Sunday, November 24, 2024
25.7 C
Jayapura

Jalan Darat 12 Jam, Susur Sungai 6 Jam, untuk Ambil Data

SKPKC Fransiskan Papua dan Semangat Membangun Damai di Bumi Cenderawasih

Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua mendokumentasikan dan menganalisis setiap peristiwa kemanusiaan, lalu meramunya menjadi buku Memoria Passionis. Sering terlibat dalam diskusi lintas agama seperti saat diundang Komunitas GUSDURian dan UIN Syarif Hidayatullah.

AGUS DWI PRASETYO, Jayapura

BAYANGAN kepala manusia dalam setangkup tangan yang terhalang kawat berduri terlihat mencolok di bagian sampul buku tersebut. Di bawahnya terdapat judul dengan tulisan berukuran cukup besar: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum.

Sementara, di atas judul tertulis Seri Memoria Passionis No 38. ”Memoria passionis itu berarti ingatan tentang penderitaan,” kata Yuli Langowuyo, direktur SKPKC Fransiskan Papua, saat ditemui Jawa Pos di Jayapura, Kamis (28/10) lalu.

Buku setebal 136 halaman tersebut, kata Yuli, merupakan potret politik rasialisme di tanah Papua pada 2019. Rentetan peristiwa memilukan itu berawal dari insiden di Surabaya-Malang pada Agustus 2019. Buntutnya, aksi demo pecah di sejumlah wilayah. Tidak terkecuali di Jayapura, tepatnya di halaman kantor gubernur Papua.

Theo van den Broek menyajikan rekaman peristiwa dalam bentuk tulisan, lalu menutupnya dengan uraian singkat yang padat. ”Bapak Theo ini bukan orang asli Papua, jadi bisa melihat Papua lebih objektif ketimbang kami orang Papua sendiri,” ujar Yuli.

Memoria Passionis tak ubahnya kisah berseri yang diterbitkan SKPKC setahun sekali. Berisi kajian komprehensif tentang situasi kemanusiaan di Bumi Cenderawasih.

Seri pertama terbit pada 1999 dengan judul Kondisi Hak Asasi Manusia dan Gerakan Aspirasi Merdeka. Saat ini Memoria Passionis seri terbaru, seri no 39, masih dicetak. ”Kami cetak buku di Jakarta karena di sana lebih murah daripada di Jayapura,” ungkap Yuli.

SKPKC Fransiskan Papua merupakan unit karya pastoral Provinsi Fransiskus Duta Damai di tanah Papua. Unit itu seperti organisasi sayap keagamaan yang menyelenggarakan pelayanan sosial pastoral kepada masyarakat Papua. Khususnya umat Katolik di seluruh wilayah Persaudaraan Fransiskan Papua (OFM). ”SKPKC ini berdiri sejak 1998. Ini mandat dari wakil gereja,” jelasnya.

Seri Memoria Passionis adalah salah satu produk SKPKC yang cukup populer di kalangan aktivis gereja maupun pegiat hak asasi manusia (HAM). Rangkuman peristiwa dan kajian yang disajikan di setiap seri menjadi rujukan banyak pihak. Bukan hanya aktivis, tetapi juga pelajar dan mahasiswa, umat gereja, hingga peneliti dan media dalam negeri maupun luar negeri.

Membangun damai di tanah Papua selalu digaungkan SKPKC lewat karya-karyanya. Spirit itu disesuaikan dengan situasi Papua yang sampai saat ini terus bergejolak. Kontak tembak antara kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan aparat gabungan TNI-Polri masih terjadi di sejumlah daerah. Khususnya di wilayah pegunungan seperti di Kabupaten Intan Jaya dan Pegunungan Bintang.

Baca Juga :  Capaian Kinerja  dan Sasaran Tahun 2021 Meningkat Cukup Signifikan

Meski pahit, kata Yuli, realitas baku tembak itu tidak bisa dimungkiri. Nah, sebagai utusan gereja yang bertugas menyiapkan data dan bahan, Yuli dkk mau tidak mau mendokumentasikan dan menganalisis setiap peristiwa di Bumi Cenderawasih. Data itu menjadi acuan gereja untuk berbicara kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.

”Jadi, kalau ada kejadian, kami ambil data, bekerja, analisis, lalu dikasih ke pemimpin gereja dan pihak-pihak sebagai pengambil kebijakan,” terang perempuan kelahiran Jayapura, 38 tahun silam, tersebut.

Mekanisme kerja sederhana itu sekarang menjadi standard operating procedure (SOP) yang diterapkan Yuli dkk. ”Dalam konteks Papua, otomatis kerja-kerja kami adalah kerja-kerja HAM, khususnya pelanggaran HAM,” ujarnya.

Di balik kerja-kerja itu, ada proses panjang dan berliku yang menjadi ”menu wajib” anggota SKPKC. Yang paling menantang tentu saja ketika tim SKPKC harus turun ke lapangan untuk mengambil data.

”Cara mendapatkan data di sini (Papua) itu bukan kita naik taksi, lalu minta diantar sopir untuk dapatkan datanya,” tegas alumnus Universitas Cenderawasih (Uncen) tersebut.

Kondisi geografis Papua didominasi pegunungan dan hutan belantara. Yuli ingat betul ketika menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengambil data di salah satu distrik di Papua. Yuli dkk menempuh perjalanan darat 12 jam, lalu menyusuri sungai dengan menaiki speedboat selama enam jam.

Trek menantang itu harus ditempuh lantaran belum semua wilayah memiliki akses komunikasi memadai. Yuli mencontohkan, di Wamena, misalnya. Tidak semua tempat dilengkapi sinyal 4G.  Komunikasi antarparoki (perwakilan gereja) hanya bisa dilakukan melalui telepon seluler. ”Jadi, susah kirim data. Sementara, yang kami perlukan itu kan data berupa foto dan video,” paparnya.

Pengalaman serupa dirasakan Bernadus Boki Koten, investigator SKPKC, belum lama ini. Bernadus harus berjalan kaki selama tujuh jam untuk sampai di Kampung Akarinda, Distrik Web, Kabupaten Keerom. ”Padahal, itu (Keerom, Red) masih terhitung dekat dengan ibu kota provinsi (Jayapura),” kata Bernadus kepada Jawa Pos.

Pria yang bertugas di Divisi Dokumentasi dan Publikasi SKPKC itu juga punya pengalaman menantang lain saat mengumpulkan data di lapangan. Pada 2019, Bernadus bersama tim relawan mendapat ancaman dari warga dan aparat militer saat menelusuri kasus pelepasan lahan untuk pembangunan markas brigade di wilayah Kimbim, Wamena.

”Sejauh pengalaman kami, kendala (ancaman) yang kami alami itu ketika peristiwa (yang diinvestigasi) tersebut berkaitan secara langsung dengan militer,” kata Bernadus.

Selain ancaman langsung, Bernadus dkk beberapa kali mengalami teror berupa panggilan robot saat berdiskusi tentang persoalan HAM di Papua.

Baca Juga :  Dinkes Hanya Handle 8 Kabupaten dan 1 Kota

Nyaris tak ada cerita bahagia dari kerja SKPKC. Yuli sadar betul tentang itu. Persoalan kemanusiaan di Papua seolah tak ada habisnya. Bukan hanya penembakan masyarakat sipil, tapi masih banyak lagi. Misalnya, kasus buta huruf hingga pelayanan kesehatan yang buruk.

”Kadang kami merenung, kok tidak ada perubahan, ceritanya penderitaan semua,” ujar perempuan pertama yang menjadi direktur SKPKC Fransiskan Papua itu.

Namun, Yuli menegaskan bahwa pengingat penderitaan dalam Memoria Passionis bukan untuk menumpulkan semangat. ”Kami bukan merawat penderitaan, tapi merawat ingatan bahwa realitas yang terjadi di Papua itu seperti ini (kekerasan dll),” tuturnya. ”Kalau (realitas) tidak disampaikan, orang tidak akan berjuang. Lalu, keadilan mau didapatkan dari mana (kalau tak ada perjuangan)?”.

Rode Wanimbo, salah seorang peserta pelatihan menulis SKPKC, menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Yuli dkk sangat penting. Sebab, cerita-cerita yang disajikan SKPKC dalam bentuk buku bisa menjadi bekal para penulis dalam memproduksi tulisan-tulisan. ”Narasi-narasi itu bisa memengaruhi cara pandang orang terhadap Papua,” ucapnya.

Garis perjuangan membangun damai di tanah Papua terus disuarakan SKPKC di berbagai forum. Termasuk dalam diskusi lintas agama. Dua tahun terakhir, SKPKC beberapa kali diundang sebagai pembicara dalam diskusi yang diadakan komunitas muslim seperti GUSDURian dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dalam diskusi tersebut, SKPKC memaparkan hasil kajian yang dituangkan dalam buku Memoria Passionis Seri No 37 berjudul Papua Bukan Tanah Kosong. Yuli mengulas banyak hal tentang peristiwa kekerasan dan ketidakadilan di Papua pada 2018. ”Jadi, bicaranya bukan soal pariwisata,” kata perempuan yang mengakhiri masa jabatan sebagai direktur SKPKC pada 2023 itu.

Menyelesaikan persoalan politik dan keamanan Papua, kata Yuli, tidak semestinya menggunakan cara-cara kekerasan. Setidaknya ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk membangun budaya damai sebagaimana yang dirumuskan para pimpinan gereja, cendekiawan, aktivis, dan para tokoh di Papua. Di antaranya, harga diri, pengakuan, hidup harmoni, saling menghargai, dan keadilan.

Seperti yang pernah ditawarkan aktivis perdamaian Neles Tebay, konflik di Papua perlu diselesaikan dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan orang Papua. Atau lebih dikenal dengan istilah dialog Jakarta-Papua. Dalam bukunya (Dialog Jakarta-Papua), Neles menuturkan bahwa dialog adalah suatu kebutuhan untuk mencegah pertumpahan darah pada masa depan.

Yuli setuju dengan pemikiran itu. Membangun budaya damai adalah cara terbaik menyelesaikan konflik. Namun, menyitir pemikiran Socratez Sofyan Yoman, bapa gembala dari Papua, Yuli menggarisbawahi perdamaian itu sulit terwujud jika keadilan dan kebenaran belum ditegakkan. ”Karena syarat perdamaian itu keadilan dan kebenaran,” tandasnya. (*/c14/ttg/JPG)

SKPKC Fransiskan Papua dan Semangat Membangun Damai di Bumi Cenderawasih

Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua mendokumentasikan dan menganalisis setiap peristiwa kemanusiaan, lalu meramunya menjadi buku Memoria Passionis. Sering terlibat dalam diskusi lintas agama seperti saat diundang Komunitas GUSDURian dan UIN Syarif Hidayatullah.

AGUS DWI PRASETYO, Jayapura

BAYANGAN kepala manusia dalam setangkup tangan yang terhalang kawat berduri terlihat mencolok di bagian sampul buku tersebut. Di bawahnya terdapat judul dengan tulisan berukuran cukup besar: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum.

Sementara, di atas judul tertulis Seri Memoria Passionis No 38. ”Memoria passionis itu berarti ingatan tentang penderitaan,” kata Yuli Langowuyo, direktur SKPKC Fransiskan Papua, saat ditemui Jawa Pos di Jayapura, Kamis (28/10) lalu.

Buku setebal 136 halaman tersebut, kata Yuli, merupakan potret politik rasialisme di tanah Papua pada 2019. Rentetan peristiwa memilukan itu berawal dari insiden di Surabaya-Malang pada Agustus 2019. Buntutnya, aksi demo pecah di sejumlah wilayah. Tidak terkecuali di Jayapura, tepatnya di halaman kantor gubernur Papua.

Theo van den Broek menyajikan rekaman peristiwa dalam bentuk tulisan, lalu menutupnya dengan uraian singkat yang padat. ”Bapak Theo ini bukan orang asli Papua, jadi bisa melihat Papua lebih objektif ketimbang kami orang Papua sendiri,” ujar Yuli.

Memoria Passionis tak ubahnya kisah berseri yang diterbitkan SKPKC setahun sekali. Berisi kajian komprehensif tentang situasi kemanusiaan di Bumi Cenderawasih.

