MERAUKE – Masyarakat Adat Suku Kimaima dan Maklew kembali mendatangi DPR Kabupaten Merauke sehubungan dengan aksi demo damai yang dilakukan minggu lalu terkait dengan penolakan investasi terutama tebu masuk wilayah adat Suku kImaima dan Makleo yang ada di Kimaam dan Distrik Ilwayab, Jumat (21/06/2024).
Kedatangan masyarakat adat Suku Kimaima dan Maklew ke DPR Kabupaten Merauke tersebut utuk mendengarkan dari pemerintah daerah apakah sudah ada izin investasi yang dikeluarkan atau tidak.
Rapat dengar pendapat itu dipimpin langsung Ketua DPR Kabupate Merauke Sugiyanto, SH, MH. Hadir mendampingi Wakil Ketua I DPR Merauke Almaratus Solikah, dan Anggota DPR Merauke asal Kimaam Moses Kaibu . Hadir pula Wakil Ketua II MRP Papua Selatan Paskalis Imadawa.
Sementara mewakili bupati Merauke Asisten II Setda Kabupaten Merauke Justina Sianturi. Sedangkan pimpinan OPD yakni Kepala Bappeda Kabupaten Merauke Rino Tahiya, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Marwiah Ali Mahmud, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Merauke Dominikus Catur Risal Budiasantoso dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Merauke Martha Bayu Wijaya.
Menjawab penolakan masyarakat Suku Kimaima dan Maklew terhadap masuknya investasi ke wilayah mereka, Asisten II Setda Kabupaten Merauke Justina Sianturi menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada izin investasi baik skala sedang maupun besar yang diberikan.
‘’Jadi sampai hari ini belum ada izin investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk wilayah Kimaam,’’ katanya.
Hal sama disampaikan Kepala Bappeda Kabupaten Merauke Rino Tahiya. Menurutnya, mengungkapkan bahwa dari 6 distrik yang ada di Kimaam dan Ilwayab memiliki luas 1,5 juta hektar. Dari 1,5 juta hektar tersebut, ruang terbesar adalah Suaka Margasatwa yang memiliki luas 568.000 hektar, kemudian kawasan hutan lindung seluas 422.000 hektar.
Lalu ada kawasan hutan bakau seluas 250.000 hektar, Hutan produksi seluas 85.000 dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 5.000 hektar. Sehingga total luas lahan hutan suaka margasatwa sampai HPK tersebut kurang lebih 1,2 juta hektar.
‘’Jadi tersisa sekitar 300.000 hektar yang didalamnya ada pemukiman warga, pertanian lahan kering dan lahan basah, kemudian sepadan sungai, pantai dan sebagainya,’’ katanya. Dengan jumlah itu, lanjut dia, tidak ideal untuk investasi dalam skala menengah dan skala besar,’’ lanjutnya.
Menurut dia, kalaupun kawasan suaka margasatwa, hutan bakau sampai HPK tersebut akan diubah untuk investasi dalam skala besar maka butuh waktu dan proses yang panjang. ‘’Tidak mudah untuk merubahnya.
Harua ada kajian lingkungan strategis dan kajian lingkungan hidup dan sampai sekarang kedua dokumen ini belum ada. Sehingga Kimaam itu merupakan daerah penyangga untuk Kabupaten Merauke,’’ katanya.
Dari sisi komoditas, yang bisa dimanfaatkan hanya untuk pertanian padi seperti yang selama ini sudah dilakukan masyarakat di beberapa titik di Kimaam, disamping juga bisa untuk jagung, kacang tanah, sagu, umbi-umbian dan beberapa komoditas pertanian lainnya.
Meski begitu, hal yang dipersoalkan warga terkait dengan adanya kapal yang membawa 2 helikopter dan alat berat yang berlabuh di Ilwayab. Asisten II Setda Justina Sianturi mengaku baru mendapatkan informasi tersebut dan akan menyampaikan ke pimpinan atas terkait dengan keberadaan kapal yang dipertanyakan warga Suku Kimaima di Ilwayab tersebut.
Ketua DPR Kabupaten Merauke Sugiyanto meminta pemerintah daerah untuk bisa segera memberikan klarifikasi terkait dengan keberadaan kapal yang membawa 2 helikopter dan alat berat yang berlabuh di Ilwayab Merauke tersebut. (ulo)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos