk tampil meskipun awalnya tak ada slot tersebut. Yang jelas muai dari ujung timur sampai ujung barat (Apawer) mendapat porsi untuk tampil.
Kemudian di stand-stand yang ada banyak yang menjaul cenderamata, hasil kerajinan tangan, produk olahan ikan dan hasil laut lainnya baik dari tiap OPD maupun organisasi atau masyarakat yang cukup unik.
Tak kalah hebohnya Perkumpulan Perempuan Sarmi mendemonstrasi warisan leluhur dari suku Manirem yakni pembuatan Papeda Batu.
Ya, Papeda Batu ini terdengar aneh, pasalnya campuran untuk sagu tidak dibuat dengan air panas tapi menggunakan batu yang telah dibakar dan diaduk hingga menjadi papeda, oleh sebab itu disebut papeda batu. Diaduknya juga tak menggunakan loyang tapi dari daun yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai wadah atau loyang.
Proses pembuatan papeda batu ini sebenarnya hampir sama, namun media yang digunakan tidak menggunakan air panas melainkan batu yang dipanaskan terlebih dahulu. Mama-mama dari Perkumpulan Perempuan Sarmi.
Mama Christin Senis dari Perkumpulan Perempuan Sarmi mengatakan kegiatan demonstrasi pembuatan Papeda Batu ini untuk mengenalkan kembali kepada generasi muda dimana orang-orang zaman dahulu menggunakan batu untuk mencampur sagu menjadi papeda. Begitu juga dengan daun yang dibentuk menyerupai loyang.
“Ini budaya kita dari suku Manirem, zaman dahulu tidak ada loyang, kemudian nenek moyang kita dulu menggunakan batu yang dipanaskan selama satu jam lalu dicampur dalam sagu lalu diaduk sampai menyerupai papeda lalu disantap bersama keluarga,” ungkapnya.
Papeda Batu ini khas dari Suku Manirem yang disajikan ketika ada hajatan atau acara-acara keluarga dan acara-acara penting lainnya.
‘Di stand ini kami masih punya cara-cara tradisional lagi yang belum banyak diketahui, nanti akan kami tamapilkan semua. “Ini demi generasi muda mengetahui bahwa orang tua dulu cara masaknya seperti itu,” tambahnya.
Mama Antonia Rera yang mengaduk dengan penuh tenaga dan kesabaran mengaduk air perasan sagu dengan batu yang panas hingga menjadi papeda. “Ya memang bharus begitu,”ungkapnya. (*/wen)