Site icon Cenderawasih Pos

Harus Mampu Terjemahkan MRP dan Berkomitmen Perjuangkan Hak-hak Dasar OAP

Sejumlah anggota MRP Provinsi Papua periode 2023-2028 foto bersama usai pelantikan di Kantor Gubernur Papua, Selasa (7/11).(FOTO: Elfira/Cepos)

Mencermati Pelantikan MRP Periode 2023-2028 yang Masih Meninggalkan PR

Anggota MRP Periode 2023-2028 secara resmi telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri   John Wempi Wetipo di Kantor Gubernur Papua, Selasa (7/11) lalu. Meski telah dilantik, namun masih menyisakan “pekerjaan rumah”, karena ada 8 orang yang belum dilantik dengan berbagai alasan dan berpotensi gugatan hukum.

Laporan: Carolus Daot_Jayapura

Anggota MRP Periode 2023-2028 resmi dilantik oleh Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) John Wempi Watipo, Selasa (7/11) lalu di Kantor Gubernur, diprediksi bakal tidak “bertaring” lagi seperti MRP periode sebelumnya.

Komitmen anggota MRP sebagai representasi kultur masyarakat Papua, baik dari adat, perempuan dan perwakilan kelompok agama, untuk menjaring aspirasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua diragukan.

  Hal ini tidak terlepas dari proses seleksi dan penetapan calon MRP oleh pemerintah pusat yang baru dilantik kemarin. Masih ada ganjalan, ketidakpuasan, dan pertanyaaan di masyarakat, yang perlu ada kejelasan.

  Seperti halnya yang diampaikan Thomas Ch. Syufy selaku Praktisi Hukum. Ia menyoroti soal anggota MRP terpilih, Benny Sweny dan Orpa Nari, yang tidak dilantik oleh Wamendagri.

  Terkait hal itu Thomas Ch. Syufy mengaku menyesal atas sikap Mendagri. Pasalnya menurut Pengacara muda tersebut alasan tidak dilantiknya kedua anggota MRP terpilih hanya persoalan irasional dan sulit untuk dipertanggungjawabkan secara hukum.

  Sebab menurutnya ketika alasan tidak dilantiknya dua anggota MRP tersebut hanya karena keduanya bagian dari anggota MRP periode lalu yang menolak UU Otsus, merupakan alasan yang tidak masuk diakal.

  Sebab langkah Beny Sweny dan Orpa Nery menolak UU Otsus  sudah sangat tepat, karena keduanya bagian dari Anggota MRP dimana MRP ini dibentuk untuk merepresentasikan keberadaan orang Papua dalam mengawal dan mengontrol penyelenggaraan UU Otsus baik jilid 1 maupun jilid II.

  “Itukan aspirasi yang diteruskan ke pemerintah pusat sebagai pengambil  keputusan dan kebijakan tertinggi, yang menjadi ciri-ciri negara kesatuan, Jadi, kenapa harus takut terhadap lembaga kultur daerah sekelas MRP,” tandas Thomas, Kamis (9/11).

  Diapun mengatakan apa yang dilakukan oleh Beny Sweny dan Orpa Nery hanyalah aspirasi rakyat Papua atas kekecewaan mereka karena selama 20 tahun UU Otsus dibentuk, belum memberikan kepuasan, terutama mewujudkan tiga tujuan dasar dari UU Otsus, yaitu proteksi, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua.

  “Setiap kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh MRP, DPRP, dan Gubernur yang berdimensi kemanusiaan bentuk  keberpihakan mereka terhadap orang asli Papua, lantas kenapa selalu ada resistensi dan penolakan dari pemerintah pusat,” tanya Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)

  Thomas menganggap langkah Mendagri tidak melantik kedua Anggota MRP terpili tersebut sebagai bentuk melek hukum dan bentuk pembungkaman terhadap hak rakyat Papua.

  Pasalnya upaya penolakan dan permohonan judicial review terhadap UU Otsus ke MK dari kedua anggota MRP terpilih tersebut merupakan sesuatu konstitusional, dimana setiap warga negara, termasuk MRP memiliki legal standing dan berhak untuk melakukan berbagai ikhtiar hukum. Termasuk upaya mengajukan gugatan ke MK terkait UU Otsus Papua, demi mencari terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.

  “Cara itu bukan peradilan jalanan, itu merupakan cara paling bermartabat dan berwibawa yang wajib dihormati dan didukung oleh semua pihak, termasuk Kemendagri. Apalagi MRP adalah lembaga kultur orang Papua, tentu setiap keputusan dan perjuangan mereka bentuk representasi orang Papua melalui lembaga MRP, bukan bersifat oknum,” tuturnya.

   Sehingga menjadi jelas, lanjut Thomas perjuangan Beny Sweny dan Orpa Nari sebagai anggota MRP, sesuai tupoksi mereka untuk mengawal dan kontrol terhadap UU Otsus. “MRP bukan lembaga subordinasi dari Kemendagri, tapi hubungan koordinatif. Selain itu MRP tidak bisa diintervensi oleh Kemendagri, apalagi menetapkan keputusan pelantikan, saya harap Kemendagri tidak mengawetkan konflik Papua dengan menerapkan politik adu domba sesama orang Papua melalui proses pemilihan dan pelantikan Anggota MRP,” tegasnya.

  Sementara itu di sisi lain Tokoh Pemuda Papua, Manuel Rumpaidus selaku anggota DPD KNPI Papua, menyampaikan kehadiran MRP kali ini tidak lagi sebagai representasi masyarakat Papua.

Sebab proses Pelantikan MRP kali ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

  Dimana MRP pada tahun-tahun sebelumnya diisi oleh orang-orang yang benar-benar memiliki rekam jejak pada perjuangan pembebasan irian Barat hingga Presidium Dewan Papua yang memperjuangkan Papua merdeka dan mendorong untuk menyelesaikan persoalan Papua secara damai.

  Atas perjuangan itu, pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus (otsus) yang merupakan kesepakatan bersama dalam Kongres Rakyat Papua tahun 2000. “Sebagai generasi muda, saya harap  kehadiran MRP yang baru ini  mampu memproteksi hak-hak dasar orang Papua dan mampu menerjemahkan  maksud dan tujuan MRP itu sendiri bagi rakyat Papua,” harapnya.

  Sebab menurutnya MRP sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan untuk mengawal penyelenggaraan UU Otsus  untuk itu sangat diharapkan anggota MRP yang baru, harus benar-benar bekerja sebagai orang asli Papua yang memiliki hati dan jiwa untuk membela rakyat Papua.

  “Bukan menjadi boneka Jakarta, karena MRP adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan, panjang sejarah rakyat Papua,” tegasnya.

  Sementara itu sebelumnya, dari 42 nama, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Jhon Wempi Wetipo hanya melantik 34 orang anggota Majelis Rakyat Papua (MRP),  8 nama lainnya dipending.

Wamen menyebut, alasan delapan anggota yang belum dilantik pertama yang masuk melalui Pokja Agama. Di bagian ini, terikat dengan Perdasi nomor 5 tahun 2023. Sebagaimana dipasal 5 ayat 1, 2 dan 3 sudah menegaskan bahwa keterwakilan adat, agama dan perempuan yang ada di lingkungan Provinsi Papua terdiri dari suku Tabi dan Saireri.

“Dan yang masuk itu saudara saudara kita dari gunung, mohon maaf saya tidak diskriminasi, tetapi kekhususan ini sudah diatur,” ucap Wamen kepada wartawan usai melantik para anggota MRP.

Ia berharap tidak ada narasi lain, sebab delapan nama sementara dipending lantaran jika diteruskan untuk melantik atau mengukuhkan. Bisa jadi orang yang tidak senang bisa menggugat surat keputusan Mendagri.

  Alasan lainnya lanjut Wamendagri, saudara Orpa Nari dan Benny Sweny dianggap ikut terlibat dalam proses penolakan Otsus, tapi juga melakukan yudisial reviuw di MK. Sehingga proses penundaan  UU nomor 2 tahun  2021 belum dilaksanakan karena anggota MRP yang lama menggugat.

  “Artinya kalau mereka menggugat produk Otsus nya, lalu sekarang mau masuk keanggoataan MRP yang notabene sudah ditolak, kan ini jadi resisten. Saya mau kedua saudara ini harus konsiten, jika yang lalu menolak maka yang ini tidak boleh masuk. MRP itu produk Otsus, sehingga tidak boleh ada narasi lain,” terangnya.

  Disinggung soal status pending delapan orang tersebut, Wamen menyampaikan nama mereka tetap ada. Namun semua dikembalikan kepada Pj Gubernur Papua untuk melakukan revieuw  terkait dengan keputusan  yang sudah dikeluarkan, karena hasil penelitian berkas sudah dilakukan.  (*/tri)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version