Site icon Cenderawasih Pos

Pilot Susi Air Akan Dibebaskan di PNG ?

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko

JAYAPURA – Sembilan bulan sudah drama penyanderaan Pilot Susi Air, Philips Mark Merthenz. Entah bagaimana kabar terakhirnya hingga kini belum ada informasi pasti yang bisa menjelaskan baik posisi maupun kesehatannya.

Namun dari statemen terakhir Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko dimana pendekatan dan komunikasi dari para tokoh adat di Nduga terus dilakukan untuk membantu membebaskan sang pilot bisa saja membuahkan hasil.

Bahkan satu akademisi Uncen, Marinus Yaung menyampaikan bahwa jika benar ada niat kelompok Egianus  selaku pihak penyandera akan membebaskan Philip besar kemungkinan itu akan dilakukan bukan di teritorial Indonesia melainkan di salah satu kota di PNG.

“Saya melihat kasus penyanderaan ini bisa berakhir dengan pilot dibebaskan hidup – hidup apabila aparat keamanan mengizinkan pilot dibebaskan di wilayah PNG, di Kota Tabubil. Itu sesuai dengan permintaan kelompok Egianus dari informasi yang saya dengar,” kata Marinus, Jumat (10/11).

Dikatakan dari negosiasi yang dilakukan selama ini, Egianus Kogoya setuju Pilot dibebaskan di PNG. Hanya apakah ini hanya sebuah gimmick seperti informasi hoax soal negosiasi Rp 20 miliar lalu atau betul sesuai permintaan Egianus yang jelas hingga sekarang aparat keamanan masih berupaya melakukan pendekatan persuasif.

Marinus Yaung juga berpendapat bahwa jalan terbaik untuk kelompok Egianus Kogoya memulihkan simpati dan dukungan internasional terhadap perjuangan politiknya adalah segera membebaskan sandera Philip Mark Merthenz.

“Saya pastikan tidak ada manfaat politik dan diplomasi untuk kepentingan politik Papua Merdeka dari kasus penyanderaan warga negara asing ini,” tutupnya. Yaung juga melihat bahwa Egianus tetap menyandera Philip lantaran tidak begitu memahami informasi yang benar tentang manfaat politik dan diplomatik dari penyanderaan warga negara asing.

“Sebagai orang yang belajar diplomasi internasional, saya mau sampaikan kepada kelompok  Egianus di Nduga, bahwa penyanderaan pilot warga negara asing ini, membuat komunitas pasifik dan internasional sudah kehilangan simpati terhadap agenda politik Papua perdeka,” beber Yaung.

Ini dikatakan bukan tanpa alasan yang konkrit dimana dipaparkan bahwa KTT MSG di Vanuatu bulan Agustus 2023, sama sekali tidak berbicara isu penyanderaan pilot Selandia Baru di Nduga, Papua. Tidak ada keputusan MSG yang memberikan tekanan diplomatik kepada Indonesia untuk bernegosiasi dengan Egianus di Nduga, untuk pembebasan sandera.

Kedua, Pemerintah Selandia Baru tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, apalagi masalahnya menyangkut isu keamanan nasional dan kedaulatan bangsa dibalik drama penyanderaan ini. “Berharap Selandia Baru mengeluarkan pernyataan diplomatik mendukung agenda kemerdekaan Papua  untuk selanjutnya pilot dibebaskan bagi saya itu  harapan yang sia – sia dan tidak mungkin terealisasikan,” singgungnya.

Alasannya adalah pertama, sikap mendukung penyanderaan warga sipil dalam suatu konflik dan perang ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang atau hukum humaniter internasional.

Apalagi pemerintah Selandia Baru telah meratifikasi hukum humaniter internasional dalam hukum nasionalnya sehingga tidak mungkin mereka melanggar hukum – hukum tersebut. Lalu Selandia Baru memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.

“Hubungan diplomatik diatur dalam konvensi Jenewa tahun 1949. Sehingga berlaku asas pacta sunt servanda sebagai prinsip hukum internasional yang mengatur soal hukum dan moral untuk setiap negara yang mengingat diri dalam perjanjian internasional,” imbuhnya.

Jadi tidak mungkin Selandia Baru melanggar asas pacta sunt servanda dengan mengakui agenda Papua Merdeka KKB EK di Nduga, Papua. Contoh lainnya adalah Fretellin di Timor Leste dan GAM di Aceh, tidak pernah menyandera warga negara asing selama konflik dan perang dengan aparat keamanan Indonesia.

Bahkan Bougainville Revolution Army (BRA) di negara baru Bougainville, tidak pernah menyandera warga asing selama perang kemerdekaan dengan tentara PNG dari tahun 1987 – 1999, dan sampai pada saat ditanda tanganinya perjanjian damai Bougainville tahun 2001.

“Itu yang saya bingung, dari mana KKB Egianus Kogoya mendapatkan contoh penggunaan sandera sebagai cara memenangkan perang dan diplomasi Papua Merdeka?,” tanyanya.

“Saya sampaikan kepada Egianus Kogoya dan kelompoknya agar memahami fakta kebenaran ini dan berkenan melepaskan sandera Philip Mark Merthenz kembali ke berkumpul dengan keluarganya. Semoga sebelum Natal pada Desember tahun ini, pilot Mark sudah dibebaskan kakak Egianus Kogoya untuk beliau merayakan Natal bersama keluarganya,” tutupnya. (ade/wen)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version