Site icon Cenderawasih Pos

Perbedaan Tak Boleh Jadi Alasan Keretakan 

 Pj Gubernur Papua M Ridwan Rumasukun (foto:Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Gubernur Papua, M Ridwan Rumasukun menyebut, membicarakan Papua sebagai sebuah wilayah administrasi merupakan sesuatu yang biasa saja. Namun Ketika dikontekstualisasi pada keragaman etnis yang dimiliki, aneka warna kearifan yang dipraktekkan oleh masyarakatnya, maka menunjukkan suatu mozaik  yang rumit namun indah.

   “Karena keragaman bukan hanya kata-kata, melainkan sebuah realitas hidup yang dinamis, dan setiap hari  dirayakan sebagai sebuah anugerah kehidupan,” ucap Ridwan pada acara Seminar Internasional Agama, Moderasi dan Multikulturalisme Institut Agama  Islam Negeri Fattahul Muluk Papua bekerjasama dengan University  Kebangsaan Malaysia.

   Menurut Gubernur, banyak filosofi kehidupan masyarakat Papua yang terus dipraktekkan dalam keseharian penduduk, yang kemudian telah menjadi rule model bagi pemerintah bagaimana menata hubungan sesama yang berbeda. Baik etnis, agama maupun pilihan politik.

   “Secara structural misalnya dapat di lihat dalam mekanisme noken, sebagai model ideal dalam menentukan perwakilan-perwakilan suatu kelompok  dalam sistem pemerintahan. Atau dalam perspektif kultural, semisal   filosofi satu tungku tiga batu yang juga telah di adopsi oleh pemerintahan dalam mengatur hubungan antara pemerintah, adat dan agama,” bebernya.

   Sementara dalam skala yang lebih kecil, adanya sebuah fenomena, tumbuh  suburnya paham Protestan, Katholik, Islam (PKI) dalam keluarga keluarga inti Orang Asli Papua (OAP) yang dengan paham tersebut, justru membuat mereka sangat kokoh sebagai sebuah keluarga.

  Bahwa pilihan agama boleh berbeda, namun mereka disatukan dalam sebuah ikatan kekerabatan. Meskipun demikian secara universal saat ini agama seringkali dipandang sebagai sumber konflik diberbagai belahan dunia, akan tetapi di Papua agama merupakan sumber kedamaian dan perdamaian.

  “Sebagai seorang muslim di Papua, saya telah belajar bahwa Islam yang saya anut mengajarkan moderasi, yang berarti menjauhi ekstrem baik dalam keyakinan maupun dalam praktek.

Moderasi ini tidak lain adalah refleksi dari konsep “wasatiyyah” yang menjadi prinsip hidup dalam Islam, yaitu jalan tengah yang membawa rahmat bagi seluruh alam,” paparnya.

   Menurut Gubernur, bersikap moderat itu bukan berarti lemah atau kompromistis, tapi sebuah upaya untuk menavigasi keragaman dengan bijak. Moderasi merupakan upaya mengelola perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan, bukan sebagai titik lemah.

   “Tantangan kita adalah nyata, ada suara-suara yang keras, yang  mencoba menggusur harmoni yang telah kita bangun. Namun, kita  juga dihadapkan pada peluang yang sama besarnya. Dalam setiap  debat, dalam setiap pertemuan, kita memiliki kesempatan untuk  menunjukkan bahwa Papua, dan Indonesia secara lebih luas, bisa  menjadi contoh bagaimana keragaman di kelola menjadi sebuah  kekuatan dan dapat dijadikan sebagai nilai global untuk perdamaian dunia,” bebernya.

   Rumasukun juga mengingatkan bahwa perbedaan tidak boleh dijadikan alasan untuk meretakkan jalinan kesatuan, melainkan harus menjadi penguat dari keberagaman, bukankah jabatan tangan akan terasa lebih erat jika terdapat lima jari yang berbeda dan dengan fungsi yang berbeda-beda.

  “Sebagai sebuah provinsi yang kaya dengan keberagaman suku, agama, dan kepercayaan, kita memiliki tanggung jawab untuk merawat setiap benih kerukunan. Kita harus menempuh jalan yang kadang tidak mudah dengan kebijaksanaan dan keberanian hati, memastikan bahwa setiap perselisihan diolah dengan dialog yang membangun dan sikap yang mengedepankan kesatuan,” pungkasnya. (fia/tri)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version