Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Tindakan DPRP Mengatasnamakan Otsus, Ilegal

Frans Maniagasi ( FOTO: Istimewa)

*Selama DPRP Pengangkatan  Belum Dilantik

JAYAPURA-Semua tindakan atau perbuatan dan kegiatan DPRP yang mengatasnamakan atau berkaitan dengan  pelaksanaan  Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001  tentang Otsus Papua adalah  perbuatan  ilegal, tidak berdasarkan hukum atau inkonstitusional. 

Hal ini ditegaskan Frans Maniagasi anggota Tim Asistensi UU Otsus Papua tahun 2001 melalui releasenya yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (11/11). 

“Jadi, Pansus Otsus tentang revisi Otsus yang beberapa waktu lalu berkonsultasi dengan Kemendagri jelas-jelas kegiatan yang tidak berdasar. Bukan itu, saja rancangan Perdasus atau kebijakan apa pun yang dilakukan oleh DPRP  berkaitan dengan Otsus tak memiliki basis konstitusi,” jelasnya.  

Frans Maniagasi menyebutkan, selama dan sepanjang anggota DPRP kursi pengangkatan belum dilantik, maka selama itu pula tidak ada dasar sama sekali untuk DPRP melakukan aktivitas  atau mengambil  keputusan yang menyangkut Otsus. 

Wartawan senior yang pada saat UU Otsus dibuat 20 tahun lalu itu ditunjuk dalam tim Asistensi sebagai Koordinator Pers dan Media Massa mengatakan, sesuai pasal 6 ayat 2 UU 21/2001 bahwa  DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang – undangan.

 Untuk itu Staf Ahli Dirjen Otda Kemendagri (2015– 2019) itu  mengimbau agar Kemendagri segera menerbitkan SK Penetapan 14 orang anggota DPRP hasil pengangkatan  yang telah direkomendasikan  oleh Gubernur Papua, untuk  segera dilantik menjadi  anggota DPRP dengan demikian menghindari kekosongan hukum di DPRP. 

“Mesti diingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Papua berdasarkan UU Otsus sesuai  pasal 5 ayat 1, Pemerintah Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Selanjut pada ayat 2 dalam rangka penyelenggaraan Otsus di Provinsi Papua maka dibentuk MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua,” ujarnya.

 Ditambahkannya selama belum dilantik anggota DPRP pengangkatan maka selama itu setiap aktivitas yang menyangkut pelaksanaan daripada UU Otsus mesti dihentikan. Termasuk pengeluaran dana untuk kegiatan DPRP yang mengatasnamakan Otsus juga harus dihentikan.

Baca Juga :  Polisi Selidiki 20 Amunisi yang Ditemukan di TPA

“Kalau itu tak diindahkan  maka telah  terjadi korupsi konstitusional. Selain  melanggar UU Otsus juga  tidak ada dasar apa pun memanfaatkan  dana Otsus  untuk kegiatan yang berhubungan dengan program program legislasi Otsus,” tegasnya, 

“Terkadang kita mencap orang lain termasuk pusat inkonsisten terhadap implementasi UU 21/2001, tapi Papua sendiri pun sadar atau tidak justru tidak konsisten dan konsekuen terhadap implementasi Otsus. Banyak hal dan pengalaman yang pernah saya temui, tapi sudahlah tak perlu saya kemukakan di sini,” sambungnya.   

Akibat tidak konsisten dalam melaksanakan UU Otsus menurutnya, tanpa disadari seringkali latah menyalahkan orang lain atau menyalahkan  pemerintah pusat. 

Seperti beberapa waktu lalu bahkan hingga kini  ramai terjadi penolakan terhadap Otsus bahkan ada yang menyatakan Otsus gagal. “Kegagalan atau suksesnya Otsus selama 20 tahun apakah  sudah dievaluasi?,” tandasnya.

Evaluasi menyangkut aspek yuridisnya,  pasal – pasal mana yang belum terlaksana sama sekali, atau yang sudah terlaksana, atau  separo yang sudah dilakukan.

Kemudian evaluasi pada tingkat pelaksanaanya apakah di lapangan Otsus telah menyentuh kepentingan penduduk asli. Dengan tiga sektor unggulan yang diamanatkan oleh UU Otsus yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi serta ekonomi rakyat.  

Untuk evaluasi menurutnya tentu diperlukan indikator atau alat ukur guna mengukur keberhasilan atau tidak suksesnya Otsus. Oleh sebab itu dalam rangka revisi maka Frans,  sejak awal dua atau tiga tahun yang lalu telah mengusulkan kepada pemerintah pusat lewat Kemendagri dan K/L terkait agar perlu dilakukan evaluasi bersama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat guna mengantisipasi berakhirnya dana Otsus 2 % setara DAU nasional yang akan berakhir pada tahun 2021. Sedangkan UU Otsus tidak berakhir tetap akan berlaku selama Papua masih menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. 