Seri pertama terbit pada 1999 dengan judul Kondisi Hak Asasi Manusia dan Gerakan Aspirasi Merdeka. Saat ini Memoria Passionis seri terbaru, seri no 39, masih dicetak. ”Kami cetak buku di Jakarta karena di sana lebih murah daripada di Jayapura,” ungkap Yuli.

SKPKC Fransiskan Papua merupakan unit karya pastoral Provinsi Fransiskus Duta Damai di tanah Papua. Unit itu seperti organisasi sayap keagamaan yang menyelenggarakan pelayanan sosial pastoral kepada masyarakat Papua. Khususnya umat Katolik di seluruh wilayah Persaudaraan Fransiskan Papua (OFM). ”SKPKC ini berdiri sejak 1998. Ini mandat dari wakil gereja,” jelasnya.

Seri Memoria Passionis adalah salah satu produk SKPKC yang cukup populer di kalangan aktivis gereja maupun pegiat hak asasi manusia (HAM). Rangkuman peristiwa dan kajian yang disajikan di setiap seri menjadi rujukan banyak pihak. Bukan hanya aktivis, tetapi juga pelajar dan mahasiswa, umat gereja, hingga peneliti dan media dalam negeri maupun luar negeri.

Membangun damai di tanah Papua selalu digaungkan SKPKC lewat karya-karyanya. Spirit itu disesuaikan dengan situasi Papua yang sampai saat ini terus bergejolak. Kontak tembak antara kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan aparat gabungan TNI-Polri masih terjadi di sejumlah daerah. Khususnya di wilayah pegunungan seperti di Kabupaten Intan Jaya dan Pegunungan Bintang.

Baca Juga :  Kedepankan Pendekatan Kesejahteraan dan Kearifan Lokal

Meski pahit, kata Yuli, realitas baku tembak itu tidak bisa dimungkiri. Nah, sebagai utusan gereja yang bertugas menyiapkan data dan bahan, Yuli dkk mau tidak mau mendokumentasikan dan menganalisis setiap peristiwa di Bumi Cenderawasih. Data itu menjadi acuan gereja untuk berbicara kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.

”Jadi, kalau ada kejadian, kami ambil data, bekerja, analisis, lalu dikasih ke pemimpin gereja dan pihak-pihak sebagai pengambil kebijakan,” terang perempuan kelahiran Jayapura, 38 tahun silam, tersebut.

Mekanisme kerja sederhana itu sekarang menjadi standard operating procedure (SOP) yang diterapkan Yuli dkk. ”Dalam konteks Papua, otomatis kerja-kerja kami adalah kerja-kerja HAM, khususnya pelanggaran HAM,” ujarnya.

Di balik kerja-kerja itu, ada proses panjang dan berliku yang menjadi ”menu wajib” anggota SKPKC. Yang paling menantang tentu saja ketika tim SKPKC harus turun ke lapangan untuk mengambil data.

”Cara mendapatkan data di sini (Papua) itu bukan kita naik taksi, lalu minta diantar sopir untuk dapatkan datanya,” tegas alumnus Universitas Cenderawasih (Uncen) tersebut.

Kondisi geografis Papua didominasi pegunungan dan hutan belantara. Yuli ingat betul ketika menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengambil data di salah satu distrik di Papua. Yuli dkk menempuh perjalanan darat 12 jam, lalu menyusuri sungai dengan menaiki speedboat selama enam jam.

Trek menantang itu harus ditempuh lantaran belum semua wilayah memiliki akses komunikasi memadai. Yuli mencontohkan, di Wamena, misalnya. Tidak semua tempat dilengkapi sinyal 4G.  Komunikasi antarparoki (perwakilan gereja) hanya bisa dilakukan melalui telepon seluler. ”Jadi, susah kirim data. Sementara, yang kami perlukan itu kan data berupa foto dan video,” paparnya.

Pengalaman serupa dirasakan Bernadus Boki Koten, investigator SKPKC, belum lama ini. Bernadus harus berjalan kaki selama tujuh jam untuk sampai di Kampung Akarinda, Distrik Web, Kabupaten Keerom. ”Padahal, itu (Keerom, Red) masih terhitung dekat dengan ibu kota provinsi (Jayapura),” kata Bernadus kepada Jawa Pos.

Pria yang bertugas di Divisi Dokumentasi dan Publikasi SKPKC itu juga punya pengalaman menantang lain saat mengumpulkan data di lapangan. Pada 2019, Bernadus bersama tim relawan mendapat ancaman dari warga dan aparat militer saat menelusuri kasus pelepasan lahan untuk pembangunan markas brigade di wilayah Kimbim, Wamena.

”Sejauh pengalaman kami, kendala (ancaman) yang kami alami itu ketika peristiwa (yang diinvestigasi) tersebut berkaitan secara langsung dengan militer,” kata Bernadus.

Selain ancaman langsung, Bernadus dkk beberapa kali mengalami teror berupa panggilan robot saat berdiskusi tentang persoalan HAM di Papua.

Baca Juga :  Perwakilan DPRD Tiga Kabupaten Datangi DPRP

Nyaris tak ada cerita bahagia dari kerja SKPKC. Yuli sadar betul tentang itu. Persoalan kemanusiaan di Papua seolah tak ada habisnya. Bukan hanya penembakan masyarakat sipil, tapi masih banyak lagi. Misalnya, kasus buta huruf hingga pelayanan kesehatan yang buruk.

”Kadang kami merenung, kok tidak ada perubahan, ceritanya penderitaan semua,” ujar perempuan pertama yang menjadi direktur SKPKC Fransiskan Papua itu.

Namun, Yuli menegaskan bahwa pengingat penderitaan dalam Memoria Passionis bukan untuk menumpulkan semangat. ”Kami bukan merawat penderitaan, tapi merawat ingatan bahwa realitas yang terjadi di Papua itu seperti ini (kekerasan dll),” tuturnya. ”Kalau (realitas) tidak disampaikan, orang tidak akan berjuang. Lalu, keadilan mau didapatkan dari mana (kalau tak ada perjuangan)?”.

Rode Wanimbo, salah seorang peserta pelatihan menulis SKPKC, menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Yuli dkk sangat penting. Sebab, cerita-cerita yang disajikan SKPKC dalam bentuk buku bisa menjadi bekal para penulis dalam memproduksi tulisan-tulisan. ”Narasi-narasi itu bisa memengaruhi cara pandang orang terhadap Papua,” ucapnya.

Garis perjuangan membangun damai di tanah Papua terus disuarakan SKPKC di berbagai forum. Termasuk dalam diskusi lintas agama. Dua tahun terakhir, SKPKC beberapa kali diundang sebagai pembicara dalam diskusi yang diadakan komunitas muslim seperti GUSDURian dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dalam diskusi tersebut, SKPKC memaparkan hasil kajian yang dituangkan dalam buku Memoria Passionis Seri No 37 berjudul Papua Bukan Tanah Kosong. Yuli mengulas banyak hal tentang peristiwa kekerasan dan ketidakadilan di Papua pada 2018. ”Jadi, bicaranya bukan soal pariwisata,” kata perempuan yang mengakhiri masa jabatan sebagai direktur SKPKC pada 2023 itu.

Menyelesaikan persoalan politik dan keamanan Papua, kata Yuli, tidak semestinya menggunakan cara-cara kekerasan. Setidaknya ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk membangun budaya damai sebagaimana yang dirumuskan para pimpinan gereja, cendekiawan, aktivis, dan para tokoh di Papua. Di antaranya, harga diri, pengakuan, hidup harmoni, saling menghargai, dan keadilan.

Seperti yang pernah ditawarkan aktivis perdamaian Neles Tebay, konflik di Papua perlu diselesaikan dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan orang Papua. Atau lebih dikenal dengan istilah dialog Jakarta-Papua. Dalam bukunya (Dialog Jakarta-Papua), Neles menuturkan bahwa dialog adalah suatu kebutuhan untuk mencegah pertumpahan darah pada masa depan.

Yuli setuju dengan pemikiran itu. Membangun budaya damai adalah cara terbaik menyelesaikan konflik. Namun, menyitir pemikiran Socratez Sofyan Yoman, bapa gembala dari Papua, Yuli menggarisbawahi perdamaian itu sulit terwujud jika keadilan dan kebenaran belum ditegakkan. ”Karena syarat perdamaian itu keadilan dan kebenaran,” tandasnya. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya