Friday, March 29, 2024
25.7 C
Jayapura

Bersyukur Terserang saat Gaya Hidup Sudah Sehat

DOKUMENTASI MARKUS GATOT SURA WIJAYA DIAWALI MERIANG: Setelah sembuh dari Covid-19, dokter Markus Gatot Sura Wijaya mengingatkan pentingnya menata pola pikir. Hindari stres.

Mereka yang Bertarung Melawan Covid-19 dan Berhasil Sembuh (3/Habis)

Penularan Covid-19 berlangsung cepat. Berdiri di depan toilet saat ada pasien positif Corona melintas membuat dokter Markus Gatot Sura Wijaya turut terinfeksi. Dirawat enam hari, dia dinyatakan sembuh dan kini sudah bertugas kembali.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya, Jawa Pos

BATUKNYA ini tidak biasa. Terlalu intens dan kuat. Mencurigakan. Begitulah pikiran dokter Markus, 31, saat melihat seorang pasien didorong di atas brankar RSUD dr Soetomo Surabaya pada 11 Maret lalu. 

Saat itu kebetulan Markus baru keluar dari toilet yang biasa digunakan tenaga medis rumah sakit (RS) milik Provinsi Jawa Timur tersebut. Dia tidak mengenakan masker karena merasa itu daerah aman. Bukan area perawatan. Siapa sangka jika di hadapannya kemudian melintas pasien tersebut. 

Sejenak Markus khawatir dengan dirinya. Apalagi, jarak dia berdiri dengan pasien itu hanya 1-2 meter. Namun, dia cepat menepis ketakutan akan kemungkinan ketularan tersebut. ”Saya pikir tidak akan ada apa-apa,” katanya melalui telepon seluler Minggu (5/4). 

Dua hari kemudian Markus meriang. Demam, tetapi tidak tinggi. Ada cairan yang keluar menetes dari belakang hidung. Tenggorokan pun mulai gatal. ”Hari kedua setelah muncul gejala, saya merasakan nyeri telan,” ujar dokter yang tengah mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi di RSUD dr Soetomo itu.

Gejala lain terus menyusul di hari berikutnya. Mulai serak hingga batuk kering. Markus melapor ke guru dan sejumlah seniornya. ”Saya bilang bahwa ada kemungkinan saya kontak dengan pasien yang batuknya menyeramkan,” katanya. 

Markus lalu mencari informasi ke sejawat tentang pasien yang dijumpai pada 11 Maret itu. Ketahuan hasil tes swab pasien baru keluar dan terkonfirmasi positif Covid-19. ”Saya periksa laboratorium pada hari keempat setelah gejala ke RSUA (Rumah Sakit Universitas Airlangga) pada 16 Maret,” ucapnya. 

Dua hari kemudian hasil keluar. Markus positif. Meski sesuai dengan dugaan terburuknya, Markus merasa cemas juga. Khawatir dengan kondisi keluarganya, Markus tak mau berlama-lama larut dengan perasaannya sendiri. 

Tindakan pertama ialah menempatkan anak dan istri di ruangan terpisah. Berbagai informasi dari jurnal ilmiah tentang Covid-19 langsung dilahap. Mulai tentang komplikasi, gejala, hingga kemungkinan membaiknya seperti apa. ”Jadi, saya tahu apa yang sedang saya hadapi. Dan mungkin saya PPDS pertama yang kena,” ujarnya. 

Baca Juga :  Hendak Deklarasi, Buchtar Dijemput Polisi

Hari itu juga Markus dijemput ambulans. Dia dirawat di ruang isolasi khusus (RIK) RSUD dr Soetomo. Sementara anaknya yang berusia 9 bulan dan istrinya menjalani isolasi mandiri di rumah hingga 14 hari. Mereka masuk kategori orang dalam pemantauan (ODP). Saat tes, mereka dinyatakan negatif.

Markus tidak pernah membayangkan akan menjadi penghuni RIK. Ada ketakutan karena dia juga tak tahu fase sakit yang dideritanya. Dalam pengategorian secara klinis, pasien dibedakan dalam fase tanpa gejala, gejala minimal, atau berat hingga kritikal. ”Saya mengira fase saya masih belum parah,” ucapnya.

Markus berada di dalam RIK bersama satu pasien dengan gejala yang tidak begitu berat. Selama pengobatan pun tidak mengalami kendala. Gejala yang dialami membaik dalam hitungan hari. Kebetulan, tidak ada gejala pneumonia maupun acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau sesak napas berat. ”Senin saya batuk, Kamis atau Jumat batuk saya berkurang jauh,” katanya.

Markus menceritakan, karena kondisinya bagus, dirinya tidak sampai diinfus. Tim medis rutin melakukan tes darah, foto rontgen, cek tensi, dan cek nadi. Selama di RIK, Markus berusaha melakukan hal yang membuatnya senang. Misalnya main handphone, membaca jurnal, sampai mengerjakan tugas yang belum selesai. ”Kondisi ruangan enak. Saya di RIK, ada kamar mandi pribadi di satu kamar itu. Kalau bosan juga ada televisi,” ungkapnya. 

Markus juga menyempatkan berolahraga ringan. Loncat-loncat diselingi lari di tempat. Menurut dia, olahraga menjadi salah satu cara mempercepat penyembuhan. Setidaknya bisa menghilangkan stres dan badan menjadi lebih fresh. ”Puji Tuhan, saya terkena korona ketika gaya hidup saya sudah berubah,” ujarnya. 

Markus mengaku sempat mengalami morbid obesity sekitar enam bulan lalu. Berat badannya mencapai 115 kilogram. Kondisi tersebut sempat membuat sindrom metabolik, gula darah meningkat, dan tensi naik. Kemudian, sejak Januari dia mengubah gaya hidup sehat dengan makan makanan yang sehat dan berolahraga. ”Sekarang sudah turun. Sekarang semua terkontrol. Jadi, pas saya kena virus korona, kondisi saya pas sedang fit dan normal,” katanya sambil menyebut berat badannya kini 105 Kg. 

Baca Juga :  Tak Perlu Lagi Kajian Penetapan Dapil

Hal itu pula yang mungkin membuat gejala yang dialami tidak begitu berat. Gaya hidup sehat mempercepat kesembuhannya. Secara statistik, dari penelitian di Tiongkok, pasien dengan morbid obesity, hipertensi, dan usia tua memiliki risiko untuk menjadi kritikal atau gejala berat. ”Bahkan, risiko meninggal itu tinggi,” ujarnya.

Masa pengobatan di RIK selama enam hari. Hasil swab dinyatakan negatif dan Markus diperbolehkan pulang pada 23 Maret. Selama perawatan, obat yang diberikan hanya antivirus, salah satunya isoprinosine serta multivitamin. ”Sudah, itu saja. Yang terpenting tidak stres,” tuturnya. 

Setelah dinyatakan sembuh, Markus mengaku tidak terlalu merasakan stigma dan diskriminasi. Sebelumnya memang sempat terjadi kecemasan pada para tenaga medis yang pernah kontak langsung dengannya. Menurut dia, ketakutan tersebut wajar. ”Semua waswas. Setelah diobservasi, ada muncul gejala, tapi hasilnya negatif,” jelasnya. 

Sementara di lingkungan perumahan juga tidak terasa stigma dan diskriminasi. Sebab, mereka sudah teredukasi. ”Tapi, enggak tahu kalau ngomongin di grup WhatsApp yang enggak ada sayanya,” katanya lantas tertawa. 

Menurut Markus, khawatir berlebihan membuat kondisi imunitas turun. Bagi mereka yang didiagnosis positif, yang harus ditata adalah pola pikir. ”Berusaha menerima dan berpikir sembuh,” tuturnya. 

Markus mengatakan, virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, sangatlah unik. Virus tersebut bisa bertahan, bereplikasi, dan memiliki masa inkubasi hingga 37 hari, bergantung kondisi pasien. Pasien yang dinyatakan negatif belum tentu memang bebas. Bisa jadi penyakit baru diketahui di hari ke-7 sampai ke-37. ”Jadi, kita tetap harus jaga jarak, pola hidup bersih, ke mana-mana harus pakai masker. Kalau ada gejala batuk pilek, sebisa mungkin pakai masker bedah,” jelasnya.

Saat ini Markus sudah bertugas kembali di RSUD dr Soetomo. Setelah keluar dari RS, dia melakukan karantina mandiri selama tujuh hari. ”Khawatir ketularan ya wajar. Selama tahu pencegahannya, saya rasa tidak masalah. Tugas dokter merawat pasien,” ujarnya. (*/c9/ayi/JPG)

DOKUMENTASI MARKUS GATOT SURA WIJAYA DIAWALI MERIANG: Setelah sembuh dari Covid-19, dokter Markus Gatot Sura Wijaya mengingatkan pentingnya menata pola pikir. Hindari stres.

Mereka yang Bertarung Melawan Covid-19 dan Berhasil Sembuh (3/Habis)

Penularan Covid-19 berlangsung cepat. Berdiri di depan toilet saat ada pasien positif Corona melintas membuat dokter Markus Gatot Sura Wijaya turut terinfeksi. Dirawat enam hari, dia dinyatakan sembuh dan kini sudah bertugas kembali.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya, Jawa Pos

BATUKNYA ini tidak biasa. Terlalu intens dan kuat. Mencurigakan. Begitulah pikiran dokter Markus, 31, saat melihat seorang pasien didorong di atas brankar RSUD dr Soetomo Surabaya pada 11 Maret lalu. 

Saat itu kebetulan Markus baru keluar dari toilet yang biasa digunakan tenaga medis rumah sakit (RS) milik Provinsi Jawa Timur tersebut. Dia tidak mengenakan masker karena merasa itu daerah aman. Bukan area perawatan. Siapa sangka jika di hadapannya kemudian melintas pasien tersebut. 

Sejenak Markus khawatir dengan dirinya. Apalagi, jarak dia berdiri dengan pasien itu hanya 1-2 meter. Namun, dia cepat menepis ketakutan akan kemungkinan ketularan tersebut. ”Saya pikir tidak akan ada apa-apa,” katanya melalui telepon seluler Minggu (5/4). 

Dua hari kemudian Markus meriang. Demam, tetapi tidak tinggi. Ada cairan yang keluar menetes dari belakang hidung. Tenggorokan pun mulai gatal. ”Hari kedua setelah muncul gejala, saya merasakan nyeri telan,” ujar dokter yang tengah mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi di RSUD dr Soetomo itu.

Gejala lain terus menyusul di hari berikutnya. Mulai serak hingga batuk kering. Markus melapor ke guru dan sejumlah seniornya. ”Saya bilang bahwa ada kemungkinan saya kontak dengan pasien yang batuknya menyeramkan,” katanya. 

Markus lalu mencari informasi ke sejawat tentang pasien yang dijumpai pada 11 Maret itu. Ketahuan hasil tes swab pasien baru keluar dan terkonfirmasi positif Covid-19. ”Saya periksa laboratorium pada hari keempat setelah gejala ke RSUA (Rumah Sakit Universitas Airlangga) pada 16 Maret,” ucapnya. 

Dua hari kemudian hasil keluar. Markus positif. Meski sesuai dengan dugaan terburuknya, Markus merasa cemas juga. Khawatir dengan kondisi keluarganya, Markus tak mau berlama-lama larut dengan perasaannya sendiri. 

Tindakan pertama ialah menempatkan anak dan istri di ruangan terpisah. Berbagai informasi dari jurnal ilmiah tentang Covid-19 langsung dilahap. Mulai tentang komplikasi, gejala, hingga kemungkinan membaiknya seperti apa. ”Jadi, saya tahu apa yang sedang saya hadapi. Dan mungkin saya PPDS pertama yang kena,” ujarnya. 

Baca Juga :  Alat Medis Disiagakan di Kediaman Gubernur Papua

Hari itu juga Markus dijemput ambulans. Dia dirawat di ruang isolasi khusus (RIK) RSUD dr Soetomo. Sementara anaknya yang berusia 9 bulan dan istrinya menjalani isolasi mandiri di rumah hingga 14 hari. Mereka masuk kategori orang dalam pemantauan (ODP). Saat tes, mereka dinyatakan negatif.

Markus tidak pernah membayangkan akan menjadi penghuni RIK. Ada ketakutan karena dia juga tak tahu fase sakit yang dideritanya. Dalam pengategorian secara klinis, pasien dibedakan dalam fase tanpa gejala, gejala minimal, atau berat hingga kritikal. ”Saya mengira fase saya masih belum parah,” ucapnya.

Markus berada di dalam RIK bersama satu pasien dengan gejala yang tidak begitu berat. Selama pengobatan pun tidak mengalami kendala. Gejala yang dialami membaik dalam hitungan hari. Kebetulan, tidak ada gejala pneumonia maupun acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau sesak napas berat. ”Senin saya batuk, Kamis atau Jumat batuk saya berkurang jauh,” katanya.

Markus menceritakan, karena kondisinya bagus, dirinya tidak sampai diinfus. Tim medis rutin melakukan tes darah, foto rontgen, cek tensi, dan cek nadi. Selama di RIK, Markus berusaha melakukan hal yang membuatnya senang. Misalnya main handphone, membaca jurnal, sampai mengerjakan tugas yang belum selesai. ”Kondisi ruangan enak. Saya di RIK, ada kamar mandi pribadi di satu kamar itu. Kalau bosan juga ada televisi,” ungkapnya. 

Markus juga menyempatkan berolahraga ringan. Loncat-loncat diselingi lari di tempat. Menurut dia, olahraga menjadi salah satu cara mempercepat penyembuhan. Setidaknya bisa menghilangkan stres dan badan menjadi lebih fresh. ”Puji Tuhan, saya terkena korona ketika gaya hidup saya sudah berubah,” ujarnya. 

Markus mengaku sempat mengalami morbid obesity sekitar enam bulan lalu. Berat badannya mencapai 115 kilogram. Kondisi tersebut sempat membuat sindrom metabolik, gula darah meningkat, dan tensi naik. Kemudian, sejak Januari dia mengubah gaya hidup sehat dengan makan makanan yang sehat dan berolahraga. ”Sekarang sudah turun. Sekarang semua terkontrol. Jadi, pas saya kena virus korona, kondisi saya pas sedang fit dan normal,” katanya sambil menyebut berat badannya kini 105 Kg. 

Baca Juga :  Hendak Deklarasi, Buchtar Dijemput Polisi

Hal itu pula yang mungkin membuat gejala yang dialami tidak begitu berat. Gaya hidup sehat mempercepat kesembuhannya. Secara statistik, dari penelitian di Tiongkok, pasien dengan morbid obesity, hipertensi, dan usia tua memiliki risiko untuk menjadi kritikal atau gejala berat. ”Bahkan, risiko meninggal itu tinggi,” ujarnya.

Masa pengobatan di RIK selama enam hari. Hasil swab dinyatakan negatif dan Markus diperbolehkan pulang pada 23 Maret. Selama perawatan, obat yang diberikan hanya antivirus, salah satunya isoprinosine serta multivitamin. ”Sudah, itu saja. Yang terpenting tidak stres,” tuturnya. 

Setelah dinyatakan sembuh, Markus mengaku tidak terlalu merasakan stigma dan diskriminasi. Sebelumnya memang sempat terjadi kecemasan pada para tenaga medis yang pernah kontak langsung dengannya. Menurut dia, ketakutan tersebut wajar. ”Semua waswas. Setelah diobservasi, ada muncul gejala, tapi hasilnya negatif,” jelasnya. 

Sementara di lingkungan perumahan juga tidak terasa stigma dan diskriminasi. Sebab, mereka sudah teredukasi. ”Tapi, enggak tahu kalau ngomongin di grup WhatsApp yang enggak ada sayanya,” katanya lantas tertawa. 

Menurut Markus, khawatir berlebihan membuat kondisi imunitas turun. Bagi mereka yang didiagnosis positif, yang harus ditata adalah pola pikir. ”Berusaha menerima dan berpikir sembuh,” tuturnya. 

Markus mengatakan, virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, sangatlah unik. Virus tersebut bisa bertahan, bereplikasi, dan memiliki masa inkubasi hingga 37 hari, bergantung kondisi pasien. Pasien yang dinyatakan negatif belum tentu memang bebas. Bisa jadi penyakit baru diketahui di hari ke-7 sampai ke-37. ”Jadi, kita tetap harus jaga jarak, pola hidup bersih, ke mana-mana harus pakai masker. Kalau ada gejala batuk pilek, sebisa mungkin pakai masker bedah,” jelasnya.

Saat ini Markus sudah bertugas kembali di RSUD dr Soetomo. Setelah keluar dari RS, dia melakukan karantina mandiri selama tujuh hari. ”Khawatir ketularan ya wajar. Selama tahu pencegahannya, saya rasa tidak masalah. Tugas dokter merawat pasien,” ujarnya. (*/c9/ayi/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya