Site icon Cenderawasih Pos

Mata Hati Tertutup Kabut Kepentingan Kekuasaan, Muaranya Politik Amoral

Pembukaan Pleno Rekapitulasi Suara tingkat KPU Provinsi Papua  yagn digelar di salah satu hotel di Entrop. Hingga kemarin proses rekapitulasi masih molor dari batas waktu yang ditentukan (dok/Cepos)

Rektor Uningrat Papua Husni Ingratubun Soal Situasi Politik Pasca Pemilu di Papua 

Pemilu serentak yang berlangsung di seluruh Indonesia pada 14 Februari lalu, kini masih dalam proses pleno rekapitulasi suara di tingkatan  penyelenggara  pemilu. Di tengah proses ini, terjadi  hiruk pikuk dari tingkat pusat hingga di daerah, tak hanya soal pasangan capres dan cawapres terpilih, tapi juga para caleg yang masih “berebut suara” di celah pleno PPD dan KPU yang mungkin bisa diakali, hingga pleno molor dari batas waktu yang ditentukan.

Laporan: Carolus Daot_Jayapura

Esklasi politik pasca pemilu ini, juga tidak luput dari perhatian Rektor Uningrat Papua, Muhammad Husni Inggratubun. Bahkan, dalam kesempatan orasi ilimiahnya,  ia  menilai cuaca politik saat ini  layak dijelaskan menggunakan teori hukum alam, dimana fenomena politik  Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) saat ini telah sama-sama dirasakan, seperti cuaca alam ekstrem yang sering terjadi di berbagai daerah.

Rektor Uningrat Papua Muhammad Husni Inggratubun (FOTO:Karel/Cepos)

  Betapapun sudah ada prediksi dan peringatan agar waspada terhadap cuaca ekstrem, namun ketika ekstremitas alam itu benar-benar hadir, siapapun tak kuasa mengelak. Dengan segala keterbatasan, menyerah kepada alam. “ Rindu mendalam akan normalitas alam kehidupan. Itulah kebutuhan setiap orang.”ungkapnya.

   Menurutnya, normalitas alam kehidupan tidaklah hadir hanya dengan doa saja. Normalitas alam kehidupan senantiasa melekat dan berkelindan dengan normalitas kehidupan makhluk seluruhnya.

  Normalitas alam kehidupan segera berubah menjadi ekstremitas ketika sementara anggota masyarakat merusak alam. Olengnya alam menjadikan kehidupan berada dalam situasi turbulensi, seperti, banjir, tanah longsor, gempa dan sebagainya. Robohnya kehidupan itu telah menjadi kenyataan, membawa korban jiwa, maupun harta benda.

  “Perpolitikan di negeri ini pada ranah praktis, sepadan dengan olengnya alam itu. Politik yang dalam keotentikannya bagus, elegan, dan mulia, namun dalam perjalanan berubah menjadi turbulensi sosial kebangsaan,” kata Husni, saat orasi ilmiah  pada  rapat senat terbuka Uninggrat Papua, Jumat (8/3) lalu.

  Bahkan menurut dia hampir semua warga negara dan penyelenggara negara terlibat dan terimbas oleh turbulensi politik. Walaupun ada sebagian orang berhasil mengamankan diri. Daya pengendalian dirinya luar biasa. Tidak mempan digosok dan digesek oleh politikus politikus serakah.

   Hidup bernegara sebenarnya tak ubahnya keluarga. Rumah dan kehidupannya perlu cahaya indah. Cahaya dimaksud berupa nilai nilai moralitas Pancasila. Pancasila dipraktikkan dalam keseharian.

  Hubungan diantara semua entitas terjalin akrab, hangat, menyehatkan. Itulah jalinan pansubjektivitas. Semua saling hormat menghormati. Sungguh ditabukan mengobjekkan pihak manapun, betapapun posisinya pihak lain itu lebih rendah.

  Politik mestinya menjadi sarana untuk mengisi kehidupan bernegara dengan cahaya moralitas Pancasila. Sejarah nasional telah mengajarkan bahwa melalaikan Pancasila dalam berpolitik hanya menghadirkan perpecahan bahkan korban.

   “Sungguh celaka, ketika mata kepala mampu melihat realitas historis, tetapi mata hati tertutup kabut kepentingan kekuasaan. Muaranya, politik ekstrem, amoral dipraktikkannya.”ungkapnya.

   Di tengah-tengah ekstremnya cuaca politik, amat diapresiasi orang-orang yang istiqomah di jalur moralitas Pancasila. Orang- orang langka ini, melalui ketekunannya selalu berupaya men- cerahkan suasana keluarga, sahabat dan lingkungannya. Semua orang, disayangi siapapun bersalah, dimaafkan. Tiada kata-kata ataupun perilaku kasar, kecuali sopan-santun, senyum, sapa kehangatan.

  Boleh jadi sikap orang-orang langka demikian, dikatakan ekstrem oleh orang-orang yang telah kerasukan ekstremitas politik praktis. Begitulah tudingan itu kadang-kadang hadir dalam pergaulan keseharian. Fenomena ini tak ubahnya dokter spesialis jiwa dituding oleh pasiennya sebagai orang gila. Orang-orang gila di ranah politik praktis, kini telah merebak di seantero negeri.

  “Itulah gambaran lain dari cuaca politik ekstrem yang kini sedang melanda negeri ini,” ujarnya.

Dibandingkan masyarakat Barat yang dikonotasikan individual-liberalistik, umumnya mereka segera berlibur ke tempat-tempat pariwisata berhawa sejuk ketika cuaca ekstrem tiba. Demi keseimbangan jiwa, keseimbangan alam, atau keseimbangan sosial-kebangsaan, berlibur itu sangat sehat.”tuturnya.

  Ada waktu-waktu untuk berkarya, berpolitik, dan bekerja yang sarat ketegangan, namun perlu tersedia waktu-waktu berlibur, berwisata, rileks yang mengasyikkan. Agar cuaca ekstrem dapat diseimbangkan kembali perlu ada rotasi waktu, dari waktu sarat hal-hal serius-ketegangan, ke waktu sarat ketenteraman, kedamaian, persahabatan.

  “Bangsa ini perlu dididik agar cerdas dan terampil mengelola waktu demi normalitas alam-kehidupan,” katanya.

  Kalaupun saat ini waktu berlibur belum tersedia, setidaknya sisihkan waktu istirahat barang sejenak untuk menghirup udara segar. Istirahat dimaksud adalah upaya meredakan dan mengendalikan diri, tidak bertengkar, tidak saling mencaci-maki, tidak berbuat curang kepada pihak lain, khususnya terkait Pilpres dan Pileg. “Sungguh nyaman beristirahat itu. Biarkan energi alami dan humanis beraktivitas normal, tanpa paksaan, tanpa tekanan.”ujarnya.

   Dari normalitas aktivitas energi-energi tersebut, maka perlahan tapi pasti, akan muncul wajah berseri, senyum ramah, optimis menatap masa depan. “Pada saat itulah bangsa ini akan sadar apa yang telah terjadi dan sadar pula apa yang mesti dilakukan untuk masa depan,” pungkasnya (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version