Thursday, April 25, 2024
26.7 C
Jayapura

Polisi Pantau Pengikut Kerajaan Fiktif

AKBP Gustav R Urbinas ( FOTO: Elfira/Cepos)

Ave Lefaan: Masyarakat Papua Jangan Mudah Tertipu

JAYAPURA-Belakangan ini, Indonesia dihebohkan dengan fenomena munculnya kerajaan fiktif seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire dan King of The King. Namun dari pantauan kepolisian dalam hal ini Polresta Jayapura Kota, tiga kerajaan fiktif tersebut belum ada di Kota Jayapura.

Kapolresta Jayapura, AKBP. Gustav R Urbinas menyampaikan, pihaknya terus memonitoring terkait dengan kerajaan-kerajaan fenomena tersebut termasuk memantau pengikutnya.

“Dari pantauan kami di lapangan, sejauh ini belum ada pengikut dari ketiga kerajaan fiktif tersebut termasuk belum ada yang melapor polisi,” ucap Gustav kepada Cenderawasih Pos, Jumat (31/1).

Dari hasil monitoring Polresta Jayapura Kota, apabila kajiannya menyangkut dengan pidana, maka tidak menutup kemungkinan  akan dilakukan proses hukum. Misalnya, kejadian penipuan, pemerasan termasuk yang menyalahi aturan terkait keberadaan sebuah organisasi sesuai dengan Undang-Undang Ormas.

“Kami selalu mengawasi yang menjadi agenda masyarakat, sesuai dengan aturan UU  bahwa untuk setiap kegiatan ke masyarakatan harus mengajukan ijin keramaian. Juga untuk badan ataupun organisasi harus terdaftar di badan Kesbangpol setempat,” ucapnya.

Dari hasil penelitian Polresta Jayapura Kota yang bersinergi dengan Kesbang Kota Jayapura, menurut Gustav Urbinas beberapa organisasi yang  belum resmi, perlu melakukan klarifikasi dari surat-surat yang diajukan ke Polresta untuk berkegiatan ataupun berorganisasi.

“Sejauh ini belum ada laporan masyarakat terkait dengan adanya kerajaan fiktif itu. Namun selain laporan masyarakat kita punya tugas pokok dan fungsi memonitor daripada perkembangan  yang ada dalam masyarakat, baik secara perorangan ataupun instansi,” terangnya.

Terkait dengan kerajaan fiktif tersebut, Kapolresta Gustav Urbinas mengakui adanya perintah dari satuan atas untuk kota selalu memonitor perkembangan ataupun fenomena  yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian, jika ada potensi dan indikasi maupun informasi maka dilakukan langkah-langkah untuk menanganinya.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh. Bahkan tertarik dengan hal-hal ataupun ajakan yang belum pasti kebenarannya ataupun mengandung risiko terkait tindak pidana misalnya tertipu dan lainnya.

Baca Juga :  Miris Wajah Pendidikan di Era Otsus Jilid II 

“Jangan mudah tertarik atau mengikuti kelompok atau jenis lainnya dengan iming-iming sesuatu. Seperti jabatan, harta ataupun posisi dalam sebuah lembaga organisasi. Harus cermat dan jangan sampai terkecok,” tambahnya.

Dr. Drs. Ave Lefaan, M.Si (FOTO: Robert Yewen/Cepos)

Secara terpisah, Sosiolog Universitas Cenderawasih, Dr. Drs. Ave Lefaan, M.S, mengatakan, munculnya kerajaan fiktif ini menjadi fenomena yang harus menjadi perhatian semua pihak. 

Oleh karena itu, Lefaan meminta masyarakat di Papua perlu cerdas untuk mewaspadai fenomena ini. Yang terpenting adalah masyarakat di Papua tidak mudah untuk tertipu dengan adanya kerajaan-kerajaan baru yang di berbagai daerah di Indonesia.

 “Masyarakat Papua perlu menyikapi fenomena kerajaan yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia ini secara baik, sehingga tidak mudah tertipu dengan fenomena tersebut,” ungkapnya saat ditemui di Jurusan Sosiologi Fisip Uncen, Jumat (31/1).

