Site icon Cenderawasih Pos

Sulit Untuk TPN-OPM Memenangkan Peperangan

Marinus Yaung ( FOTO: Gamel/Cepos)

JAYAPURA-Tandatangan perang dan statemen yang disampaikan Undius Kogeya, salah satu pimpinan kelompok TPN-PB Kodam VIII Intan Jaya bahwa ia telah mengibarkan 3 bintang  kejora di 3 titik sekaligus menjadi pernyataan melanjutkan perang melawan TNI-Polri di awal tahun 2022 ini, ditanggapi oleh salah satu akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Marinus Yaung.

Pria yang kini tengah menempuh studi di Jakarta ini melihat bahwa pernyataan perang TPN-PB merupakan bentuk penekanan psikologis kepada negara agar negara bisa mengevaluasi dan membenahi setiap kebijakan strategisnya terhadap Papua.

Hanya saja ia berpendapat bahwa perang yang dicanangkan oleh TPN-PB  ini adalah perang yag tidak bisa dimenangkan. Pasalnya, secara dari sisi jumlah pasukan dan kekuatan serta  senjata  dan personel yang dimiliki sangat jauh sekali dengan TNI-Polri.

Perang ini menurutnya menjadi perang yang tak bisa dimenangkan dan hanya akan membentuk 1 lingkaran kekerasan di Papua dan jika itu terjadi terus maka korban disipil maupun militer akan terus berjatuhan. “Sebagai akademisi saya sampaikan pernyataan tegas bahwa sejak 28 Juli 1965 hingga tahun ini sudah lebih dari 60 tahun TPN-OPM mengangkat senjata melawan negara tapi hingga kini tak ada tanda-tanda menenangkan. Sementara Fretelin di Timor Leste hanya butuh 24 tahun untuk akhirnya ada hasil dan merdeka,” beber Yaung kepada Cenderawasih Pos di Jayapura, Selasa (4/1).

Lalu yang membedakan adalah Fretelin menang karena status hukum yang kuat di mata internasional. Timor-Timur (sekarang Timor Leste) masuk ke Indonesia dalam deklarasi Balibo, 30 November 1975 dan momentum itu tidak diakui internasional karena hanya dilakukan sepihak. Hanya kelompok tertentu yang mengklaim bahwa Timor-Timur menjadi bagian dari Indonesia. Ini berbeda dengan  Papua yang masuk Indonesia berdasarkan perjanjian internasional yang diawali New York Agremeen 15 Agustus 1962 yang berakhir  dengan dikeluarkannya resolusi PBB nomor 2504  tahun 1969. “Dengan dasar hukum ini mencatat Papua menjadi wilayah sah Indonesia, sehingga sulit bagi TPN-OPM memenangkan peperangan ini. Perang yang dicanangkan sampai kapanpun itu bukan perang kemerdekaan tapi justru akan menjadi catatan bagi dunia internasional  karena  menyangkut nilai kemanusiaan dan simbol peradaban. Artinya ada warga sipil yang  dijadikan sasaran tembak oleh OPM dan simbol peradaban seperti sekolah dan Puskesmas yang dibakar. Cara – cara ini  tidak disukai dunia internasional,” tegasnya.

Selain itu ia menyorot bahwa OPM juga bukan kelompok yang diakui hukum internasional. Malah dari aksi – aksinya selama ini, kelompok ini justru disebut kelompok teror atau teroris.   Karenanya Yaung meminta siapapun kelompoknya baik di hutan, di Jayapura hingga  kota studi lainnya untuk mengakui hal ini. Sulit untuk memenangkan peperangan karena sehari awal juga salah.

“Ini waktunya bagi kelompok elit dari kelompok TPN-PB menjadi corong kebenaran yang menyuarakan sesuatu yang sebenarnya soal kondisi saat ini bahwa ini perang yang tak bisa dimenangkan. Metode perang dan kekerasan sudah harus ditinggalkan. Saya meminta pada advisor yang meminta TPN-PB bergerak seperti ini mengakui saja bahwa upaya yang dilakukan tidak akan berhasil  dan salah,” singgungnya.

Catatan lainnya adalah, untuk tahun ini Indonesia melalui Presiden Joko Widodo terpilih menjadi ketua organisasi G-20. Dimana yang perlu diingat adalah negara – negara maju semua tergabung dan diatur di dalam G-20 dan Indonesia saat ini  didapuk memimpin kelompok G-20.  Artinya  ada kekuasaan yang begitu besar di tangan Jokowi dan ini dengan sendirinya akan menutup dan membatasi setiap proses internasionalisasi isu Papua. “Power Jokowi sangat menentukan isu Papua yang dimainkan Benny Wenda di Eropa dan di Pacific. Untuk tahun ini, saya pikir akan sia-sia dan buang – buang waktu. Bahkan bisa saja katakan seperti mimpi di siang bolong jika mau berteriak perang dan merdeka. Itu omong kosong,” cecar Dosen Fisip Uncen tersebut.

Selain itu negara Vanuatu yang selama ini mendukung Papua lepas dari NKRI  juga akan mengakhiri jabatan sebagai ketua MSG dan PIF pada Agustus 2022. “Ini situasi sulit bagi  Vanuatu untuk melakukan lobi – lobi politik  ke dunia internasional.  Jadi untuk tahun ini saya pikir tidak akan mengalami perkembangan yang signifikan. Sebab bisa saja isu Papua merdeka justru berhenti dari moment – moment di atas tadi,” sambungnya.

Disinggung soal cara-cara yang dilakukan TPNPB dengan membakar dan merusak apakah menggambarkan bentuk keputusasaan sebuah pergerakan, menurut Yaung hal tersebut memiliki arti dalam komunitas internasional. “Negara luar dan pemerhati internasional akan menganggap bahwa kelompok ini sudah berada dalam posisi yang kalah makanya hanya bisa melakukan perlawanan dengan membakar dan merusak. Saya yakin komunitas internasional akan membaca seperti itu. Kalau ada kelompok perang yang hanya membakar dan merusak maka itu sudah memberi sinyal bahwa ini kelompok yang kalah dan tak bisa melakukan apa – apa lagi,” tegas Yaung.

Posisi TPNPB kata Yaung kini berada pada posisi kelompok yang kalah dalam perlawanan makanya melakukan tindakan – tindakan seperti itu, membakar, merusak. “Saran saya, cara yang tepat adalah aktor intelektual yang mengatur dan mengontrol TPN- OPM  ini jangan lagi memasukkan kepentingan pribadi dalam perjuangan pergerakan Papua merdeka  meski yang sering dipakai adalah demi kemanusiaan dan hak hidup orang Papua. Ingat, karena kepentingan itu justru banyak yang jadi korban. Harus rubah metode,” ujarnya.

“Saya melihat aktor intelektual ini bisa individu maupun organisasi dan saat ini sudah banyak tumbuh di Papua dan kota studi lainnya. Saya pikir harusnya bisa memulai dengan berdialog secara logis tanpa harus mengedepankan cara – cara kekerasan karena itu tidak lagi menarik simpati dunia internasional,” pungkasnya. (ade/nat)

Exit mobile version