Site icon Cenderawasih Pos

Tuntut Ringan Pelaku KDRT, Jaksa Dinilai Tidak Punya Empati

Proses persidangan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jayapura, Kamis (18/1). (Foto/Gustav for Cepos)

JAYAPURA – Persidangan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, yang proses hukumnya mulai dari Kepolisian Resort Kota Jayapura, Kejaksaan Negeri Jayapura dan proses pemeriksaan di persidangan membutuhkan waktu hampir 10 bulan dan sangat melelahkan bagi korban dengan insial SK yang mencari keadilan.

  Kuasa Hukum Korban KDRT, Gustaf R Kawer, menjelaskan korban mencari keadilan dalam proses hukum justru mendapat ketidakadilan dalam proses hukum. Pasalnya, terdakwa KDRT berinisial GRY yang adalah pejabat di Dinas Kominfo Provinsi Papua, justru mendapat perlakuan istimewa dengan tidak ditahan selama proses hukum.

  “Dalam persidangan, terdakwa justru mendapat kesempatan yang sangat leluasa untuk membela diri, tidak menghadiri sidang karena alasan sedang mengurus keluarga yang lagi sakit. Hal ini membuat persidangan tertunda dan semakin lambat prosesnya. Perilaku ini juga diikuti oleh Majelis Hakim yang menunda sidang karena ada kegiatan dan Jaksa Penuntut Umum yang beralasan hampir serupa dengan alasan terdakwa, tidak hadir karena sedang sakit,” kata Gustav.

  Menurutnya, perlakuan yang luar biasa oleh Jaksa dan Majelis Hakim ini jauh dari empati  terhadap korban, mulai dari tidak dikomunikasikan hak-hak korban, baik oleh JPU yang mewakili kepentingan korban maupun Majelis Hakim, tidak diberikan kesempatan yang optimal untuk mendengar keterangan dari saksi korban dan saksi-saksi serta alat bukti lainnya yang mendukung pembuktian peristiwa KDRT yang dilakukan terdakwa terhadap korban.

  “Perilaku JPU terlihat pada saat pembacaan tuntutan pada tanggal 18 Januari 2024, terhadap terdakwa GRY, yang sangat luar biasa melindungi pelaku KDRT. Meski terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan KDRT terhadap korban, namun jaksa hanya menuntutnya dengan hukuman 4 bulan penjara dipotong masa tahanan. Sedangkan dalam tuntutan tidak dituntut denda kepada terdakwa,” terangnya.

  Padahal lanjut Gustav, ancaman hukuman dalam dakwaan JPU Pasal 44 pasal 1 Jo pasal 5 huruf (a) Undang undang RI nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah paling lama 5 tahun dan denda Rp15.000.000.

  Adapun fakta fakta yang terungkap dalam persidangan diantaranya keterangan saksi, keterangan terdakwa, bukti surat visum dan petunjuk. “Bahwa berdasarkan fakta persidangan yang terdiri dari berbagai alat bukti, keterangan saksi dan bukti surat serta keterangan terdakwa, maka terbentuklah fakta hukum benar telah terjadi tindak pidana kekerasan fisik KDRT yang di lakukan terdakwa kepada istrinya pada Jumat (10/3/2023),” ujarnya.

  Dimana terdakwa melakukan kekerasan fisik terhadap korban dengan cara memukul pada bagian telinga sebelah kiri, kemudian menampar pada wajah atau muka berulang kali, namun korban menghalangi dengan kedua tangan untuk menutup sebagian muka, sehingga  mengenai punggung dan kedua tangannya yang mengakibatkan memar terhadap tangan, selain itu juga menendang korban sebanyak 1 kali di bagian tubuhnya.

Dikatakan, meski kontruksi unsur terbukti. Namun JPU tidak melihat fakta dan hal-hal yang memberatkan sebagai dasar permohonan tuntutannya, JPU dalam permohonan terkesan hanya mempertimbangkan hal-hal yang meringankan untuk melindungi terdakwa.

  “JPU juga tidak mempertimbangkan urgensi penegakan hukum dalam kasus KDRT, subtansi dari diundangkannya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada 22 September 2004 sebagai pembaharuan hukum nasional,” ujarnya.

  Atas nama kuasa hukum korban KDRT, pihaknya meminta Majelis Hakim untuk melakukan pemeriksaan kembali perkara atas nama terdakwa GFY  untuk menjatuhkan vonis yang maksimal sesuai dengan fakta fakta persidangan dan ketentuan Pasal 44 pasal 1 Jo pasal 5 huruf (a) Undang undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT yakni 5 tahun penjara dan denda Rp 15 juta.

  “Kami secara khusus akan mengadukan persoalan ini kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dan Jaksa Pengawas Kejaksaan Tinggi Papua,” pungkasnya. (fia/tri)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version