Evaluasi menurut Frans dilakukan  tanpa mencari-cari siapa yang salah atau yang benar. Perlu diingat bahwa Otsus adalah program rekognisi dari negara sesuai pasal 18 dan 18 B UUD 1945 dimana negara menghormati dan menghargai wilayah-wilayah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan.

Baca Juga :  Keluarga Pratu Hiron Paragai Akan Tuntut Secara Adat

Karena menurutnya Otsus adalah wilayah khusus maka pertanyaannya selama 20 tahun ini apakah ketentuan ketentuan dalam UU tersebut telah dilakukan sesuai tanggung jawab masing masing baik Papua dan Papua Barat maupun Pusat. 

“Mesti disadari bahwa aparat pemerintah daerah baik gubernur, DPRP, MRP, bupati dan wali kota adalah wajah negara di daerah. Wakil – wakil pemerintah (negara) di daerah. Jadi adalah prihatin saya kalau kemudian pejabat melepas tanggung jawabnya dan menyalahkan pusat (negara), untuk apa memakai lambang Garuda di dada. Lambang Garuda itu bukan hanya simbol semata tapi substansinya yang bersangkutan adalah wakil negara,” tambahnya. 

Pusat juga diakuinya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal mengadvokasi dan membimbing daerah agar Otsus dapat berjalan sesuai ketentuannya. Sebab  selama ini tidak ada, katakan Juklak (petunjuk pelaksana) dan Juknis (petunjuk teknis) kepada  daerah baik Papua dan Papua Barat dalam  melaksanakan Otsus,  sehingga ada  basis  referensi yang sama dalam penyelenggaraan Otsus. 

Selain itu selama ini  tanpa ada pendampingan, seolah-olah dibiarkan jalan sendiri, tanpa ada pengawasan dan bimbangan dari pusat. “Meskipun Pusat melakukan bimbangan, pengawasan dan pendampingan tapi semua itu dilakukan karena hanya memenuhi Tupoksi saja yang bersifat birokratis,” ucapnya. 

Untuk itu Frans berharap ke depan mesti ada evaluasi secara menyeluruh dan komperhensif terhadap UU ini sebelum dilaksanakan revisi. 

Ditegaskannya revisi pun menyangkut persepsi pusat atau tepatnya pusat – pusat kekuasaan di sekitar Presiden, dalam memandang Otsus termasuk cara melihat Papua, maupun revisi yuridis formal UU 21/2001 serta implementasi dengan tentu menentukan alat ukur yang dijadikan sebagai ukuran dalam mengukur dan menentukkan apa Otsus gagal atau tidak. (nat)  

###########

Frans Maniagasi ( FOTO: Istimewa)

*Selama DPRP Pengangkatan  Belum Dilantik

JAYAPURA-Semua tindakan atau perbuatan dan kegiatan DPRP yang mengatasnamakan atau berkaitan dengan  pelaksanaan  Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001  tentang Otsus Papua adalah  perbuatan  ilegal, tidak berdasarkan hukum atau inkonstitusional. 

Hal ini ditegaskan Frans Maniagasi anggota Tim Asistensi UU Otsus Papua tahun 2001 melalui releasenya yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (11/11). 

“Jadi, Pansus Otsus tentang revisi Otsus yang beberapa waktu lalu berkonsultasi dengan Kemendagri jelas-jelas kegiatan yang tidak berdasar. Bukan itu, saja rancangan Perdasus atau kebijakan apa pun yang dilakukan oleh DPRP  berkaitan dengan Otsus tak memiliki basis konstitusi,” jelasnya.  

Frans Maniagasi menyebutkan, selama dan sepanjang anggota DPRP kursi pengangkatan belum dilantik, maka selama itu pula tidak ada dasar sama sekali untuk DPRP melakukan aktivitas  atau mengambil  keputusan yang menyangkut Otsus. 

Wartawan senior yang pada saat UU Otsus dibuat 20 tahun lalu itu ditunjuk dalam tim Asistensi sebagai Koordinator Pers dan Media Massa mengatakan, sesuai pasal 6 ayat 2 UU 21/2001 bahwa  DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang – undangan.

 Untuk itu Staf Ahli Dirjen Otda Kemendagri (2015– 2019) itu  mengimbau agar Kemendagri segera menerbitkan SK Penetapan 14 orang anggota DPRP hasil pengangkatan  yang telah direkomendasikan  oleh Gubernur Papua, untuk  segera dilantik menjadi  anggota DPRP dengan demikian menghindari kekosongan hukum di DPRP. 

“Mesti diingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Papua berdasarkan UU Otsus sesuai  pasal 5 ayat 1, Pemerintah Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Selanjut pada ayat 2 dalam rangka penyelenggaraan Otsus di Provinsi Papua maka dibentuk MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua,” ujarnya.

 Ditambahkannya selama belum dilantik anggota DPRP pengangkatan maka selama itu setiap aktivitas yang menyangkut pelaksanaan daripada UU Otsus mesti dihentikan. Termasuk pengeluaran dana untuk kegiatan DPRP yang mengatasnamakan Otsus juga harus dihentikan.

