Site icon Cenderawasih Pos

Wamendagri Tegaskan Tak Ada Diskriminasi

Wamendagri Jhon Wempi Wetipo bersalaman dengan anggota MRP yang baru saja dilantik, Selasa (7/11) (foto: Elfira/Cepos)

Soal 8 Nama yang Batal Dilantik menjadi Anggota MRP

JAYAPURA – Dari 42 nama, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Jhon Wempi Wetipo hanya melantik 34 orang anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), di Kantor Gubernur Papua, Selasa (7/11). Sementara 8 nama lainnya dipending.

Wamen menyebut, alasan delapan anggota yang belum dilantik pertama yang masuk melalui Pokja Agama. Dibagian ini, terikat dengan Perdasi nomor 5 tahun 2023. Sebagaimana dipasal 5 ayat 1, 2 dan 3 sudah menegaskan bahwa keterwakilan adat, agama dan perempuan yang ada di lingkungan Provinsi Papua terdiri dari suku Tabi dan Saireri.

“Dan yang masuk itu saudara saudara kita dari gunung, mohon maaf saya tidak diskirminasi tetapi kekhususan ini sudah diatur,” ucap Wamen kepada wartawan usai melantik para anggota MRP.

Ia berharap tidak ada narasi lain, sebab delapan nama sementara dipending lantaran jika diteruskan untuk melantik atau mengukuhkan. Bisa jadi orang yang tidak senang bisa menggugat surat keputusan Mendagri.

Alasan lainnya lanjut Wamendagri, saudara Orpa Nari dan Benny Sweny dianggap ikut terlibat dalam proses penolakan Otsus, tapi juga melakukan yudisial reviuw di MK. Sehingga proses penundaan  UU nomor 2 tahun  2021 belum dilaksanakan karena anggota MRP yang lama menggugat.

“Artinya kalau mereka menggugat produk Otsus nya lalu sekarang mau masuk keanggoataan MRP yang notabene sudah ditolak, kan ini jadi resisten. Saya mau kedua saudara ini harus konsiten, jika yang lalu menolak maka yang ini tidak boleh masuk. MRP itu produk Otsus, sehingga tidak boleh ada narasi lain,” terangnya.

Disinggung soal status pending delapan orang tersebut, Wamen menyampaikan nama mereka tetap ada. Namun semua dikembalikan kepada Pj Gubernur Papua untuk melakukan revieuw  terkait dengan keputusan  yang sudah dikeluarkan, karena hasil penelitian berkas sudah dilakukan.

“Kalau saudara-saudara ini kita mau akomodir kembali khususunya di Pokja agama, saya kira  revisi kembali Perdasi nomor 5 tahun 2023. sehingga mereka bisa masuk,” ucap Wamen.

“Tidak ada diskriminasi di sini, namun yang menyandera kita adalah perdasi nomor 5 tahun 2023. Tergantung Pj Gubernur, mau direvisi untuk mengakomodir mereka atau tidak. Pemerintah pusat mengiginkan semua berjalan dengan baik,” sambungnya.

Sementara itu, Wamen menyebut bahwa kehadiran MRP merupakan implementasi kebijakan dari otonomi khusus di Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang  Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

MRP adalah Lembaga yang dibentuk sebagai representasi kultural masyarakat asli Papua yang memiliki kewenangan dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kehidupan beragama. Sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MRP hanya ada di Papua, yang tidak terdapat di daerah lain di Indonesia maupun Negara lainnya.

Adapun MRP mempunyai peran strategis dalam memperjuangkan dan perlindungan orang asli Papua. Peran tersebut tercermin dalam kewenangan yang dimiliki oleh MRP diantaranya memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama dengan Gubernur. Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut penyelesaiannya. Memberi pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRK dan bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

“Tantangan pelaksanaan tugas MRP lima tahun kedepan akan sangat besar dan kompleks. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dalam waktu dekat, Provinsi Papua akan melaksanakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. MRP mempunyai peran strategis khususnya dalam kewenangan dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, sesuai kriteria keaslian bakal calon gubernur dan wakil gubernur berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2004,” terangnya.

Tugas lain yang tidak kalah pentingnya adalah dalam proses penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) bersama dengan gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), serta mendorong pihak eksekutif agar dapat mengimplementasikan secara baik dan optimal Perdasus yang sudah ditetapkan.

Menurut Wamendagri, pemilihan anggota MRP masa jabatan tahun 2023-2028 sempat tertunda beberapa kali, sehingga anggota MRP masa jabatan tahun 2017-2022 diperpanjang sampai selama kurang lebih tujuh bulan.

“Hal ini perlu menjadi catatan dan perhatian serius, agar dikemudian hari tidak terjadi lagi perpanjangan keanggotaan MRP. Oleh karena itu, menjadi kewajiban Gubernur Papua, DPRP serta MRP masa jabatan 2023-2028 untuk melakukan evaluasi terhadap proses pemilihan anggota MRP yang lalu, dan mempersiapkan pemilihan anggota MRP yang akan datang dengan sebaik-baiknya,” terangnya.

Adapun terkait dengan pelaksanaan tugas anggota MRP masa jabatan 2023-2028 diantaranya, anggota MRP masa jabatan 2023-2028 untuk melakukan pendalaman dan pemahaman terhadap substansi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua. Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan peraturan tindak lanjutnya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008, serta Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2021.

Sebagai lembaga kultural, anggota MRP hendaknya tidak masuk dalam ranah politik praktis dan lebih fokus pada pelaksanaan kewenangan dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kehidupan beragama.

Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan gubernur dan lembaga perwakilan daerah dalam mendorong penyelesaian peraturan pelaksana Undang-Undang Otsus yang belum terbentuk, dan mendorong peraturan pelaksana yang sudah ditetapkan agar diimplementasikan secara optimal.

“MRP juga berfungsi sebagai wadah rekonsiliasi, terutama menyangkut hak-hak dasar orang asli Papua. Perwakilan adat bertugas memberikan pertimbangan pada Pemerintah dalam menjalankan Kebijakan Pembangunan untuk memperhatikan adat budaya orang Papua,” ucapnya.

Sedangkan komponen perempuan adalah kelompok yang masih kerap menjadi korban kekerasan dalam kehidupan. Sekarang diberikan tempat bagi wakil perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka agar setara dengan laki-laki dalam pengembangan diri dan peningkatan sumber daya manusia.

Selain itu, wakil agama berperan untuk menjaga kerukunan umat beragama dari konflik yang timbul akibat penerapan kebijakan yang salah.

“Secara khusus saya juga berpesan kepada para bupati serta seluruh unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, dapat membangun komunikasi dan kerjasama yang baik dengan MRP serta mendukung pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban MRP sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan,” pungkasnya. (fia/wen)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version