Menurut Lefaan, ada salah satu gejala di dalam sosiologi yang disebut dengan interaksional simbolik. Dimana kerajaan-kerajaan yang bermunculan ini menurut ahli sosiologi, ahli sejarah dan ahli antropologi ternyata kerajaan-kerajaan yang bermunculan ini bukan merupakan kerajaan dan tidak mempunyai basis sejarah.

Dikatakan, dalam sebuah kerajaan yang terpenting harus ada cerita sejarah, fakta-fakta sejarah dan ada peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu. Tetapi yang terjadi adalah kerajaan-kerajaan baru ini tidak memiliki bukti-bukti sejarah, tetapi hanya dalam sebuah wacana. Oleh karena itu, hal ini harus dikaji dari segi sejarah, sosiologi, dan antropologi.

“Saya melihat ada interaksi simbolis. Bagaimana dia mampu membuat cerita seakan-akan sejarah dan membuktikan ini ada bukti sejarah yang sebenarnya tidak ada kait-mengkait dengan dia sebagai pemimpin dari sebuah kerajaan tersebut,” jelasnya.

Lefaan melihat secara sosiologis ada fenomena interaksi sosial yang secara psikologis sosial ada sejenis masalah yang tidak dikeluarkan atau tertimbun atau tersimpan. Artinya saat ini orang cenderung mencari kekuasaan, sehingga semua orang ingin mencari peluang untuk menjadi pemimpin. 

Oleh karena itu, kemungkinan mereka yang membuat kerajaan-kerajaan baru di berbagai daerah ini ada tekanan-tekanan ekonomi, sehingga ada sebuah keinginan untuk memimpin seperti fakta-fakta pemimpin di dunia eksekutif, legislatif, dan lain sebagai.

Baca Juga :  Punya Hak Pilih, Pastikan Terdaftar Dalam DPT

“Ini ada sebuah fenomena kepemimpinan yang fiktif tetapi bagaimana bisa memengaruhi orang dan ada kepercayaan, sehingga dengan catatan ada keinginan ekonomi. Dimana kerajaan-kerajaan yang ada ini seakan-akan hanya itu ekonomi semata,” ucap Ketua Jurusan Sosiologi Fisip Uncen ini.

Lefaan mengatakan proses interaksi seperti ini harus berhati-hati. Oleh karena itu, informasi mengenai fenomena kerajaan yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini harus dicari kebenarannya dan orang yang mengikutinya jangan langsung percaya. Tetapi harus mencari fakta-fakta kebenaran dan jangan langsung dipercaya dengan hal tersebut.

“Masyarakat tidak boleh cepat percaya apalagi tertipu. Apalagi kehidupan kondisi ekonomi masyarakat kita ini rendah, sehingga menginginkan cepat mempunyai uang dan jabatan. Iming-iming inilah yang harus segera dicek,” kata Doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Lefaan berharap, masyarakat Papua tidak boleh tertipu. Tetapi harus cerdas dalam melihat persoalan ini. Masyarakat di Papua boleh berkomunikasi, tetapi harus melihat data-data yang akurat mengenai organisasi dari sebuah kerajaan. Terutama melihat apakah organisasi kerajaan ini benar atau tidak. Apakah organisasi kerajaan ini mempunyai dasar hukum atau tidak? Apakah diakui negara atau tidak? Inilah menurutnya yang harus dicari dan ditelusuri secara baik.

Lefaan mengatakan, Indonesia adalah negara hukum yang diatur oleh Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, siapapun yang berbohong dan menipu pasti, ada UU yang diatur untuk menjeratnya. Selain itu, ada UU non formal, seperti norma dan nilai-nilai yang sudah ada harus dipegang dengan baik dan benar.

