Site icon Cenderawasih Pos

Perlu Integrasi Modul yang Bermuatan strategi Penanggulanagan Radikalisme

Mahasiwa baru utusan dari masing-masing fakultas saat ikut PKKMB di Audotorium Uncen, Senin (12/8). (foto: Karel/Cepos)

Upaya Mencegah Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Mahasiswa  Uncen

Pencegahan dan Penanggulangan Intoleransi Radikalisme, Terorisme, dan Penyebaran Paham Paham yang Bertentangan dengan Ideologi Negara, menjadi satu hal yang sangat penting yang perlu ditanamkan bagi mahasiwa baru di Kampus Uncen. Karena itu,  materi ini menjadi salah satu yang dipaparkan pada Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Uncen di Auditorium Uncen, Senin (12/8).

Laporan: Karolus Daot-Jayapura.

Mengacu pada data statistik, Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni oleh dua ras terbesar yaitu ras Melanesia dan Austronesia. Ras Melanesia tersebar di wilayah Papua dengan jumlah 250 suku, sementara Austronesia 220 suku.

  Ras Austronesia ini tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, meliputi Sumatera, terdapat 100 suku, Jawa dan Madura 20 suku, Bali dan Nusa Tenggara 30 suku, Kalimantan 40 suku dan Sulawesi 30 suku.

Selain suku, Indonesia juga memiliki 5 agama terbesar, diantaranya Islam 231 juta penduduk, Protestan 19,25 juta penduduk, Katholik 8, 25 juta penduduk Agama Hindu 4, 7 juta penduduk, dan Agama Budha 2 juta penduduk.

  Perbedaan antara suku, ras dan agama ini cukup besar. Bila kepentingannya tidak diakomodir dengan baik, maka akan memunculkan radikalitas yang bertentangan dengan paham paham ideologi negara.

  Kondisi ini menuntut satu pemahaman untuk berdiri teguh pada 4 pilar kebangsaan, meliputi NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan Pancasila. “Kalau 4 pilar kebangsaan ini terganggu, maka negara ini akan bubar,” ujar Ibrahim Kristofol Kendi S.Sos., MPA, selaku pemateri pada PKKMB.

  Menurutnya, sikap intoleran juga akan muncul karena dipengaruhi dengan adanya kebijakan Asimetris.  Di Indonesia ada beberapa wilayah yang menganut kebijakan asimtetris,

meliputi Provinsi Aceh dan Papua menganut kebijakan otonomi khusus, kemudian Jakarta, adanya kekhususan sebagai daerah ibukota, dan Jogja sebagai daerah istimewa.

  “Kebijakan asimetris ini akan berpotensi memunculkan apa yang disebut etno politik. Etno politik juga akan mengelompokan kita dalam polarisasi yang sangat prinsip, sehingga menimbulkan radikalisme,” ujar Ibhraim.

  Di Papua pun kata dia, pengaruh kebijakan Asimetris ini cukup rentan terjadinya radikalisme. Seperti misalnya dengan adanya pemekaran Daerah Otonomo Baru (DOB), masyarakat adat Tabi-Saireri, dengan wilayah adat lain di tanah Papua saling memegang prinsip wilayah administrasi.

“Kondisi ini jika tidak di akomodir dengan baik maka akan menimbulkan sikap intolrenasi.Indonesia cukup rawan dengan kondisi ini,” tuturnya.

   Lebih lanjut Pembantu Dekan III Fisip Uncen itu menjelaskan ada beberapa faktor sehingga menyebabkan Intoleransi itu terjadi. Pertama kurangnya pendidikan dan pengetahuan. Ketidak tahuan informasi tentang agama budaya yang berbeda dapat memicu ketidak pahaman dan prasangka.

  Misalnya seseorang yang tidak mengetahui tentang agama lain, mungkin merasa cemas terhadap praktek agama tertentu. “Ada sebuah pemahaman yang muncul, lalu kita tidak mengetahui tentang keyakinan itu kemudian kita lakukan penyebaran atau intoleran,” kata Ibrahim.

