Site icon Cenderawasih Pos

Penyiksaan yang Dilakukan TNI Penuhi Unsur Pelanggaran HAM

Kepala Komnas HAM Papua, Frits Ramandey didampingi anggota Komnas lainnya saat memberikan keterangan pers, Sabtu (24/3) (foto:Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyebut video penyiksaan seorang warga sipil di dalam drum yang diduga dilakukan anggota TNI memenuhi unsur pelanggaran HAM. Sebagaimana pelaku penyiksaan dilakukan oleh Satgas Yonif Raider 300 Brajawijaya, dengan lokus kejadian di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, pada Februari 2024.

”Kasus ini memenuhi unsur penyiksaan, selain penyiksaan ini juga tindakan yang brutal yang tidak manusiawi sehingga memenuhi unsur pelanggaran HAM,” ucap Frits dalam keterangan persnya kepada wartawan, di Kantor Komnas HAM, Sabtu (23/3).

Menurut Frits,Komnas HAM Papua melakukan monitoring serta berkoordinasi dengan pihak terkait. Misal Pangdam XVII/Cenderawasih, Mabes TNI dan jajaran Polda Papua terkait dengan video penyiksaan yang beredar.

”Sesuai dengan mekanisme Komnas HAM, kami memasukan ini dalam pengaduan proaktif. Kasus video penyiksaan ini masuk dalam data pengaduan nomor 377 tercatat dalam pengaduan resmi Komnas HAM,” kata Frits.

Komnas HAM menduga kuat peristiwanya terjadi di Kabupaten Puncak pada Februari 2024. bahkan informasi yang didapatkan, setelah korban mengalami penyiksaan. Para pelaku menyerahkan korban ke Polres Puncak kemudian mendapatkan penanganan medis di rumah sakit. Adapun pelaku berjumlah lima orang.

Frits pun mengecam tindakan ini, dalam pengalaman Komnas HAM di Papua. Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi dan ditangani, Komnas sudah sering menangani kasus penganiayaan dengan motif yang hampir sama. Dimana pelaku cenderung dibawa ke markas Satgas BKO kemudian dilakukan penyiksaan.

”Dilihat dari motifnya memenuhi unsur penyiksaan, sebab dilakukan lebih dari satu orang secara berulang. Dimana korban disiksa dengan menggunakan beberapa alat, motif yang terjadi dalam kasus viral ini merupakan pmotif lama yang biasanya digunakan TNI di rezim orde baru,” kata Frits.

Komnas HAM memberikan perhatian serius pada kasus ini dan berkoordinasi dengan Komnas HAM RI untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan, termasuk meminta keterangan komandan Batlyon Satgas Yonif Raider 300/Brajawijaya. Dimana pasukan ini sudah ditarik sejak Februari lalu.

Juga meminta Kapolda Papua menyampaikan keterangan kepada Komnas HAM terkait dengan identitas korban. Sebab, korban ini diketahui langsung oleh pihak Polres setempat terkait identitasnya.

”Kapolda harus mengumumkan korban ini siapa, jaringannya siapa dan berapa kali terlibat dalam kasus kasus kekerasan di wilayah Puncak. Hal ini untuk menjaga indenpendensi keberimbangan dari kejadian ini,” ujarnya.

Frits meminta dalam penanganan kasus ini, harus melibatkan pihak indenpenden untuk mengawasinya untuk mengantisipai jangan sampai seperti kejadian sebelumnya. Jika tidak ditangani dengan baik, maka silkus kekersan terus berulang akibat dendam, kebencian dan kemarahan.

”Satu satunya cara untuk menghentikan kekerasan di tanah Papua adalah dengan melakukan dialog kemanusiaan, negara harus membuka ruang itu. Sehingga baik kelompok sipil bersenjata, TPNPB, KKB mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” tegasnya.

Atas kasus ini, Komnas HAM Papua meminta  Panglima TNI melakukan pengawasan terhadap tim investigasi yang dibentuk. Sebab, sudah punya pengalaman dengan kasus seperti di Paniai, Keerom, Mappi, Mimika. Dimana tim investigasinya ada namun tidak berjalan maksimal, sehingga nyaris pelakunya lolos.

  Sementara itu, Pembela HAM Papua, Theo Hesegem, meminta Presiden Jokowi dan Komnas HAM RI segera membentuk tim investigasi independen untuk mengungkap pelaku penyiksaan tersebut.

“Kami meminta agar pelaku dan komandan penyiksaan terhadap warga sipil di Papua untuk segera dipecat secara tidak terhormat dan diproses sesuai hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia,” tegasnya.

Juga meminta pelaku yang diduga sebagai anggota TNI tersebut mengungkapkan peristiwa penyiksaan ini dengan jujur dan terbuka. TNI dan Polri memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk untuk melindungi kenyamanan terhadap warga sipil di Tanah Papua.

Secara terpisah, Perkumpulan Advokat/Pengacara HAM (PAHAM) Papua, terus melakukan penelusuran terkait siapa pelakunya, kapan dan dimana kejadian tersebut.

Ketua PAHAM Papua, Gustav Kawer, menyebut angka 300 menunjukan kesatuan yang melakukan penyiksaan terhadap warga sipil itu. Sebagaimana peristiwa sebelumnya pada 3 Februari 2024, terjadi penyiksaan terhadap tiga warga sipil yang ditangkap Satgas Yonif Raider 300 Brajawijaya.

“Dugaan kuat korban yang viral disiksa dalam video tersebut merupakan salah satu korban penyiksaan dalam penangkapan 3 Februari tahun 2024 lalu,” ucap Gustav saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Sabtu (23/3)

Dari informasi yang didapatkan Gustav, Satgas ini telah kembali ke Markas mereka di Cianjur Jawa Barat, akhir bulan lalu.

Diketahui, pada 3 Februari 2024. TNI-Polri terlibat kontak tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Satu orang tewas bernama Warinus Murib dan dua lainnya ditangkap saat itu.

Gustav menyebut ada salah satu jejak digital yang diposting melalui media sosial dari korban peristiwa 3 Februari. Dimana dalam postingan itu menuliskan Warinus Murib, AM dan DK ditangkap dan disiksa sewenang wenang oleh TNI.

“Warinus Murib meninggal dunia, sedangkan video yang viral diduga salah satu diantara ketiganya. Jadi perlu investigasi lagi,” pungkasnya. (fia/wen)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version