“Inilah yang harus kita perhatikan dan lihat secara baik, sehingga tidak mudah tertipu. Apalagi masyarakat Papua adalah masyarakat agamis dan masyarakat budaya. Masyarakat Papua juga memiliki kualitas sumber daya yang mampu melihat mana yang baik dan mana yang tidak baik,” tutupnya. (fia/bet/nat)

AKBP Gustav R Urbinas ( FOTO: Elfira/Cepos)

Ave Lefaan: Masyarakat Papua Jangan Mudah Tertipu

JAYAPURA-Belakangan ini, Indonesia dihebohkan dengan fenomena munculnya kerajaan fiktif seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire dan King of The King. Namun dari pantauan kepolisian dalam hal ini Polresta Jayapura Kota, tiga kerajaan fiktif tersebut belum ada di Kota Jayapura.

Kapolresta Jayapura, AKBP. Gustav R Urbinas menyampaikan, pihaknya terus memonitoring terkait dengan kerajaan-kerajaan fenomena tersebut termasuk memantau pengikutnya.

“Dari pantauan kami di lapangan, sejauh ini belum ada pengikut dari ketiga kerajaan fiktif tersebut termasuk belum ada yang melapor polisi,” ucap Gustav kepada Cenderawasih Pos, Jumat (31/1).

Dari hasil monitoring Polresta Jayapura Kota, apabila kajiannya menyangkut dengan pidana, maka tidak menutup kemungkinan  akan dilakukan proses hukum. Misalnya, kejadian penipuan, pemerasan termasuk yang menyalahi aturan terkait keberadaan sebuah organisasi sesuai dengan Undang-Undang Ormas.

“Kami selalu mengawasi yang menjadi agenda masyarakat, sesuai dengan aturan UU  bahwa untuk setiap kegiatan ke masyarakatan harus mengajukan ijin keramaian. Juga untuk badan ataupun organisasi harus terdaftar di badan Kesbangpol setempat,” ucapnya.

Dari hasil penelitian Polresta Jayapura Kota yang bersinergi dengan Kesbang Kota Jayapura, menurut Gustav Urbinas beberapa organisasi yang  belum resmi, perlu melakukan klarifikasi dari surat-surat yang diajukan ke Polresta untuk berkegiatan ataupun berorganisasi.

“Sejauh ini belum ada laporan masyarakat terkait dengan adanya kerajaan fiktif itu. Namun selain laporan masyarakat kita punya tugas pokok dan fungsi memonitor daripada perkembangan  yang ada dalam masyarakat, baik secara perorangan ataupun instansi,” terangnya.

Terkait dengan kerajaan fiktif tersebut, Kapolresta Gustav Urbinas mengakui adanya perintah dari satuan atas untuk kota selalu memonitor perkembangan ataupun fenomena  yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian, jika ada potensi dan indikasi maupun informasi maka dilakukan langkah-langkah untuk menanganinya.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh. Bahkan tertarik dengan hal-hal ataupun ajakan yang belum pasti kebenarannya ataupun mengandung risiko terkait tindak pidana misalnya tertipu dan lainnya.

Baca Juga :  Hari ini, Duo Leguin Asing Persipura Bergabung

“Jangan mudah tertarik atau mengikuti kelompok atau jenis lainnya dengan iming-iming sesuatu. Seperti jabatan, harta ataupun posisi dalam sebuah lembaga organisasi. Harus cermat dan jangan sampai terkecok,” tambahnya.

Dr. Drs. Ave Lefaan, M.Si (FOTO: Robert Yewen/Cepos)

Secara terpisah, Sosiolog Universitas Cenderawasih, Dr. Drs. Ave Lefaan, M.S, mengatakan, munculnya kerajaan fiktif ini menjadi fenomena yang harus menjadi perhatian semua pihak. 

Oleh karena itu, Lefaan meminta masyarakat di Papua perlu cerdas untuk mewaspadai fenomena ini. Yang terpenting adalah masyarakat di Papua tidak mudah untuk tertipu dengan adanya kerajaan-kerajaan baru yang di berbagai daerah di Indonesia.

 “Masyarakat Papua perlu menyikapi fenomena kerajaan yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia ini secara baik, sehingga tidak mudah tertipu dengan fenomena tersebut,” ungkapnya saat ditemui di Jurusan Sosiologi Fisip Uncen, Jumat (31/1).

Menurut Lefaan, ada salah satu gejala di dalam sosiologi yang disebut dengan interaksional simbolik. Dimana kerajaan-kerajaan yang bermunculan ini menurut ahli sosiologi, ahli sejarah dan ahli antropologi ternyata kerajaan-kerajaan yang bermunculan ini bukan merupakan kerajaan dan tidak mempunyai basis sejarah.

Dikatakan, dalam sebuah kerajaan yang terpenting harus ada cerita sejarah, fakta-fakta sejarah dan ada peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu. Tetapi yang terjadi adalah kerajaan-kerajaan baru ini tidak memiliki bukti-bukti sejarah, tetapi hanya dalam sebuah wacana. Oleh karena itu, hal ini harus dikaji dari segi sejarah, sosiologi, dan antropologi.

“Saya melihat ada interaksi simbolis. Bagaimana dia mampu membuat cerita seakan-akan sejarah dan membuktikan ini ada bukti sejarah yang sebenarnya tidak ada kait-mengkait dengan dia sebagai pemimpin dari sebuah kerajaan tersebut,” jelasnya.

Lefaan melihat secara sosiologis ada fenomena interaksi sosial yang secara psikologis sosial ada sejenis masalah yang tidak dikeluarkan atau tertimbun atau tersimpan. Artinya saat ini orang cenderung mencari kekuasaan, sehingga semua orang ingin mencari peluang untuk menjadi pemimpin. 

Oleh karena itu, kemungkinan mereka yang membuat kerajaan-kerajaan baru di berbagai daerah ini ada tekanan-tekanan ekonomi, sehingga ada sebuah keinginan untuk memimpin seperti fakta-fakta pemimpin di dunia eksekutif, legislatif, dan lain sebagai.

Baca Juga :  Rencana Penyematan Mahkota Cenderawasih Kepada Presiden Ditentang

“Ini ada sebuah fenomena kepemimpinan yang fiktif tetapi bagaimana bisa memengaruhi orang dan ada kepercayaan, sehingga dengan catatan ada keinginan ekonomi. Dimana kerajaan-kerajaan yang ada ini seakan-akan hanya itu ekonomi semata,” ucap Ketua Jurusan Sosiologi Fisip Uncen ini.

Lefaan mengatakan proses interaksi seperti ini harus berhati-hati. Oleh karena itu, informasi mengenai fenomena kerajaan yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini harus dicari kebenarannya dan orang yang mengikutinya jangan langsung percaya. Tetapi harus mencari fakta-fakta kebenaran dan jangan langsung dipercaya dengan hal tersebut.

“Masyarakat tidak boleh cepat percaya apalagi tertipu. Apalagi kehidupan kondisi ekonomi masyarakat kita ini rendah, sehingga menginginkan cepat mempunyai uang dan jabatan. Iming-iming inilah yang harus segera dicek,” kata Doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Lefaan berharap, masyarakat Papua tidak boleh tertipu. Tetapi harus cerdas dalam melihat persoalan ini. Masyarakat di Papua boleh berkomunikasi, tetapi harus melihat data-data yang akurat mengenai organisasi dari sebuah kerajaan. Terutama melihat apakah organisasi kerajaan ini benar atau tidak. Apakah organisasi kerajaan ini mempunyai dasar hukum atau tidak? Apakah diakui negara atau tidak? Inilah menurutnya yang harus dicari dan ditelusuri secara baik.

Lefaan mengatakan, Indonesia adalah negara hukum yang diatur oleh Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, siapapun yang berbohong dan menipu pasti, ada UU yang diatur untuk menjeratnya. Selain itu, ada UU non formal, seperti norma dan nilai-nilai yang sudah ada harus dipegang dengan baik dan benar.

“Inilah yang harus kita perhatikan dan lihat secara baik, sehingga tidak mudah tertipu. Apalagi masyarakat Papua adalah masyarakat agamis dan masyarakat budaya. Masyarakat Papua juga memiliki kualitas sumber daya yang mampu melihat mana yang baik dan mana yang tidak baik,” tutupnya. (fia/bet/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya