Thursday, March 28, 2024
26.7 C
Jayapura

Neraca Dagang Alami Surplus Semu

Pengunjung saat berada di pusat perbelanjaan Kuningan City, saat hari pertama pembukaan kembali di Jakarta, Senin (15/6/2020). Pemprov DKI Jakarta pada minggu ketiga penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi membuka kembali operasional 80 pusat perbelanjaan atau mal di wilayah DKI Jakarta dengan menerapkan standar protokol kesehatan.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

*Harus Mulai Bidik Mitra Dagang Baru

JAKARTA, Jawa Pos-Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Mei surplus USD 2,1 miliar. Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, surplus neraca dagang itu terjadi karena ekspor tercatat sebesar USD 10,53 miliar sedangkan impor sebesar USD 8,44 miliar.

‘’Terciptanya surplus ini kurang menggembirakan karena ekspornya mengalami penurunan sebesar 28,95 persen, impornya turun jauh lebih dalam yaitu 42,2 persen,’’ kata ujarnya dalam video conference di Jakarta, kemarin (15/6).

Suhariyanto melanjutkan, kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif pada banyak sektor, yakni pertanian, industri pengolahan hingga pertambangan. Di sisi lain, impor juga turun pada semua kategori barang, mulai dari konsumsi, bahan baku dan penolong hingga barang modal.

Menurut dian, kondisi ekonomi dunia masih diliputi ketidakpastian. Banyak negara tujuan ekspor Indonesia mengalami perlambatan ekonomi, bahkan kontraksi. Beberapa di antaranya juga mengalami pelemahan daya beli dan melakukan pembatasan kegiatan ekonomi maupun sosial yang mengganggu proses produksi. ‘’Ini juga berdampak pada neraca dagang Indonesia bulan Mei,’’ jelasnya.

Sementara itu di Jawa Timur (Jatim) neraca dagang tercatat deficit USD 9,18 juta. Nilai ekspor tercatat USD 1,25 miliar atau turun 30,82 persen secara year on year (yoy). Sedangkan nilai impor tercatat USD 1,26 miliar, atau turun 38,7 persen (yoy).

Baca Juga :  8 Kabupaten/Kota Belum Masukkan Data Honorer

Lesunya ekonomi akibat pandemic Covid-19 membuat ekspor maupun impor sama-sama anjlok. “Secara umum kita masih ditopang oleh ekspor barang perhiasan, serta lemak hewani dan nabati yang merupakan barang utama ekspor Jatim. Kemudian kita juga ada aktivitas impor aksesori kendaraan bermotor,” ujar Kepala BPS Jatim Dadang Hardiwan.

Menurut Dadang kemungkinan akan ada kenaikan impor barang logam yang didominasi oleh aksesori kendaraan bermotor. Sebab dia melihat akan terjadi tren penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang lebih banyak dari sebelumnya. “Mayoritas masyarakat akan lebih banyak pertimbangan kalau mau pakai kendaraan umum,” lanjutnya.

Dadang mengatakan penurunan impor dan ekspor ini menggambarkan perekonomian yang masih lemah. Kebutuhan industry dan penjualan ekspor masih jauh dari kata pemulihan. “Tentunya kita berharap perekonomian ke depan bisa lebih baik,” imbuhnya.

Namun di tengah tren penurunan ini, perdagangan terkait barang-barang untuk kebutuhan Kesehatan tercatat naik. Sebut saja ekspor sarung tangan yang naik 733,58 persen secara month on month (mom) menjadi senilai USD 437,52 ribu. Sementara itu untuk impor, terjadi lonjakan sebesar 1.648,32 persen (mom) menjadi USD 2,22 juta.

Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menuturkan, surplus neraca dagang yang terjadi memang patut diwaspadai. Hal itu disebabkan karena struktur ekonomi Indonesia yang terbilang ‘unik’.

Baca Juga :  13 Pentolan KNPB Jadi Tersangka,  Ketuanya Berstatus ASN 

‘’Karena sebagian besar kebutuhannya masih perlu impor, jadi kalau impornya turun malah itu tanda-tanda resesi. Lalu ekspornya pun juga turun, meski ekspornya surplus daripada impor tapi saat ini kan permintaan dunia melemah semua,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (15/6).

Penurunan impor yang turun lebih cepat daripada ekspor membuat adanya surplus. Namun, Eko menyebut surplus yang terjadi bukanlah surplus yang baik dan menguntungkan, melainkan surplus semu.

Dengan kondisi surplus semu itu, dunia usaha perlu melakukan berbagai upaya. Salah satunya yakni membidik negara mitra dagang mana saja yang lebih cepat pulihnya. ‘’Misalnya Tiongkok yang mulai ada tanda-tanda peningkatan. Atau ASEAN yang juga harus dikawal,’’ imbuhnya.

Dengan membidik mitra dagang yang mulai tumbuh ekonominya, diharapkan Indonesia memiliki pasar yang lebih potensial daripada sebelumnya. Eko juga mengimbau agar RI juga mencermati kondisi di AS yang kini sedang memanas karena pandemic dan isu rasisme. Sebab, AS selama ini menjadi mitra dagang utama RI.

