Dinkes Juga Temukan Satu Kasus Gizi Buruk
TIMIKA–Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mimika sedang diperhadapkan pada tiga isu masalah kesehatan. Pertama adanya temuan satu kasus gizi buruk pada anak. Kemudian meningkatnya kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dan campak.
Menyikapi tiga isu tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Mimika, Reynold Ubra bersama jajaran hingga Puskesmas dan fasilitas kesehatan swasta untuk melakukan pencegahan dan penanganan. Hal itu diungkapkan Reynold ketika ditemui di kantornya, Senin (6/3), kemarin.
Terkait temuan kasus gizi buruk, Reynold tidak menepis hal tersebut. Ia menyatakan, kondisi bayi semakin memburuk terutama penurunan berat badan yang dipengaruhi infeksi atau adanya komplikasi penyakit.
Anak yang tinggal di Kelurahan Koperapoka, Kota Timika itu lahir pada 2018 dalam kondisi sehat dengan berat 2,8 kilogram, lingkar kepala 34 Cm dan panjang 48 Cm. “Jadi ada variable lain yang harus kita lihat sebelum simpulkan itu gizi buruk,” ujarnya.
Si anak juga disebut hampir setiap dua bulan sekali mengalami sakit. Inilah yang menyebabkan kondisinya semakin menurun. Dengan dasar ini, Dinkes menyebut sang anak bukan murni gizi buruk, tapi juga komplikasi penyakit. Ditambah lagi kondisi lingkungan tempat tinggal, MCK dan perilaku keluarga anak yang disebut tidak layak. Saat ini sang anak sudah kembali ditangani oleh RSMM, meskipun sempat ada penolakan dari keluarga.
Selain gizi buruk, Dinkes Mimika juga sedang fokus dalam penanganan DBD yang masih mewabah. Dalam periode seminggu 27 Februari sampai 3 Maret 2023, ditemukan 24 kasus baru. Sehingga total kasus sejak Januari sudah 90, satu pasien meninggal dunia. Kasus terbanyak ditemukan di Puskesmas Pasar Sentral sebanyak 42 kasus.
Peningkatan DBD ini disebabkan lingkungan yang kotor. Juga berhubungan dengan musim pancaroba yang meyebabkan banyak genangan yang menjadi sarang nyamuk. Sehingga menurut Reynold, cara mudah untuk mencegah adalah dari masyarakat atau perilaku setiap orang serta upaya kebersihan lingkungan.
Dinkes Mimika juga telah menerjunkan tim fogging atau pengasapan di lokasi temuan kasus. Tapi tantangan, cuaca pada siang hari yang sangat panas sehingga pengasapan tidak efektif.
Sama halnya dengan DBD, penyakit campak juga disebut sedang mengalami kenaikan. Sejak Januari sampai saat ini, penyakit yang lebih dikenal dengan nama sarampa sudah ada 139 kasus. Itu didominasi pada wilayah dengan penolakan imuniasai. Sehingga lebih dari 50 persen penderita tidak diimunisasi. Dan ini banyak menyerang anak usia 1-4 tahun sebanyak 74 kasus, usa 5-9 tahun ada 29 kasus, usia di bawah satu tahun ada 26 kasus dan lainnya usia di atas 9 tahun. “Jadi campak dan DBD ini pola penyakitnya musiman dan siklusnya dua tahun,” ungkap Reynold Ubra.
Ciri-ciri DBD dan campak juga hampir sama. Mengalami demam, ruam merah pada tubuh. Jika campak paling banyak di punggung disertai batuk pilek, bibir merah dan panas. “Kadang tidak bisa dibedakan campak dan rubella, hanya bisa diketahui dari hasil lab. Jadi kalau bintik merah harus diantisipasi,” kata Reynold.(ryu/tho)