Site icon Cenderawasih Pos

Maju Nyalon, Sejumlah Anggota DPRP Masih Terima Gaji

Jhony Banua Rouw yang maju Pilkada Kota Jayapura

JAYAPURA – Tak hanya status mantan Kapolda Papua, Mathius Fakhiri yang sedang menjadi sorotan pasca diketahui telah melakukan pendaftaran di KPU, ditetapkan sebagai calon gubernur bahkan telah mengambil nomor urut namun belakangan diketahui hingga kini yang bersangkutan masih berstatus polisi aktif dengan  pangkat Komjend.

Hanya kabarnya surat pemberhentian sebagai anggota Polri baru saja dikantongi sehingga tinggal diajukan untuk selanjutnya bertarung tanpa lagi membawa jabatan sebagai polisi aktif.

Namun hal lain yang juga patut disorot adalah status sejumlah anggota DPR Papua yang  juga nyalon dan masih berstatus sebagai anggota DPR aktif. Bahkan masih menerima gaji.

Beberapa nama yaitu Jhony Banua Rouw yang maju Pilkada Kota Jayapura, Darwis Massi Pilkada Kota Jayapura, Mustakim maju sebagai Wakil Bupati Keerom, Yanni maju sebagai Bupati Sarmi, Yunus Wonda maju sebagai Bupati Kabupaten Jayapura, Boy Markus Dawir maju sebagai Walikota Jayapura, Nathan Pahabol maju sebagai Wakil Gubernur Papua Pegunungan,  Fauzun Nihayah maju sebagai Wakil Bupati Merauke dan Benyamin Arisoy maju sebagai Bupati Kepulauan Yapen,  kemudian ada nama Elvis Tabuni, Nason Utty, Kusmanto, dan Alfred Anouw.

“Kemarin saya umumkan di paripurna bahwa semua sudah mengajukan pengunduran diri dan disampaikan ke pimpinan, mendagri dan semua sedang berproses,” jelas Jhony menjawab pertanyaan Cenderawasihs Pos saat ditemui di Tanah Hitam, Selasa (1/10).

Namun ia menyampaikan bahwa meski telah mengajukan surat pengunduran diri namun ia dan nama – nama di atas masih berstatus sebagai anggota DPRP aktif dan masih menerima hak-hak.

Jadi dijelaskan bahwa selama belum ada SK pemberhentian dari Mendagri maka para anggota DPRP yang sudah pamit ini masih sebagai anggota aktif.

“Aturan kami adalah anggota DPR itu diangkat menggunakan SK, dilantik di paripurna  maka pemberhentiannya juga harus ada surat pemberhentian yang akan dibacakan di paripurna. Selama itu belum ada maka kami adalah anggota dewan aktif,” kata Jhony.

“Kalau kemarin dikatakan mengapa sudah melakukan perpisahan, sesungguhnya itu inisiatif saya saja. Saya akan tinggalan jabatan dan menghargai proses demokrasi dan tidak membawa embel – embel ketua DPR. Namun dari keabsahan hingga kini kami belum menerima SK pemberhentian,” tambahnya.

Dan Jhony membenarkan bahwa dirinya dan anggota lainnya masih menerima gaji karena belum ada SK pemberhentian.

Meski demikian, Jhony menyatakan tidak lagi menggunakan fasilitas yang melekat sebagai ketua.

“Selama saya menjadi anggota DPR,  saya jarang sekali menggunakan fasilitas kantor. Kalaupun menggunakan itu hanya digunakan saat acara resmi, presiden datang, 17 Agustus atau acara resmi lainnya dan semua sudah dikembalikan,” imbuhnya.

Dan menyangkut dirinya masih memimpin sidang sementara sudah mengajukan pengunduran diri, diceritakan bahwa hal ini juga sudah dikonsultasikan dan ia serta beberapa unsur pimpinan lainnya sejak awal sudah tidak mau sebab tidak ada untung apa – apa sementara ancamannya adalah mereka akan terkena dampak.

“Tapi kami terpaksa melakukan itu setelah melihat situasi terkini. Ini tak lepas dari kondisi DPR  Papua yang hari ini krisis pemimpin.

“Hari ini hanya ada saya dan pak Wonda (Yunus Wonda). Pak Edo (Edoardus Kaize) sudah dilantik di DPR RI sedangkan pak Rumboirussy sakit tidak bisa pimpinan sidang. Bayangkan kalau saya dan pak Wonda tidak pimpin sidang artinya APBD perubahan tidak selesai,”  papar Jhony. Ia mengutarakan bahwa masih ada sejumlah soal yang patut segera dituntaskan diakhir tahun 2024 ini yang berkaitan dengan DPRP.

Bagaimana kondisi rumah sakit, belum lagi soal TPP yang harus segera dibayarkan, lalu dalam sidang ternyata ada uang Pemilukada yang dibiayai APBD induk sehingga memang harus segera diketok.

“Betul kami sudah serahkan uang tapi itu mendahului APBD atau ijin prinsip yang harus disahkan pada APBD perubahan.  Pemimpin harus berani ambil resiko walaupun nantinya ada resiko berdampak hukum tapi ini untuk kepentingan daerah. Bayangkan uang tidak disahkan dan akhirnya diperiksa akhirnya KPU dan semuanya termasuk kami juga akan terjerat,” jelas Jhony.

Disini Jhony akhirnya bertanya jika tidak disahkan maka apakah Pemilu bisa berjalan?.

“Ingat APBD Kota itu tidak membiayai tenaga KPPS, TPS, Bawaslu tingkat bawah karena semua dibayar oleh APBD Provinsi. Itu sebab kami pasang badan dan  sekali lagi tak ada kepentingan apa – apa disitu meski berisiko bagi kami,” sambungnya.

Bahkan lanjut pada sidang lainnya semisal Sidang APBD induk diyakini nantinya ia juga yang akan mensahkan sebab jika bukan pimpinan yang ada saat ini maka kemungkinan besar APBD induk akan disahkan pada tahun 2025 dan sudah pasti dampaknya APBD Papua akan terpotong atau terkena dis.

Disinggung soal sudah mengundurkan diri, tidak lagi mengambil hak-hak namun masih memimpin sidang dan mensahkan dokumen negara menurut Jhony pihaknya sudah berkonsultasi dengan Biro Hukum Papua dan sempat menolak saat rapat Badan Musyawarah. Akan tetapi Pak Sekda ketika masih dijabat Ridwan Rumasukun dan dan biro hukum menyampaikan bahwa semua tidak masalah.

“Tapi  kami minta untuk pak Sekda (mantan sekda) berkoordinasi dengan KPU Provinsi dan lewat jawaban simple bahwa  tidak ada masalah, silahkan pemimpin sidang apalagi kami belum menerima SK pemberhentian. Kami masih menunggu SK dan saat SK turun maka langsung saya pimpin Paripurna,” imbuhnya.

Jhony mengaku bahwa semua berkaitan dengan situasi yang memang tidak bisa dihindari. “Contoh Pak Fakhiri juga masih aktif dan menunggu pemberhentian. Lalu ASN  tidak mungkin diberhentikan tanggal 20 tapi pasti tanggal 1. Tolong dipahami  dulu sebab ini tidak serta merta dan ada situasi yang harus bisa dimaklumi,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Papua, Hardin Halidin mengingatkan para Paslon yang sebelumnya pernah menduduki jabatan tertentu untuk tidak menggunakan kewenangannya ketika mencalonkan diri sebagai gubernur maupun wakil gubernur.

“Dan apakah mereka ini berpotensi menggunakan kewenangannya saat menjabat, pasti berpotensi,” kata Hardin kepada Cenderawasih Pos, Rabu (2/10).

Hardin menjelaskan, sebagaimana BTM pernah menjabat sebagai Wali Kota Jayapura selama dua periode, MDF yang pernah menduduki jabatan sebagai Kapolda Papua, Yermias Bisai sebagai Bupati Waropen dan Aryoko Rumaropen sebagai ASN Pemprov.

“Bahwa kemudian mereka punya relasi sewaktu menjabat sehingga kemudian berpotensi menggunakan kewenangannya, itu tidak bisa disalahkan selama itu tidak melanggar  dan selama tidak menyalahi peraturan perundang-undangan. Semua orang punya cara untuk bagaimana berkompetisi,” ujaranya.

Menurutnya, semua Paslon yang masih PNS, TNI-Polri atau apapun itu asumsinya setelah ditetapkan sudah harus mundur dan semestinya sudah tidak punya kewenangan untuk menggerakkan. Sementara itu, disinggung MDF yang masih berstatus Polisi aktif, Hardin menjelaskan sesuai  pengawasan yang dilakukan Bawaslu, diketahui dokumen yang sudah diajukan adalah dokumen pengunduran diri dari MDF.

“Beliau sudah mengajukan surat pengunduran diri ke Mabes Polri dan sudah ada bukti tanda terima, disertai juga ada surat dari Mabes Polri yang sedang berproses,” kata Hardin.

“Setahu kami di tanggal 22 September, sudah ada keterangan yang disampaikan bahkan sedang diurus. Bahwa kapan dia (MDF-red) mundur, itu bukan kewenangan Bawaslu melainkan kewenangan instansinya,”  pungkasnya. (fia/ade)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version