‘’Jangan dilirik dulu (AS), meski porsinya besar ke kita. Sehingga energy kita fokus untuk melihat negara-negara yang ekonominya bisa lebih cepat pulih. Terutama ASEAN karena pasarnya besar, potensial, dan tidak ada hambatannya,’’ tambahnya. (dee/rin/JPG)

Pengunjung saat berada di pusat perbelanjaan Kuningan City, saat hari pertama pembukaan kembali di Jakarta, Senin (15/6/2020). Pemprov DKI Jakarta pada minggu ketiga penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi membuka kembali operasional 80 pusat perbelanjaan atau mal di wilayah DKI Jakarta dengan menerapkan standar protokol kesehatan.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

*Harus Mulai Bidik Mitra Dagang Baru

JAKARTA, Jawa Pos-Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Mei surplus USD 2,1 miliar. Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, surplus neraca dagang itu terjadi karena ekspor tercatat sebesar USD 10,53 miliar sedangkan impor sebesar USD 8,44 miliar.

‘’Terciptanya surplus ini kurang menggembirakan karena ekspornya mengalami penurunan sebesar 28,95 persen, impornya turun jauh lebih dalam yaitu 42,2 persen,’’ kata ujarnya dalam video conference di Jakarta, kemarin (15/6).

Suhariyanto melanjutkan, kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif pada banyak sektor, yakni pertanian, industri pengolahan hingga pertambangan. Di sisi lain, impor juga turun pada semua kategori barang, mulai dari konsumsi, bahan baku dan penolong hingga barang modal.

Menurut dian, kondisi ekonomi dunia masih diliputi ketidakpastian. Banyak negara tujuan ekspor Indonesia mengalami perlambatan ekonomi, bahkan kontraksi. Beberapa di antaranya juga mengalami pelemahan daya beli dan melakukan pembatasan kegiatan ekonomi maupun sosial yang mengganggu proses produksi. ‘’Ini juga berdampak pada neraca dagang Indonesia bulan Mei,’’ jelasnya.

Sementara itu di Jawa Timur (Jatim) neraca dagang tercatat deficit USD 9,18 juta. Nilai ekspor tercatat USD 1,25 miliar atau turun 30,82 persen secara year on year (yoy). Sedangkan nilai impor tercatat USD 1,26 miliar, atau turun 38,7 persen (yoy).

Baca Juga :  Pilkada Boven Digoel Direncanakan 28 Desember

Lesunya ekonomi akibat pandemic Covid-19 membuat ekspor maupun impor sama-sama anjlok. “Secara umum kita masih ditopang oleh ekspor barang perhiasan, serta lemak hewani dan nabati yang merupakan barang utama ekspor Jatim. Kemudian kita juga ada aktivitas impor aksesori kendaraan bermotor,” ujar Kepala BPS Jatim Dadang Hardiwan.

Menurut Dadang kemungkinan akan ada kenaikan impor barang logam yang didominasi oleh aksesori kendaraan bermotor. Sebab dia melihat akan terjadi tren penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang lebih banyak dari sebelumnya. “Mayoritas masyarakat akan lebih banyak pertimbangan kalau mau pakai kendaraan umum,” lanjutnya.

Dadang mengatakan penurunan impor dan ekspor ini menggambarkan perekonomian yang masih lemah. Kebutuhan industry dan penjualan ekspor masih jauh dari kata pemulihan. “Tentunya kita berharap perekonomian ke depan bisa lebih baik,” imbuhnya.

Namun di tengah tren penurunan ini, perdagangan terkait barang-barang untuk kebutuhan Kesehatan tercatat naik. Sebut saja ekspor sarung tangan yang naik 733,58 persen secara month on month (mom) menjadi senilai USD 437,52 ribu. Sementara itu untuk impor, terjadi lonjakan sebesar 1.648,32 persen (mom) menjadi USD 2,22 juta.

Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menuturkan, surplus neraca dagang yang terjadi memang patut diwaspadai. Hal itu disebabkan karena struktur ekonomi Indonesia yang terbilang ‘unik’.

Baca Juga :  Anak Yatim Bisa di Posisi Tertinggi Polri

‘’Karena sebagian besar kebutuhannya masih perlu impor, jadi kalau impornya turun malah itu tanda-tanda resesi. Lalu ekspornya pun juga turun, meski ekspornya surplus daripada impor tapi saat ini kan permintaan dunia melemah semua,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (15/6).

Penurunan impor yang turun lebih cepat daripada ekspor membuat adanya surplus. Namun, Eko menyebut surplus yang terjadi bukanlah surplus yang baik dan menguntungkan, melainkan surplus semu.

Dengan kondisi surplus semu itu, dunia usaha perlu melakukan berbagai upaya. Salah satunya yakni membidik negara mitra dagang mana saja yang lebih cepat pulihnya. ‘’Misalnya Tiongkok yang mulai ada tanda-tanda peningkatan. Atau ASEAN yang juga harus dikawal,’’ imbuhnya.

Dengan membidik mitra dagang yang mulai tumbuh ekonominya, diharapkan Indonesia memiliki pasar yang lebih potensial daripada sebelumnya. Eko juga mengimbau agar RI juga mencermati kondisi di AS yang kini sedang memanas karena pandemic dan isu rasisme. Sebab, AS selama ini menjadi mitra dagang utama RI.

‘’Jangan dilirik dulu (AS), meski porsinya besar ke kita. Sehingga energy kita fokus untuk melihat negara-negara yang ekonominya bisa lebih cepat pulih. Terutama ASEAN karena pasarnya besar, potensial, dan tidak ada hambatannya,’’ tambahnya. (dee/rin/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya