Site icon Cenderawasih Pos

Frits Ramandey: Hati-hati Memberikan Restu ke Investor

Frits Ramandey (FOTO:Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Masyarakat adat suku Awyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Hingga kini masih berjuang untuk mempertahankan hutan adat mereka yang akan dijadikan lahan sawit.

Dalam memperjuangkan hutan adat mereka, Suku Awyu dari Boven Digoel dan Suku Moi dari Sorong Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (27/5) lalu.

Mereka meminta MA menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit, yang mengambil hutan tempat tinggal masyarakat adat mereka.

Kepala Komnas HAM, Frits Ramandey, mengingatkan pemerintah terutama pejabat di Papua Selatan untuk hati hati dalam memberikan izin terhadap investasi lahan kelapa sawit di daerah tersebut.

“Kami ingatkan pejabat di Papua Selatan hati hati dalam memberikan restu terhadap upaya investasi lahan kelapa sawit,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (5/6)

Menurut Frits, investasi yang menggunakan lahan lahan masyarakat adat atau hutan lindung yang menjadi tempat hidupnya satwa dan tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya bisa diproteksi oleh pemerintah.

“Karena itu, rencana investasi hanya bisa berlangsung jika ada kesepakatan antara pemerintah baik pusat maupun Papua Selatan. Ini bukan serta merta kesalahan investor saja melainkan ada campur tangan dari pihak negara dalam hal ini pemerintah,” terang Frits.

“Karena itu kami ingatkan Pemerintah Papua Selatan hati hati dalam memberi izin terhadap perluasan kawasan lindung, karena kawasan lindung memiliki manfaat diantaranya tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya, areal keberlangsungan kehidupan satwa dan  perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman bencana,” sambungnya.

Selain itu kata Frits, masyarakat adat harus mengkonsolidasikan diri untuk mengawasi wilayah wilayah adatnya.

“Yang terpenting adalah masyarakat harus bersatu, sebab kerap terjadi perpecahan di dalam  tubuh masyarakat adat/pemilik hak ulayat itu sendiri,” kata Frits.

Komnas HAM sendiri mempunyai kewajiban dan akan memberikan penguatan terhadap masyarakat adat dalam menjaga kawasan hutan lindung mereka. Dan menjaga hak hak ulayatnya.

“Kami juga akan melakukan pemantauan terhadap pembukaan lahan lahan baru, sebab di Merauke banyak investor yang masuk bukan hanya satu investor. Komnas HAM selama ini  telah memberi trainning terhadap masyarakat adat dan pemilik hak ulayat dalam menjaga wilayah mereka seiring dengan operasi kelapa sawit,” ujarnya.

Lantas apakah hal ini melanggar HAM ? Frits menjelaskan dia akan menjadi pelanggaran HAM jika kemudian ada intervensi negara dalam hal ini pemerintah mengabaikan eksistensi masyarakat adat.

“Yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah pemerintah, sebab investor bisa beroperasi di wilayah tersebut jika mendapatkan izin dari pemerintah. Sehingga itu, ketika melanggar maka pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM karena pelanggaran HAM terjadi ada campur tangan negara,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, mengatakan perjuangan hak masyarakat Adat Awyu melawan pemerintah yang telah mengelapkan wilayah adatnya melalui penerbitan surat rekomendasi kelayakan lingkungan kepada PT. Indo Asiana Lestari di PTUN Jayapura. Selanjutnya di PT TUN Menado pada tingkat Banding dan saat ini di Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tingkat kasasi.

“Sejak di tingkat pertama pada PTUN Jayapura ditemukan fakta Majelis Hakim mengabaikan peraturan  MA RI, Nomor 1 Tahun 2023 tentang pendoman mengadili perkara lingkungan hidup yang terlihat melalui sikap Majelis Hakim yang tidak membuka dokumen Amdal yang ditanda tangani oleh Ketua LMA yang tidak memiliki hak atas tanah Adat Marga di wilayah Adat Masyarakat Awyu,” terang Gobay kepada Cenderawasih Pos.

Sementara di tingkat banding pada PT TUN Menado, ditemukan fakta Majelis Hakim pemeriksa perkara mengabaikan peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup karena majelis pemeriksa perkara tidak memiliki lisensi hakim lingkungan.

“Kedua fakta di atas merupakan tindakan yang jelas-jelas melanggar peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2023. Sehingga dalam pemeriksaan perkara ditingkat kasasi pada MA akan membuktikan apakah MA akan menegakkan aturannya atau justru sebaliknya akan melanggara aturamnya sendiri,” bebernya.

Gobay berharap Ketua MA mendengar suara masyarakat Adat Awyu dan Masyarakat Adat Moi yang melakukan aksi damai untuk mempertahankan wilayah adatnya bagi generasi penerus marganya di atas wilayah adatnya didepan Kantor MA.

“Semoga Hakim MA pemeriksa perkara masyarakat Adat Vs pemerintah di tingkat kasasi dapat mengimplementasikan perintah peraturan MA RI nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungam hidup dan melindungi eksistensi masyarakat adat sesuai perintah Pasal 28i ayat (4), UUD 1945,” harapnya.

Sekadar diketahui, perjuangan Suku Awyu dan Moi menuai perhatian seiring bergaungnya poster “All Eyes on Papua” di media sosial. Poster bertajuk “All Eyes on Papua” merujuk permintaan masyarakat adat Awyu dan Moi agar pemerintah mengembalikan dan menyelamatkan hutan Papua dari pembukaan perkebunan sawit.

Berdasarkan laporan Greenpeace tercatat sejak 2017 PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare. (fia/wen)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos   

Exit mobile version