Terkait ini salah satu akademisi Uncen, Melyana R.Pugu menjelaskan bahwa situasi begal di Kota Jayapura perlu dibaca melalui lensa “keamanan manusia” Barry Buzan, yang menempatkan manusia bukan semata negara sebagai referen utama keamanan, dengan lima sektor saling terkait: politik, ekonomi, sosial-budaya (societal), lingkungan, dan militer/keamanan.
Dalam konteks perkotaan Jayapura, jika kasus kriminal cenderung mengalami peningkatan maka bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi gejala kerentanan lintas sektor yang menggerus rasa aman warga. Dampaknya banyak, mulai dari mobilitas malam terganggu, aktivitas ekonomi menurun hingga trauma psikologis melebar.
“Ketika jalan-jalan tertentu dianggap ‘merah’ setelah senja, ruang publik menyusut, interaksi sosial menipis, dan kepercayaan antarwarga yang menjadi modal sosial Papua justru terancam erosi, maka disitulah kekhawatiran dan kehadiran instrumen negara dipertanyakan,” kata Melyana, Rabu (1/10).
Dijelaskan dari sisi politik dan tata kelola, keamanan manusia menuntut negara hadir secara legitimate dan inklusif. Namun respons reaktif semata (razia sporadis) sering tidak menyentuh akar masalah.
Jayapura dikatakan membutuhkan tata kelola keamanan berbasiskan data kejadian atau hotspot mapping, kemudian transparansi kinerja, dan kolaborasi aparat keamanan dan pemerintah, komunitas dan lembaga adat serta para pemuda, mahasiswa dan kampus.
Namun narasi “sekuritisasi” yang berlebihan justru berisiko menstigma kelompok tertentu sehingga pendekatan human security justru bisa mendorong kemitraan polisi dan masyarakat atau community policing. Untuk mensikapi situasi ini maka diperlukan forum warga di tingkat kelurahan atau distrik, serta kanal pelaporan yang mudah, cepat, dan ramah bagi korban.