Site icon Cenderawasih Pos

Memulangkan Penyu ke Laut Biru

Ketua Konservasi Baleme, Abner Pae saat melepas tukik di kawasan pesisir pantai Kampung Skouw Yambe, Selasa (20/8) (Foto : Erianto / Cenderawasih Pos)

Cerita Abner Pae, Pegiat Konservasi Penyu di Kampung Skouw Yambe, Jayapura

Terusan bibir pantai sepanjang Holtekamp tidak hanya indah namun menyimpan keunikan lainnya. Pantai di Skouw Yambe kerap didatangi penyu untuk bertelur. Abner Pae actor pelestariannya.

Laporan : Erianto – Jayapura

Hari menjelang sore di Pesisir Kampung Skouw, Kota Jayapura, Selasa (20/8). Abner Pae terlihat sibuk menghitung tukik-tukik penyu yang ia tampung dalam sebuah wadah. Satu per satu tukik-tukik itu ia pindahkan ke sebuah ember dengan sangat hati-hati.

“Lima puluh dua, lima puluh tiga, dan lima puluh empat,” begitulah suara yang keluar dari mulut Abner Pae menghitung jumlah tukik yang ia pindahkan. Setelahnya, ia beranjak dari tempat duduk dan segera melangkah sambil membawa ember yang berisikan 54 “bayi” penyu atau tukik menuju bibir pantai untuk dilepasliarkan.

Raut wajahnya penuh semangat begitu ia menghentikan langkahnya di batas sapuan ombak. Ember berwarna biru yang ia bawa itu mulai dimiringkan, tukik-tukik tanpa komando berbaris keluar dari ember. Ada sebagian yang dibantu keluar. Dengan langkah yang lembut, tukik-tukik ini menuju ke air. Ada yang berdiam di tempat sambil menunggu ombak datang menjemput.

Tak sampai 5 menit, atau sekira pukul 17.30 WIT, 54 ekor tukik itu mulai berenang untuk pertama kalinya ke lautan biru dan tak terlihat lagi. Senyum manis pun terpancar dari raut wajah Pae usai menyaksikan tukik-tukik itu berenang bebas. Begitulah aktivitas rutin yang kerap dilakukan oleh Pae saat melepas bayi-bayi penyu. Tak banyak, bahkan sangat sulit menemukan sosok seperti Pae yang masih peduli dengan populasi penyu.

Pria berusia 61 tahun itu merupakan ketua kelompok sekaligus penggagas konservasi lokal “Baleme”. Konservasi penyu yang merupakan satu-satunya di Kota Jayapura, tepatnya di Kampung Skouw, yang jaraknya hanya 2 km dari batas negara Indonesia – Papua Nugini.

Dia berkisah jauh ke belakang, sekira tahun 80-an, sepanjang pesisir pantai Kampung Skouw Yambe, Skouw Mabo dan Skouw Sae menjadi habitat kawanan penyu. Namun masuk di tahun 2000-an, kawanan penyu perlahan mulai sulit untuk ditemukan karena maraknya perburuan penyu dan telur yang kian tak terkendali serta pencemaran pantai, kerusakan biota laut dan perubahan iklim membuat habitat penyu berkurang setiap tahunnya.

Prihatin dengan kelangkaan penyu, Pae lalu tergerak untuk melestarikan kura-kura laut yang terancam punah itu. Upayanya tak bertepuk sebelah tangan, sebab sejak tahun 2014 lewat sentuhan Dinas Perikanan Kota Jayapura dan dukungan tokoh masyarakat serta beberapa instansi lainnya mendukung hadirnya konservasi Baleme.

Lewat konservasi Baleme ini, Pae bersama kelompoknya atau keluarga dapat menjaga kelestarian penyu mulai telur, pengetasan hingga dilepas di laut. “Saya melihat penyu ini semakin tahun semakin sedikit, akhirnya saya kumpulkan masyarakat untuk mengajak melestarikan kembali penyu. Kemudian dari dinas (Dinas Perikanan – red) juga datang mengingatkan masyarakat agar penyu ini tidak hilang dan kita harus lestarikan,” ungkap Pae.

Satu persoalan terberatnya bukan soal fasilitas penangkaran melainkan justru pada masyarakatnya. Masih banyak warga yang melakukan perburuan untuk  dikonsumsi. Lainya ada juga yang dijual. Diakui ini bukan perkara mudah karena belum semua paham bahwa penyu adalah satwa dilindungi undang – undang. Dan itu semua jenis tanpa terkecuali termasuk yang mampir dan menitipkan telurnya di Pantai Skouw.

Konservasi Baleme sendiri sudah mendapatkan berbagai bantuan dari beberapa instansi, salah satunya Dinas Perikanan Kota Jayapura. Konservasi Baleme kini memiliki beragam infrastruktur penunjang mulai dari kolam, gazebo, pendopo serta pagar keliling dan juga peralatan lainnya.

Berada di depan Samudra Pasifik membuat Kampung Skouw Yambe dan Kampung Skouw Mabo serta Skouw Sae memang sangat ideal sebagai tempat konservasi penyu. Tapi bukan pekerjaan mudah, mengingat konservasi Baleme ini hanya bersifat swadaya dan dihuni oleh kelompok keluarga.

“Awalnya tahun 2014, kelompok ini anggotanya banyak. Tapi hanya satu tahun saya bubarkan karena tidak konsisten. Dan sejak itu sampai sekarang saya mengajak istri, anak dan keluarga lainnya untuk tetap melestarikan penyu,” ujarnya.

Pae bercerita, bukan perkara gampang bagi dirinya dalam melestarikan penyu. Dengan skala kelompok yang kecil, Pae juga tak mampu membendung perburuan penyu yang masih marak. “Orang tua kita dulu sering mengambil penyu untuk dimakan dan itu budaya dari ketiga kampung skouw ini. Kemudian ada juga masyarakat dari luar yang biasa menyelam mencari penyu sekitar kawasan ini,” ungkap pria yang mulai berambut putih itu.

“Tapi pengawasan tetap saya lakukan, kalau ada perahu yang tinggal di lautan langsung dicek. Apakah dia menyelam mencari penyu atau mencari ikan. Saya juga punya beberapa alat pengawasan seperti GPS, teropong dan senter dengan watt besar,” sambungnya. Sejatinya, ada tujuh jenis penyu yang ada di dunia, dan enam di Indonesia. Empat diantaranya merupakan penghuni kawasan pesisir kampung Skouw. Yakni, Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Pipih (Natator depressus) dan Penyu Tempayan (Caretta caretta).

“Penyu Mei’ dan Me’la (sebutan Penyu Belimbing dan Tempayan) ini sudah jarang sekali, sebelum benar-benar punah kita harus jaga dan lestarikan,” tuturnya.

Dia juga menceritakan siklus perkawinan penyu, mulai dari proses bertelur hingga pelepasan ke laut. Dimana setiap spesies penyu memiliki siklus berbeda. Musim bertelur biasanya terjadi di bulan Februari – Juni.

“Kalau tahap pertama biasanya 80-90 telur, kemudian naik kedua sampai 100 telur dan berikutnya 80-90 telur. Jadinya biasanya tiga kali tahap untuk bertelur,” ucapnya. “Setelah selesai bertelur, saya mengambil telur dengan pasir sekitar telur yang ada lendirnya. Biasanya kami sebut pasir pengantar. Itu biar telurnya tidak busuk dan juga membantu menetas,” tambahnya.

Menurutnya, proses penetasan telur biasa kurang lebih 2 bulan. Namun tergantung spesies penyu. Seperti jenis Penyu Belimbing biasanya butuh waktu 60 hari untuk menetas, Tempayan dan Pipih biasanya 52 hari. Setelah menetas, kawanan tukik tersebut didiamkan dalam air selama 15 hari sebelum dilepas ke laut.

Selama 10 tahun, Pae mengaku telah melepas 12.598 tukik. Yang terdiri dari 10.500 Penyu Pipih, 1.298 Penyu Belimbing dan 800 Penyu Tempayan. Populasi penyu di 3 kampung Skouw terancam tinggal cerita bila tak segera dilestarikan. Sebab Pae mengaku tak bisa seorang diri dalam menjaga warisan mewah ini. Sekalipun pemerintah turun tangan. Menurutnya, masyarakat merupakan satu-satunya kunci. Kesadaran dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam menjaga kelangsungan kehidupan penyu di 3 Kampung Skouw.

“Pertama itu masyarakat harus sadar dulu, bahwa ini adalah warisan leluhur kita. Generasi sekarang harus banyak belajar itu. Mari kita sama-sama lestarikan kembali,” ungkap Pae selaku Ketua konservasi Baleme di Kampung Skouw Yambe.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Perikanan Kota Jayapura, Matheys Sibi juga khawatir populasi penyu di Kota Jayapura atau di 3 kampung Skouw tinggal sejarah.

“Yang ditakutkan itu, anak-anak kita kedepan tinggal mendengar cerita bahwa dulu itu ada penyu di sini. Kalau masyarakat tidak punya kesadaran, maka dipastikan itu tinggal jadi sebuah cerita,” ujarnya.

Sibi juga menaruh harapan besar kepada masyarakat di 3 kampung Skouw maupun seluruh masyarakat di Kota Jayapura untuk sama-sama melestarikan penyu yang merupakan hewan yang dilindungi.

“Di Skouw itu populasinya masih ada, dan jalur satu-satunya penyu itu memang hanya di 3 kampung Skouw. Sekarang populasinya masih ada tapi menurun dan itu bisa dijaga sebagai warisan yang akan kita berikan kepada anak-anak kita nanti,” ucapnya.

Apalagi menurut Sibi, Penyu Tempayan saat ini sangat sulit ditemukan di Indonesia. Untungnya, spesies tersebut masih bisa ditemukan di Kampung Skouw walaupun sangat jarang.

Kemudian, melindungi penyu ini juga dinilai perlu intervensi dari pihak adat. Baik itu ondoafi maupun kepala suku. Peran pemerintah dinilai belum cukup.

“Kalau ada intervensi adat pasti bisa. Karena di kampung pengaruh adat cukup besar walaupun ada pemerintah kampung. Karena ini kampung-kampung adat, jadi harus ada intervensi dari adat. Seperti di Ambon sana, ada sanksi,” katanya.

Kemudian salah satu masyarakat adat Kampung Skouw Yambe, Frans menyebutkan sebagian dari mereka masih memiliki tanggung jawab dalam menjaga populasi penyu di kampung mereka.

“Kami juga biasanya kalau dapat telur di pantai, kami bawa dan serahkan ke Pak Pae untuk dirawat hingga menetas dan dilepaskan,” tutupnya.

Konservasi Baleme tak sendirian, pemerintah Kota Jayapura dalam hal ini Dinas Perikanan juga punya andil dalam melestarikan penyu di Kampung Skouw Yambe maupun di dua kampung lainnya, Skouw Mabo dan Skouw Sae.

Diketahui, Konservasi Baleme merupakan binaan Dinas Perikanan Kota Jayapura sejak 2015 hingga 2021 sebelum adanya regulasi baru atau undang-undang nomor 23 tentang otonomi daerah. Dimana kewenangan dikembalikan ke Pemerintah Provinsi.

Selama 7 menjadi binaan, berbagai program baik sarana prasarana, fasilitas hingga pendampingan bahkan pelatihan anggota kelompok telah dikucurkan untuk menunjang konservasi Baleme.

“Waktu menjadi binaan kami, pertama kami melakukan penguatan kelembagaan, membentuk kelompok dengan dukungan prasarana seperti perahu dan mesin, senter dan lain-lain. Kemudian kita berikan bangunan dan pelatihan studi banding ke Sukabumi dan Kepulauan Seribu,” ungkap Kepala Dinas Perikanan Kota Jayapura, Matheys Sibi.

Meskipun tak lagi menjadi binaan, tapi Sibi mengaku tetap memberikan pendampingan. Bahkan pihaknya mendorong agar pihak BUMN bisa menyalurkan bantuan CSR seperti yang telah dilakukan oleh PLN dengan melakukan pembangunan fisik di kawasan konservasi.

Dari pantauan Cenderawasih Pos, beberapa bangunan gazebo juga sedang dalam tahap rehap yang dilakukan oleh UPT Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. “Sekarang tinggal Pemerintah Kampung dan masyarakat melihat ini. Karena di Kampung Skouw ini ada empat jenis penyu yang harus kita lindungi,” imbuhnya

Abner mengaku berkat studi banding yang ia ikuti memberikan pelajaran berharga bagi dirinya bagaimana membudidayakan penyu dengan baik dan benar. Dia menaruh harapan besar, kelak Kampung Skouw Yambe maupun Skouw Mabo dan Skouw Sae bisa menjadi destinasi wisata. Selain punya pantai nan indah dengan pasir putihnya, juga menjadi wisata konservasi penyu.

Apalagi Kampung Skouw Yambe juga berbatasan langsung dengan pesisir negara tetangga Papua New Guinea. Sehingga dia mengajak seluruh masyarakat untuk sama-sama menyelamatkan penyu dari kepunahan. (*).

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version