Site icon Cenderawasih Pos

Pejabat Siap Maju Pilkada Harusnya Tahu Etika dan Dewasa dalam Berpolitik

Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH ( FOTO: Elfira/Cepos)

Mencermati Situasi Politik Jelang Pendaftaran Pilkada di Papua

Eskalasi politik di Papua cenderung terus meningkat mendekati tahapan pendaftaran pasangan bakal calon. Terutama terkait dengan upaya mencari dukungan partai politik  sebagai perahu politik untuk bisa mendaftar ke KPU.

Laporan: Elfira_Jayapura

Situasi politik menjelang Pilkada Serentak tahun 2024 ini, memang banyak menyita perhatian masyarakat. Tidak hanya ulah elite politik di tingkat pusat, yang seolah menskenariokan aturan untuk memuluskan tujuan politik kelompok tertentyu, tapi juga masalah aturan undang-undang yang diatur untuk melanggengkan kekuasaan, yang akhirnya menuai protes dengan aksi demo mahasiswa di Jakarta.

   Untuk di Papua sendiri, ada beberapa hal yang menarik perhatian, terkait dengan para bakal calon yang hendak maju Pilkada serentak, namun belum sepenuhnya “merelakan” melepas jabatan/statusnya sebagai pejabat ASN, TNI/Polri maupun anggota legislative, sesuai dengan aturan batas waktu pengajuan pengunduran diri.

   Serba serbi jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Papua. Ada yang masih berstatus ASN atau menjabat di institusi tertentu, namun wara wiri menyatakan bertarung di Pilkada, temui partai politik hingga dengan terang-terangan menerima B1-KWK.

  Hal ini menjadi perhatian dan sorotan dari Akademisi Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen, Yakobus Richard Murafer dan juga Ketua DPC Peradi Suara Advokat Indonesia Kota Jayapura sekaligus Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak, Anthon Raharusun.

   Salah satu yang menjadi sorotan, yakni  Mathius D Fakhiri yang masih menjabat sebagai Kapolda Papua, lalu Aryoko Rumaropen sebagai Kepala Dinas Dinas Tenaga Kerja, Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Papua. Dimana meski masih menjabat, namun sejumlah spanduk pasangan calon ini sudah marak dipasang di sejumlah tempat, termasuk banyak beredar di media sosial.

Yakobus Richard Murafer

   Akademisi Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen, Yakobus Richard Murafer, menyebut ketika mereka yang menjabat pada jabatan tertentu, namun kemudian menerima B1-KWK hingga menyatakan siap bertarung di Pilkada, ini menunjukan ketidak profesionalan mereka dalam hal etika politik.

  “Terjadi pemanfaatan jabatan yang kemudian nanti terjadi penyalahgunaan di dalamnya,” ucap akademisi ini, kepada Cenderawasih Pos, Sabtu (24/8).

  Menilik lebih jauh, dari sisi aturan di Pilkada hal ini memang tidak mengatur secara detail bahwa harus ada surat pengunduran diri sebelum yang bersangkutan menerima B1-KWK. Biasanya mereka ini pada saat pendaftaran barulah menyertakan surat pengunduran diri mereka.

  “Hari ini kita butuh pemimpin yang bersih, jujur dan bekerja berdasarkan kepastian hukum. namun mereka yang mencalonkan diri justru sedang memberikan contoh kepada masyarakat antara sebagai bakal calon atau menjadi pejabat,” ujarnya.

  Yakobus menilai jelang pendaftaran calon kepala daerah, kondisi politik hari ini semakin ugal- ugalan. Tidak hanya di tingkat pusat, tapi juga di daerah, termasuk di Papua. Sehingga itu, yang harus dilakukan adalah bagaimana setiap calon benar-benar menampilkan dirinya kepada publik sebagai calon yang benar-benar menghormati dan menjunjung tinggi atau tegak lurus terhadap peraturan Undang undang yang berlaku.

  Dengan begitu, ketika mereka sudah masuk ke arena politik harusnya lebih bersikap dewasa dalam berpolitik. “Namun yang terjadi hari ini lebih kepada kepentingan elit yang ada dalam konteks dukungan partai politik, sehingga mereka secara pribadi mencari kekuasaan dengan menggunakan segala macam cara yang justru mendapatkan pandangan secara negatif dari masyarakat. Ini menunjukan kemunduran dalam berdemokrasi itu sendiri,” ucapnya.

  Sementara itu, Ketua DPC Peradi Suara Advokat Indonesia Kota Jayapura sekaligus Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak, Anthon Raharusun, menyampaikan dalam kaitan pencalonan kepala daerah sesuai dengan pasal 7 Undang undang Nomor 10 tahun 2016.

   Secara tegas mengatakan bahwa calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota- wakil walikota harus menyatakan diri secara tertulis pengunduran diri baik sebagai anggota TNI-Polri maupun ASN sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilih.

  “Setelah ditetapkan sebagai calon gubernur-wakil gubernur, wali kota- wakil wali kota dan bupati-wakil bupati oleh KPU, maka sejak saat itu dia harus mengundurkan diri sebagai ASN atau pun kepala institusi tertentu disampaikan secara tertulis,” ucapnya.

  Menurut Anthon, dalam Undang undang hanya menyebutkan bahwa pengunduran diri secara tertulis oleh ASN maupun TNI-Polri dihitung sejak ditetapkan sebagai calon. Hanya saja, secara etika dalam penyelenggaraan jabatan berkaitan dengan disiplin ASN atau TNI-Polri.

   “Secara undang-undang memang tidak menyatakan secara tegas bahwa pada saat yang bersangkutan mengurus persyarataan pencalonannya sebagai kepala daerah wajib mengundurkan diri. Namun berdasarkan  peraturan disiplin ASN harusnya yang bersangkutan tidak boleh seperti itu, sebab dia meninggalkan tugasnya,” kata Anthon.

  Anton juga turut menyoroti TNI-Polri maupun ASN yang turut memberikan dukungannya kepada calon tertentu, ini menunjukan ketidak netralitas mereka di Pilkada November mendatang. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version