Site icon Cenderawasih Pos

Dikhawatirkan Akan Tingkatkan Kekerasan

Thomas Ch. Syufy, Direktur Eksekutif Papuan Observator For Human Rights. (Ceposonlne.com/Karel)

Istilah KKB Dikembalikan jadi OPM

JAYAPURA-Direktur Eksekutif Papuan Observator For Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufy, menilai kebijakan TNI yang mengubah istilah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kebijakan politik.

  Sebab perubahan nomenklatur tersebut bukan keputusan resmi pemerintah dalam hal ini Presiden. “Karena ini bentuk pengakuan terhadap OPM sebagai organisasi kombatan yang memiliki tujuan politik untuk berjuang memisahkan diri,” kata Thomas, Senin (15/4).

Dikatakan jika merujuk pada hukum humaniter atau hukum internasional, kombatan atau belligren adalah bagian dari subjek hukum internasional. Oleh sebab itu, jika nomenklaturnya diubah, maka secara otomatis Papua telah dijadikan sebagai daerah perang.

“Bukan lagi sebagai daerah status operasi penegakan hukum atau gangguan keamanan seperti KKB atau KKSB,” tegasnya.

Kemudian lanjut Thomas, apabila perlawanannya kombatan dengan cara perang, maka itu menjadi domainnya TNI dan TNI untuk mengendalikannya.    

Sebab kedua Intitusi ini  berwenang mengurus masalah pertahanan. Namun, persoalannya adalah belum ada persamaan persepsi antara dua institusi TNI-Polri soal pelabelan terhadap kelompok bersenjata di Papua.

“TNI mengubah KKSB menjadi OPM, sementara Polri tetap pada pendirian atau terminologinya, sebagai KKB. Persepsi keduanya inipun belum ditetapkan pada Perpres yang mengatur tentang rule of game di lapangan,” ujarnya.

Diapun mempertanyakan terkait siapa yang berwenang penuh tangani masalah pertahanan atau keamanan di Papua, sebab yang terjadi selama ini, kedua intitusi ini dalam hal ini TNI ataupun Polri sama sama berwenang menangani masalah keamanan di Papua.

Sementara Papua sampai saat ini belum berstatus menjadi wilayah perang. “Kalau memang Papua ini menjadi wilayah perang maka statusnya harus diumumkan secara resmi dengan didasari adanya Perpres,” tegasnya.

Kemudian lanjutnya kalaupun diterbitkan Perpres terkait status Papua sebagai wilayah perang, maka hal yang yang dituangkan di dalam Perpres itu  tentang masyarakat sipil yang berdomisili atau tinggal di wilayah perang tersebut. Hal ini berkaitan dengan tanggungjawab negara terhadap warga sipil yang harus dilindungi.

Dan jika demikian, maka tèntu perang akan dilangsungkan dengan aman dan baik (Tanpa ada korban warga sipil), tetapi tentu dibawah pengawasan atau radar dunia internasional.

Lebih lanjut dia sampaikan upaya keamanan, seperti operasi intelejen, operasi teritorial, dan operasi perang yang terjadi selama ini di Papua, sama sekali tidak menyelesaikan persoalan HAM.

Padahal berbagai harapan yang selalu didengungkan oleh masyarakat ataupun KKB selama ini berupa dialog, sama sekali tidak direspon oleh pemerintah. Sehingga yang terjadi benang kusut ini belum dapat diuraikan dengan baik.

“Saya khawatir kebijakan perubahan nama KKSB menjadi OPM bisa menimbulkan jatuhnya korban yang bertambah terutama rakyat sipil yang tidak tahu menahu tentang konflik dan perang,” tandasnya.

Selain itu kebijakan perubahan nomenklatur tersebut akan berdampak pada keutuhan bangsa. Karena akan meningkatkan kekerasan terhadap hak asasi manusia di Papua kedepannya. “Perubahan nomenklatur ini akan menyebabkan pelanggaran HAM yang kian masif,” tegasnya.

“Sudah waktunya, Jakarta mengubah pendekatan Papua dengan metode dialog yang adil, damai, jujur, dan terbuka,” sambungnya.

“Saya harap Pemerintah tidak hanya fokus pada persoalan nomenklatur, tapi melihat secara jeli persoalan dasar yang membuat Papua sampai hari ini digerus dengan masalah HAM,” pungkasnya (rel/wen)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version