   Selain pengetahuan, juga sosial dan budaya. Lingkungan sosial dan budaya dimana seseorang dibesarkan dapat mempengarui seseorang terhadap pandangan budaya orang. Hal lain penyebab intoleran karena dipengaruhi sosial dan budaya. Lingkungan sosial dan budaya di mana seseorang dibesarkan dapat memengaruhi pandangan mereka terhadap perbedaan.

  Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan nilai-nilai eksklusivisme atau diskriminasi, mereka mungkin lebih cenderung mengadopsi sikap intoleran. “Jadi sikap intolren bisa tumbuh dimana orang itu berada,” jelas Ibrahim

   Tidak hanya itu, penyebab intoleran karena pengalaman negatif. Pengalaman buruk dengan individu atau kelompok tertentu dapat menyebabkan generalisasi negatif terhadap seluruh kelompok tersebut.

  Kondisi ini terjadi pada seseorang yang pernah mengalami penipuan atau pengkhianatan dari individu dari kelompok tertentu mungkin mengembangkan sikap negatif terhadap seluruh kelompok itu.

   “Misalnya kita pernah dipersekisi oleh klompok atau agama tertentu, lalu kita dendam dengan mereka, darisitulah muncul adanya radikalisasi,” jelasnya.

   Dampak daripada sikap intoleran terjadi pada beberapa hal, pertama diskriminasi dan ketidakadilan. Dijelaskan perlakuan tidak adil terhadap individu atau kelompok berdasarkan perbedaan seperti ras, agama, gender, atau orientasi seksual.

   Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam kesempatan kerja, pendidikan, layanan kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya. Selain itu akan berdampak terjadinya konflik sosial dan emosional.  Ketegagan dan permusuhan antara kelompok kelompok intoleransi dapat berujung pada kekerasan perselisiahan, yang berkepanjangan dan perpecahan didalam masyarakat.

   Lebih lanjut kesehatan mental dan emosional. Ini akan menyebabkan stres, kecemasan, depresi, dan gangguan kesehatan mental lainnya pada korban intoleransi. Dan dampak pendidikan dan pengembangan. Hambatan dalam akses dan kualitas pendidikan akibat intoleransi. “Individu atau kelompok yang mengalami intoleransi mungkin menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas atau merasa terpinggirkan di lingkungan pendidikan,” jabarnya.

   Untuk mengatasi terjadinya sikap intoleran tersebut terutama di Kampus, maka perlu dilakukan beberapa strategi. Pertama perguruan tinggi perlu melakukan proses integrasi kurikulum atau modul yang bermuatan strategi penanggulanagan radikalisme.

Mengintegrasikan mata kuliah atau modul tentang keberagaman, hak asasi manusia, dan studi etnis dalam kurikulum akademik. Ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai perspektif dan menghargai perbedaan.

   Kemudian pelatihan sensitivitas dan antidiskriminasi. Perguruan tinggi wajib menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa, staf, dan dosen tentang bias, diskriminasi, dan toleransi.

   Pelatihan ini dapat mencakup bagaimana menangani perbedaan budaya dan menciptakan lingkungan yang Inklusif. Hal lain adanya kebijakan dan regulasi antidiskriminasi. Menyusun dan menerapkan kebijakan anti-diskriminasi yang jelas, termasuk prosedur pelaporan dan penanganan kasus intoleransi.

   Menyusun kode etik yang mengatur perilaku mahasiswa dan staf dalam konteks keberagaman dan inklusi, serta menegakkan aturan ini secara konsisten. Jadi secara singkat edukasi dan pelatihan, kemudian promosi dan dialog dan dan kebijakan yang komsisten, haris dilakukan di Kampus untuk menanggulangu paham paham yang bertentangan dengan ideologi pancasila,” ujarnya. (*)

Exit mobile version