Berdasarkan penjelasan Kepala Dinas Pariwisata Sarmi, Fredik Sunuk dan Kepala Bidang Pariwisata, Jimy Yapo, dahulu, monumen ini hanya berupa batu nisan sederhana dengan tulisan dalam bahasa Jepang. Terjemahan isi tulisannya pun tetap sama pesan yang mengandung harapan besar akan perdamaian dan penghormatan terhadap para korban perang yang pernah berjuang dan gugur di tanah ini.
Pada tahun 1994, saat Sarmi masih berstatus sebagai kecamatan di bawah naungan Provinsi Irian Jaya, monumen ini dibangun ulang dan diperindah sebagai bagian dari kerja sama antara Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia melalui pemerintah provinsi saat itu.
Pendirian tugu ini tak hanya menjadi simbol perdamaian antara dua negara, tetapi juga sebagai wujud penghormatan terhadap masyarakat lokal Sarmi yang turut terdampak dalam sejarah panjang perang dan penjajahan.
Pada masa itu, kerja sama antara Pemerintah Provinsi Papua dan Jepang juga mencakup rencana pengiriman mahasiswa dari Papua, khususnya dari Sarmi, ke Jepang. Sayangnya, hingga hari ini, realisasi program tersebut belum pernah terjadi, dan justru dialihkan kepada daerah lain.
Sejak tahun 2017, perhatian dari Pemerintah Provinsi Papua terhadap situs bersejarah ini mulai terputus. Padahal sebelumnya, tugu ini memiliki penjaga yang dibiayai secara rutin. Kini, semua itu tinggal kenangan. Rerumputan liar telah menutupi sebagian besar area dalam kompleks tugu. Pintu masuk pun telah rusak, membiarkan siapa saja masuk tanpa pengawasan.
Menurut kisah warga setempat, tugu ini berdiri tepat di lokasi gugurnya salah satu komandan pasukan Jepang yang ditembak oleh pihak sekutu dalam pertempuran hebat di Perang Dunia II. Bahkan, di bawah tugu itu dulunya ada terowong hingga ke pantai yang panjangnya sekitar 100 meter dari tugu.
“Komandan mereka hilang disitu, makanya dibuatlah tugu peringatan, sekaligus sebagai lambang perdamaian,” ujar Jimmy Yapo, Selasa (6/5).
Kini Bangunan tugu yang terbuat dari marmer itu masih berdiri kokoh meskipun kondisinya mulai termakan waktu.
Pada tahun 2020, Pemerintah Kabupaten Sarmi sempat melakukan renovasi. Beberapa fasilitas tambahan seperti tiga unit gazebo, tempat duduk, toilet, serta pagar keliling dibangun untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Namun, tanpa perawatan rutin, semua itu kini seperti bangunan tak bertuan.
Melihat kondisi tersebut, Dinas Pariwisata Kabupaten Sarmi kini tengah berupaya menjalin komunikasi kembali dengan Pemerintah Jepang. Harapannya, akan terjalin kerja sama ulang. Namun kali ini langsung melalui Pemerintah Kabupaten Sarmi tanpa harus melalui pemerintah provinsi, guna merawat dan melestarikan tugu yang memiliki nilai historis dan simbolik tinggi ini.
“Ini perlu kita bicarakan kembali. Makanya drafnya sudah kami siapkan untuk disampaikan kepada Bapak Bupati. Kita ingin menyepakati bersama, apa yang menjadi harapan Pemerintah Jepang dan apa yang kita inginkan.
Selain itu, kami juga akan berdiskusi dengan Pemerintah Provinsi terkait hubungan kerja sama yang pernah dijalin. Tapi kalau memungkinkan, kami berharap kerja sama ini langsung dengan Pemerintah Kabupaten Sarmi,”kata kadis Fredik Sunuk.
Tugu Yamagata bukan sekadar tumpukan marmer dan nisan beraksara asing. Ia adalah saksi bisu dari luka sejarah, sekaligus jembatan harapan akan perdamaian abadi yang pernah dicita-citakan oleh dua bangsa. Kini, tinggal bagaimana kita sebagai generasi penerus memaknai dan menjaga warisan ini agar tidak benar-benar tenggelam dalam diam.(*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos