Site icon Cenderawasih Pos

Kebijakan Terjemahan Otsus jadi Atensi, Hindari Mainkan Isu SARA

Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan, Uncen Prof. Dr. Avelinus Lefaan, MS, (foto: Karel/Cepos)

Mencermati Materi Kampanye yang Bakal Diusung Bakal Calon Kepala Daerah di Papua

Pasca  pendaftaran dn penetapan no urus pasangan calon kepala daerah (Cakada) pada  akhir September ini, dipastikan situasi politik akan meningkat, saat memasuki tahapan kampanye mendatang. Masing-masing pasangan calon dipastikan akan melakukan berbagai cara untuk memikat hati rakyat. Lantas seperti apakah materi kampanye yang mestinya digunakan oleh Cakada? Berikut  penjelasan Guru Besar Sosiologi Uncen

Laporan: Karolus Daot-Jayapura.

Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan, Uncen, Prof. Dr. Avelinus Lefaan, MS, menyampaikan untuk Pilkada Papua beberapa isu sentral dipastikan masih menjadi materi utama Kampanye dari calon kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati dan Walikota.

   Pertama komitment terhadap pelaksanaan UU No.2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus). Berkaitan dengan UU Otsus banyak hal yang menjadi penting dipikirkan pemimpin yang akan datang, beberapa diantaranya seperti hak proporsional OAP untuk segala kebijakan.

  Seperti halnya, untuk  penerimaan pegawai aparatus sipil negara (ASN), maupun hak proposional lainnya, yang telah tertuang dalam UU Otsus, yakni 80/20 persen.

  “Saya lihat sampai hari ini, penerapan sistem 80: 20 persen untuk segala kebijakan di Papua belum berjalan sama sekali, sehingga tidak jarang aksi protes dari masyarakat OAP terjadi terus menerus, masalah ini akan menjadi atensi pemimpin kedepan,” ujar Prof. Ave, Selasa (10/9)

  Lebih lanjut, masalah pendidikan, kesehatan maupun kesejahteran di Papua sampai saat ini masih sangat serius. Hal itu dibuktikan dengan indeks pembangunan manusia di Papua sampai saat ini hanya mencapai 45 persen.

  Kondisi ini, kata pria kelahiran Fak Fak 30 Mei 1938 itu, terjadi disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan yang terjadi pada bidang bidang tersebut. Meski satu sisi jangkuan wilayah administrasi Papua selama ini cukup luas, namun dengan adanya pemekaran 4 Daerah Otonom Baru, (Papua, Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Barat Daya). Oleh sebab itu, pemerintah yang akan datang harus mampu meminimalisir masalah-masalah tersebut dengan mengelola SDM yang ada.

  Kedua masalah keamanan yang secara konvensional dari tahun ke tahun tidak pernah diselesaikan. Hal ini penting karena faktor keamanan ini menghambat pelaksanaan UU Otsus selama ini.

   Oleh sebab itu, momentum Pilkada 2024 calon kepala daerah wajib memaparkan visi maupun misi, serta langkah strategis apa yang mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah keamanan di Papua.

   Ketiga, Cakada wajib memiliki langkah strategis untuk membuat peraturan daerah tentang Pemetaan Hak Hak Ulayat. Pasalnya masalah hak ulayat di Papua masih menjadi masalah serius. Ironisnya silih bergantinya pemimpin benang kusut ini tidak dapat diurai secara jelas.

  “Hak ulayat ini mestinya tidak menjadi problem, jika pemerintah mampu menciptakan hukum yang positif, akan tetapi silih berganitnya pemimpin di tanah Papua bicara tanah adat ini tidak pernah dibahas secara serius,” ujarnya.

   Untuk meningkatkan indek pembangunan manusia, langkah yang perlu dilakukan, salah satunya pengelolahan pembangunan harus diserahkan langsung kepada pemerintah daerah tingkat bawah. Sebab menurut Prof Ave, selama ini pemerintah pusat telah mengucurkan dana APBN yang cukup besar, namun karena pengelolahannya kurang maksimal, sehingga daerah menjadi kendala untuk meningkatkan indek pembangunan manusia yang ada di daerah.

  “Dana-dana pembangunan itu harus diberikan ke pemerintah kampung, biarkan masyarakat yang merasakan,” tegasnya.

   Ia mengimbau di Pilkada Papua, tidak ada cakada yang memainkan isu SARA (Suku, Agama, RAS dan Antar Golongan). Pemekaran DOB, tidak untuk memisahkan hak politik orang Papua. Alasannya, karena pemekaran hanya menyangkut batasan wilayah administrasi, namun untuk hak politik tidak ada batasan bagi siapapun yang punya kompetensi dan memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin di Papua diberi ruang sebebas-besanya untuk berkompetisi.

   “Isu SARA sebenarnya tidak pernah didengungkan, jika kesejahteraan masyarakat dijamin, dan memang secara hukum tidak ada aturan terkait batasan politik OAP di Papua, silahkan berkompetisi secara sehat,” imbuhnya.

   Lulusan Magister Sains ( MS ) Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB Bogor  tahun 1992 itu menegaskan beberapa point penting yang disampaikan itu harus menjadi atensi para kandidat, karena suhu politik di Papua dengan daerah lain cukup berbeda.

   Dimana hubungan elit politik mulai dari pusat hingga daerah untuk Papua cukup menjadi perhatian. Hal inilah yang kemudian membuat  segala kebijakan yang menyangkut dengan UU Otsus menjadi tidak berjalan maksimal. Sebab masyarakat terkonsentrasi dengan isu yang ada, sementara hal penting terkait dengan masalah kesejahteraan menjadi terabaikan.

  Oleh sebab itu, pemimpin yang akan datang diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang ada dengan komitment politiknya melalui orasi Kampanye. “Materi Kampanye inipun tidak juga hanya dijadikan sebagai bumbu untuk memikat hati masyarakat, tapi bagaimana agar itu bisa dijadikan acuan ketika nanti terpilih menjadi pemimpin, untuk 5 tahun kedepan,” tutup Prof. Ave. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version