Tuesday, June 24, 2025
21.8 C
Jayapura

Ada Pantangan yang Harus Dipatuhi, Dilanggar Bisa Berakibat Fatal

Tarian Caci, Tradisi Budaya Masyarakat NTT yang Tetap Dilestarikan di Tanah Tabi

Kota Jayapura merupakan “Taman Mini” nya Indonesia. Tak heran jika berbagai masyarakat di luar Papua yang datang di Kota Jayapura masih melestarikan budaya dari daerahnya masing. Seperti halnya masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang punya budaya Tarian Caci, yang dilestarikan dalam setiap even yang mereka gelar.

Laporan: Karolus Daot_Jayapura

Minggu (16/6) sing itu, matahari tepat di atas kepala, namun tak menyurutkan semangat para pria berpakaian adat NTT untuk melangkah tegap ke tengah Lapangan Mahacendra di kawasan Kampus Uncen atas. Siang itu, merupakan pembukaan turnamen sepakbola Manggarai Cup, yang menghimpun semua masyarakat dari NTT untuk berpartisipasi dalam acara ini.

Para pria menampilkan Tarian Caci untuk memeriahkan acara pembukaan. Pementasan Tarian Caci bukan sekedar tradisi yang memberikan hiburan, tetapi merupakan simbol jati diri, keberanian, dan spiritualitas orang Manggarai.

Mereka mengenakan celana putih yang dibalut kain songke hitam (kain tenun khas Manggarai) dengan kepala ditutupi panggal, sebuah pelindung kepala berbentuk tanduk kerbau yang terbuat dari kulit keras dan dihiasi kain warna-warni.

Di bagian pinggang tergantung Ngorong, untaian logam yang bergemerincing mengikuti setiap gerakan, seolah ikut menari bersama mereka. Sementara di punggung, lalong ndeki (semacam ekor kerbau) menambah kesan gagah dan sakral.

Mereka berjalan perlahan, diiringi tim ronda, sekelompok pria yang menyanyikan lagu khas Manggarai secara bersahut-sahutan sambil menghentakkan kaki ke tanah. Tim ronda ini mengiringi masuknya para penari ke arena memulai prosesi awal yang disebut landang, lingkaran penantian sebelum menyambut tim tamu atau meka landang.

Sementara tim tuan rumah berdiri kokoh di tengah arena, memakai songke hitam, dari kejauhan tiba kelompok ata pe’ang dari Kabupaten Jayapura dan Keerom. Mereka tampil dalam balutan kain songke merah dan tenun khas Todo, dari Manggarai Timur, menandai identitas wilayah asal mereka.

Baca Juga :  Perketat Pengawasan, Kecolongan Bisa Picu Kerugian Besar

Kedua tim, tuan rumah dan tamu, saling menyanyikan sanda, nyanyian khas yang menggambarkan semangat dan kehormatan diiringi pukulan gong dan gendang dari tim mbata. Tim ini terdiri dari pria dan wanita yang memainkan alat musik tradisional sebagai pengiring seluruh prosesi tarian. Tak lama kemudian, suara cambuk mulai menggema.

Tarian Caci pun dimulai.

Tarian Caci sendiri adalah tarian perang tradisional Manggarai. Di atas arena, dua pria berdiri saling berhadapan satu sebagai penyerang dengan cambuk atau larik, satu lagi sebagai penangkis dengan perisai atau agang.

Sebelum bertarung para pemain melakukan pemanasan. Hal ini bagian dari tarian, dari komunikasi tubuh yang menandakan kesiapan, kehormatan, dan kegagahan. Saat bertarung cambuk hanya boleh diarahkan dari pinggang ke atas, seperti dada, lengan, punggung, bahkan kepala. Jika mengenai mata, maka penangkis dinyatakan rowa (kalah) dan harus keluar dari permainan.

Tapi menariknya, meski terkena sabetan, pemain tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. Sebaliknya, mereka menari sambil mengumandangkan paci (slogan) atau metafora khas Manggarai yang menjadi ekspresi rasa bangga dan syukur.

Kasianus Hipolitus Dang, salah satu pemain Caci asal Kampung Gurung, Kecamatan Cibal, Manggarai mengatakan kunci utama dalam Tarian Caci adalah fokus dan ketenangan. “Serangan cambuk itu cepat. Kita harus tenang, melihat gerak siku lawan,” ujarnya.

Selain strategi, ada pula pantangan yang dijaga secara ketat, para pemain tidak boleh berhubungan badan dengan istri menjelang pertandingan, dan tidak boleh datang berboncengan.

Walau belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan, keyakinan ini masih dijaga sebagai bagian dari etika dan penghormatan terhadap tradisi. “Kata orang tua yang sering ikut caci, kalau dilanggar, kita bisa terkena pukulan fatal di mata atau leher,” ujar Kase.

Sementara itu bagi Aloysius Gonsaga kekuatan mental juga menjadi syarat utama. “Kadang kami minum sedikit miras sebelum tampil, bukan untuk mabuk, tapi membangun semangat. Ini bagian dari tradisi kami juga,” katanya.

Baca Juga :  Korpri Harus Dukung Penuh Program Nasional

Dalam pertunjukan Caci, tidak ada musuh abadi. Usai menyerang, pemain wajib berganti peran menjadi penangkis. Tak ada batasan jumlah serangan, semua tergantung panitia. Uniknya, penangkis berikutnya tidak selalu pemain yang sama. Ini bentuk solidaritas dan sportivitas dalam budaya Manggarai.

“Misalnya saya hanya di kasi jatah 3 kali, nanti penangkis berikutnya bukan saya, tapi teman, dan itu biasa dan sah sah saja,” jelas Sius.

Beberapa pola serangan dikenal dalam Caci, salah satunya wela kuang, pola serang dengan cambuk yang diayunkan berkali-kali sembari mencari celah. Ini salah satu teknik favorit karena efektif dan menguji kelincahan lawan. “Namun, pola serangan dari belakang lawan sangat dilarang dalam konteks ini karena berisiko mengenai bagian sensitif,” katanya.
Caci bukan hanya tentang teknik bela diri. Ia adalah gabungan antara seni, filosofi, adat, dan spiritualitas. Setiap cambuk yang diayun, setiap paci yang diteriakkan, setiap irama yang dipukul dari gong, adalah gema warisan ribuan tahun.

Dan di tengah tanah Tabi wilayah yang dihuni berbagai etnis dan budaya, Caci menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Menjadi ruang di mana orang-orang Manggarai yang merantau bisa menyapa leluhur mereka melalui gerak tubuh dan suara.
“Saya sudah lama tak ikut caci, dengan acara ini akhirnya bakat yang saya miliki bisa kembali tersalurkan,” ujarnya.

Di tengah modernitas dan jarak dari kampung halaman, masyarakat Manggarai di Papua membuktikan bahwa identitas tidak pernah benar-benar hilang.
Melalui hentakan kaki, cambukan larik, dan lantang paci, mereka membawa pulang tanah leluhur ke tengah tanah rantau. Sebab di balik setiap gerak dan gemerincing logam itu, ada pesan yang menggetarkan. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Tarian Caci, Tradisi Budaya Masyarakat NTT yang Tetap Dilestarikan di Tanah Tabi

Kota Jayapura merupakan “Taman Mini” nya Indonesia. Tak heran jika berbagai masyarakat di luar Papua yang datang di Kota Jayapura masih melestarikan budaya dari daerahnya masing. Seperti halnya masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang punya budaya Tarian Caci, yang dilestarikan dalam setiap even yang mereka gelar.

Laporan: Karolus Daot_Jayapura

Minggu (16/6) sing itu, matahari tepat di atas kepala, namun tak menyurutkan semangat para pria berpakaian adat NTT untuk melangkah tegap ke tengah Lapangan Mahacendra di kawasan Kampus Uncen atas. Siang itu, merupakan pembukaan turnamen sepakbola Manggarai Cup, yang menghimpun semua masyarakat dari NTT untuk berpartisipasi dalam acara ini.

Para pria menampilkan Tarian Caci untuk memeriahkan acara pembukaan. Pementasan Tarian Caci bukan sekedar tradisi yang memberikan hiburan, tetapi merupakan simbol jati diri, keberanian, dan spiritualitas orang Manggarai.

Mereka mengenakan celana putih yang dibalut kain songke hitam (kain tenun khas Manggarai) dengan kepala ditutupi panggal, sebuah pelindung kepala berbentuk tanduk kerbau yang terbuat dari kulit keras dan dihiasi kain warna-warni.

Di bagian pinggang tergantung Ngorong, untaian logam yang bergemerincing mengikuti setiap gerakan, seolah ikut menari bersama mereka. Sementara di punggung, lalong ndeki (semacam ekor kerbau) menambah kesan gagah dan sakral.

Mereka berjalan perlahan, diiringi tim ronda, sekelompok pria yang menyanyikan lagu khas Manggarai secara bersahut-sahutan sambil menghentakkan kaki ke tanah. Tim ronda ini mengiringi masuknya para penari ke arena memulai prosesi awal yang disebut landang, lingkaran penantian sebelum menyambut tim tamu atau meka landang.

Sementara tim tuan rumah berdiri kokoh di tengah arena, memakai songke hitam, dari kejauhan tiba kelompok ata pe’ang dari Kabupaten Jayapura dan Keerom. Mereka tampil dalam balutan kain songke merah dan tenun khas Todo, dari Manggarai Timur, menandai identitas wilayah asal mereka.

Baca Juga :  Geluti Hutan Mangrove, Bersaing dengan Empat Kandidat Pria

Kedua tim, tuan rumah dan tamu, saling menyanyikan sanda, nyanyian khas yang menggambarkan semangat dan kehormatan diiringi pukulan gong dan gendang dari tim mbata. Tim ini terdiri dari pria dan wanita yang memainkan alat musik tradisional sebagai pengiring seluruh prosesi tarian. Tak lama kemudian, suara cambuk mulai menggema.

Tarian Caci pun dimulai.

Tarian Caci sendiri adalah tarian perang tradisional Manggarai. Di atas arena, dua pria berdiri saling berhadapan satu sebagai penyerang dengan cambuk atau larik, satu lagi sebagai penangkis dengan perisai atau agang.

Sebelum bertarung para pemain melakukan pemanasan. Hal ini bagian dari tarian, dari komunikasi tubuh yang menandakan kesiapan, kehormatan, dan kegagahan. Saat bertarung cambuk hanya boleh diarahkan dari pinggang ke atas, seperti dada, lengan, punggung, bahkan kepala. Jika mengenai mata, maka penangkis dinyatakan rowa (kalah) dan harus keluar dari permainan.

Tapi menariknya, meski terkena sabetan, pemain tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. Sebaliknya, mereka menari sambil mengumandangkan paci (slogan) atau metafora khas Manggarai yang menjadi ekspresi rasa bangga dan syukur.

Kasianus Hipolitus Dang, salah satu pemain Caci asal Kampung Gurung, Kecamatan Cibal, Manggarai mengatakan kunci utama dalam Tarian Caci adalah fokus dan ketenangan. “Serangan cambuk itu cepat. Kita harus tenang, melihat gerak siku lawan,” ujarnya.

Selain strategi, ada pula pantangan yang dijaga secara ketat, para pemain tidak boleh berhubungan badan dengan istri menjelang pertandingan, dan tidak boleh datang berboncengan.

Walau belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan, keyakinan ini masih dijaga sebagai bagian dari etika dan penghormatan terhadap tradisi. “Kata orang tua yang sering ikut caci, kalau dilanggar, kita bisa terkena pukulan fatal di mata atau leher,” ujar Kase.

Sementara itu bagi Aloysius Gonsaga kekuatan mental juga menjadi syarat utama. “Kadang kami minum sedikit miras sebelum tampil, bukan untuk mabuk, tapi membangun semangat. Ini bagian dari tradisi kami juga,” katanya.

Baca Juga :  Diharapkan Lebih Maksimal, BPKAD Gelar Bimtek Aplikasi Coretax

Dalam pertunjukan Caci, tidak ada musuh abadi. Usai menyerang, pemain wajib berganti peran menjadi penangkis. Tak ada batasan jumlah serangan, semua tergantung panitia. Uniknya, penangkis berikutnya tidak selalu pemain yang sama. Ini bentuk solidaritas dan sportivitas dalam budaya Manggarai.

“Misalnya saya hanya di kasi jatah 3 kali, nanti penangkis berikutnya bukan saya, tapi teman, dan itu biasa dan sah sah saja,” jelas Sius.

Beberapa pola serangan dikenal dalam Caci, salah satunya wela kuang, pola serang dengan cambuk yang diayunkan berkali-kali sembari mencari celah. Ini salah satu teknik favorit karena efektif dan menguji kelincahan lawan. “Namun, pola serangan dari belakang lawan sangat dilarang dalam konteks ini karena berisiko mengenai bagian sensitif,” katanya.
Caci bukan hanya tentang teknik bela diri. Ia adalah gabungan antara seni, filosofi, adat, dan spiritualitas. Setiap cambuk yang diayun, setiap paci yang diteriakkan, setiap irama yang dipukul dari gong, adalah gema warisan ribuan tahun.

Dan di tengah tanah Tabi wilayah yang dihuni berbagai etnis dan budaya, Caci menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Menjadi ruang di mana orang-orang Manggarai yang merantau bisa menyapa leluhur mereka melalui gerak tubuh dan suara.
“Saya sudah lama tak ikut caci, dengan acara ini akhirnya bakat yang saya miliki bisa kembali tersalurkan,” ujarnya.

Di tengah modernitas dan jarak dari kampung halaman, masyarakat Manggarai di Papua membuktikan bahwa identitas tidak pernah benar-benar hilang.
Melalui hentakan kaki, cambukan larik, dan lantang paci, mereka membawa pulang tanah leluhur ke tengah tanah rantau. Sebab di balik setiap gerak dan gemerincing logam itu, ada pesan yang menggetarkan. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya