Site icon Cenderawasih Pos

Presiden Jokowi Diminta Segera Intervensi Krisis Blok Wabu

Thomas Ch. Syufi, Direktur Eksekutif Papuan Obsevatory for Human Rights. (FOTO:Karel/Cepos)

JAYAPURA– Presiden RI Joko Widodo diminta segera turun tangan untuk melihat krisis kemanusiaan yang terjadi di Intan Jaya, Provinsi  Papua Tengah, terutama lokasi eksploitasi tambang emas Blok Wabu yang kini menjadi polemik antara warga masyarakat dan pemerintah, termasuk aparat TNI-Polri. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Papuan Obsevatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, kepada Cenderawasih Pos, Selasa (30/1) kemarin.

Diaktakan, masyarakat termasuk Forkopinda yang dipimpin oleh Pj Bupati setempat sudah menolak Eksploitasi Blok Wabu dan Pembangunan Patung Yesus.

“Eksploitasi Blok Wabu merupakan bisnis oknum-oknum tertentu, bukan untuk kepentingan masyarakat dan sudah ditolak oleh masyarakat hingga Presiden atas kewenangannya segera turun hentikan semua dan bekukan semua izin yang dapat memberi hak konsesi kepada pebisnis untuk bermain tambang di Blok Wabu,” desaknya.

Demikian juga terkait pembangunan patung Yesus oleh TNI/Polri di Intan Jaya, tampaknya menurut Thomas Ch. Syufi, pembangunan Patung Yesus oleh TNI- Polri di Intan Jaya, sesuatu yang  sangat irasional. Sebab itu dilakukan tanpa didasari dengan pertimbangan hukum maupun diskresi dari pihak TNI-Polri.

Apalagi, tujuannya untuk perdamaian, menurutnya hal itu merupakan sesuatu yang utopia, karena akar masalah di Papua seperti keadilan, belum dicabut atau diselesaikan, sehingga ide pembangunan  Patung Yesus sebagai wadah perdamaian adalah sesuatu yang inposibility dan mustahil.

“Tugas mereka adalah menjaga pertahanan dan keamanan negara dan mengayomi masyarakat, bukan mengurus hal-hal religius semacam itu (Pembangunan Patung Yesus),” tegasnya, Selasa (30/1).

Diapun mengatakan Pemerintah harusnya belajar dari sejarah kegagalan Presiden Soeharto dimana Presiden membangun Patung Cristo Rei atau Kristus Raja di Dili, Timor Leste tahun 1996 tujuannya ketika itu juga sama seperti yang dilakukan pleh TNI/Polri membangun Patung Yesus di Intan Jaya, tapi ketika itu Soeharto gagal merebut hati masyarakat Timor Timur.

Sebab kesalahan fatal Soeharto ketika itu dia gagal membuka ruang dialog dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara bekas jajahan Portugis selama 400an tahun itu diinvasi oleh militer Indonesia tahun 1975.

Sehingga menurut pengacara muda Papua itu. Papua juga butuh pendekatan keadilan dan dialogis untuk mewujudkan perdamaian, sebab tidak ada perdamaian tanpa keadilan atau dalam bahasa latin “no peace without justice”, atau “si vis pacem para iustitiam” (Jika menginginkan perdamaian siapkan keadilan), bukan siapkan peralatan tempur atau perang.

“Boleh saja dibangun patung perdamaian, tetapi setelah upaya perdamaian terhadap  berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua sejak tahun 1960an hingga sekarang,” tandasnya.

Sebab penyelesaian perosalan di Papua  harus bersifat holistik dan koprehensif,  bukan parsial dan subjektif. Setelah proses itu dilakukan barulah dibangun patung sebagai hadiah atsu bentuk perdamaian.

Hal lain juga belajar dari pembangunan  Patung Liberty di Amerika Serikat yang dibangun pada Abad ke-19. Patung tersebut kata Thomas dibangun sebagai lambang  kebebasan atau sebagai hadiah Prancis kepada Amerika Serikat sekaligus sebagai simbol hubungan persahabatan antar kedua negara pasca-perang atau berselisih.

Tapi juga the Peace Bridge atau Jembatan Perdamaian di Derry, Ibu Kota Irlandia Utara yang dibangun setelah terjadinya proses perdamaian atas konflik 30 tahun di negara itu melalui Perjanjian Jumat Agung yang ditandangi oleh  PM Irlandia Utara David Trimble dan PM Inggris Tony Blair.

Serta Patung Nagasaki dan Monumen Perdamaian Hirosima di Jepang yang diresmikan tahun 2022 juga kan dibangun setelah berakhirnya Perang Dunia II di tahun 1945 dan dimulai dengan babak perdamaian baru, juga sebagai simbol mengenang para korban bom Hiroshima dan Nagasaki sekaligus semua korban kekejaman.

“Jadi, perdamaian tidak bisa diwujudkan saat situasi masih dalam konflik dan para pihak belum duduk bersama, melakukan pertemuan dan pembicaraan bersama,” tuturnya.

Diapun mengatakan dialog mungkin menjadi syarat mutlak bagi perdamaian Papua, dengan mengakhiri konflik 60an tahun antara Papua dan Jakarta.

Apalagi dialog tidak, merugikan pihak manapun, namun justru membawa solusi dalam memcehkan masalah yang ada di Papua.

“Tujuan dialog adalah mencari perbedaan, menemukan solusi bersama, dan menyatukan para pihak yang mungkin saja berbeda perpektif, bukan memeliha konflik yang berlarut-larut sekaligus melahirkan bencana bagi kemanusiaan yang mengenaskan,” ungkapnya.
(rel)

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version