Baca Juga :  Tak Dilengkapi Dokumen Keimigrasian, 7 Warga PNG Diamankan

“Kalau itu tak diindahkan  maka telah  terjadi korupsi konstitusional. Selain  melanggar UU Otsus juga  tidak ada dasar apa pun memanfaatkan  dana Otsus  untuk kegiatan yang berhubungan dengan program program legislasi Otsus,” tegasnya, 

“Terkadang kita mencap orang lain termasuk pusat inkonsisten terhadap implementasi UU 21/2001, tapi Papua sendiri pun sadar atau tidak justru tidak konsisten dan konsekuen terhadap implementasi Otsus. Banyak hal dan pengalaman yang pernah saya temui, tapi sudahlah tak perlu saya kemukakan di sini,” sambungnya.   

Akibat tidak konsisten dalam melaksanakan UU Otsus menurutnya, tanpa disadari seringkali latah menyalahkan orang lain atau menyalahkan  pemerintah pusat. 

Seperti beberapa waktu lalu bahkan hingga kini  ramai terjadi penolakan terhadap Otsus bahkan ada yang menyatakan Otsus gagal. “Kegagalan atau suksesnya Otsus selama 20 tahun apakah  sudah dievaluasi?,” tandasnya.

Evaluasi menyangkut aspek yuridisnya,  pasal – pasal mana yang belum terlaksana sama sekali, atau yang sudah terlaksana, atau  separo yang sudah dilakukan.

Kemudian evaluasi pada tingkat pelaksanaanya apakah di lapangan Otsus telah menyentuh kepentingan penduduk asli. Dengan tiga sektor unggulan yang diamanatkan oleh UU Otsus yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi serta ekonomi rakyat.  

Untuk evaluasi menurutnya tentu diperlukan indikator atau alat ukur guna mengukur keberhasilan atau tidak suksesnya Otsus. Oleh sebab itu dalam rangka revisi maka Frans,  sejak awal dua atau tiga tahun yang lalu telah mengusulkan kepada pemerintah pusat lewat Kemendagri dan K/L terkait agar perlu dilakukan evaluasi bersama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat guna mengantisipasi berakhirnya dana Otsus 2 % setara DAU nasional yang akan berakhir pada tahun 2021. Sedangkan UU Otsus tidak berakhir tetap akan berlaku selama Papua masih menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. 

Evaluasi menurut Frans dilakukan  tanpa mencari-cari siapa yang salah atau yang benar. Perlu diingat bahwa Otsus adalah program rekognisi dari negara sesuai pasal 18 dan 18 B UUD 1945 dimana negara menghormati dan menghargai wilayah-wilayah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan.

Baca Juga :  Pangdam XVII/Cenderawasih: Jika Ganggu Pesawat, Kami Tembak

Karena menurutnya Otsus adalah wilayah khusus maka pertanyaannya selama 20 tahun ini apakah ketentuan ketentuan dalam UU tersebut telah dilakukan sesuai tanggung jawab masing masing baik Papua dan Papua Barat maupun Pusat. 

“Mesti disadari bahwa aparat pemerintah daerah baik gubernur, DPRP, MRP, bupati dan wali kota adalah wajah negara di daerah. Wakil – wakil pemerintah (negara) di daerah. Jadi adalah prihatin saya kalau kemudian pejabat melepas tanggung jawabnya dan menyalahkan pusat (negara), untuk apa memakai lambang Garuda di dada. Lambang Garuda itu bukan hanya simbol semata tapi substansinya yang bersangkutan adalah wakil negara,” tambahnya. 

Pusat juga diakuinya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal mengadvokasi dan membimbing daerah agar Otsus dapat berjalan sesuai ketentuannya. Sebab  selama ini tidak ada, katakan Juklak (petunjuk pelaksana) dan Juknis (petunjuk teknis) kepada  daerah baik Papua dan Papua Barat dalam  melaksanakan Otsus,  sehingga ada  basis  referensi yang sama dalam penyelenggaraan Otsus. 

Selain itu selama ini  tanpa ada pendampingan, seolah-olah dibiarkan jalan sendiri, tanpa ada pengawasan dan bimbangan dari pusat. “Meskipun Pusat melakukan bimbangan, pengawasan dan pendampingan tapi semua itu dilakukan karena hanya memenuhi Tupoksi saja yang bersifat birokratis,” ucapnya. 

Untuk itu Frans berharap ke depan mesti ada evaluasi secara menyeluruh dan komperhensif terhadap UU ini sebelum dilaksanakan revisi. 

Ditegaskannya revisi pun menyangkut persepsi pusat atau tepatnya pusat – pusat kekuasaan di sekitar Presiden, dalam memandang Otsus termasuk cara melihat Papua, maupun revisi yuridis formal UU 21/2001 serta implementasi dengan tentu menentukan alat ukur yang dijadikan sebagai ukuran dalam mengukur dan menentukkan apa Otsus gagal atau tidak. (nat)  

###########

Berita Terbaru

Artikel Lainnya