Site icon Cenderawasih Pos

Bila SK Dilaksanakan Dikhawatirkan Berdampak pada Kehidupan Masyarakat Adat

Koalisi Penyelamatan Hutan Papua Saat Gelar Jumpa Pres di Kantor LBH Papua, Selasa (31/10). (FOTO:Karel/Cepos)

Menyimak SK No 82 Tahun 2021 yang Digugat Masyarakat Adat Awyo di PTUN Jayapura

Surat keputusan (SK) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel kini digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.  Rencananya gugatan  perkara ini akan diputuskan hari ini.

Laporan: Karolus Daot_Jayapura

Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Hutan dan Hak Masyarakat Adat (Amperamada) Papua bersama Koalisi Advokasi Penyelamatan Hutan (KAPH) Papua meminta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua mencabut surat keputusan (SK) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari (IAL) di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel.

  Selain itu, mereka juga meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura memberikan keputusan yang seadil-adilnya dalam perkara gugatan antara Masyarakat Awyo melawan DPMPTSP Provinsi Papua.

  Pernyataan pencabutan SK tersebut disampaikan dalam jumpa pers Amperamada  bersama Koalisi Advokasi Penyelamatan Hutan Adat Papua serta Direktur Wahli Papua di Kantor LBH Papua, Selasa (31/10).

  Anastasya Manong selaku Jubir AMPERAMADA Papua, menyatakan Perjuangan Frengky Woro (Pimpinan marga Woro) sebagai bagian dari Suku Awyu untuk memperjuangkan tanah adat dan hutan adat Marga Awyu dari Investasi Kelapa Sawit oleh PT IAL telah memasuki tahapan akhir.

  Dimana perkara Gugatan Masyarakat Awyu melawan DPMPTSP Provinsi Papua tersebut akan diputuskan  Kamis (2/11) hari ini di PTUN Jayapura melalui putusan Online.

  Untuk itu pihaknya mengharapkan Majelis Hakim PTUN Jayapura harus lebih profesional dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Sebab pihaknya menemukan banyak kejanggalan yang terjadi selama proses persidangan yang berlangsung kurang lebih 7 bulan belakangan ini.

  “Banyak bukti yang kami temukan selama proses persidangan, salah satunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai rujukan penerbitan SK oleh DPMPTSP Papua sudah kedaluwarsa, selain itu SK yang di keluarkan oleh DPMPTSP kepada PT IAL di Distrik Mandobo cacat hukum,” kata Anastasya.

  Menurut mereka, apabila SK tersebut tetap dilaksanakan maka akan berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat. Dan menjadi pintu masuk bagi jnvestor untuk merampas tanah ada di Papua.

  “Apabila SK Kepala DPMPTSP Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tetap berlaku, maka akan berdampak pada hilangnya tanah dan hutan adat dalam wilayah marga Awyo sebagai bagian dari suku Woro yang kita tau bersama bahwa hutan adat tersebut sangat memberi dampak pada kehidupan masyaraka setempat,” kata Ansatasya.

  Pada prinsipnya lanjut Anastasya perjuangan Pimpinan Marga Woro dalam memperjuangkan tanah dan hutan adat Awyo bukan semata mata untuk kepetingannya pribadi mereka, namun bagi seluruh komunitas marganya yang masih hidup maupun anak cucunya dalam wilayah adat marganya.

  “Untuk itu kami harapkan agar Majelis Hakim dapat memeriksa perkara ini secara jeli, serta memberikan keputusan yang seadil adilnya untuk masyarakat adat,” harapnya.

   Senada juga disampaikan oleh Direktur Wahli Papua, Maikel Peuki, dimana dikatakanya bahwa dasar adanya gugatan tersebut oleh Frengky Woro selaku pimpinan Marga Woro yang merupakan, bagian dari Suku Awyu, terjadi karena mereka menilai proses pengurusan lahan hutan adat tersebut tidak melibatkan masyarakat adat setempat.

   “Masyarakat adat merasa proses pengurusan SK tanah ini, sangat merugikan mereka karena mereka tidak dilibatkan,” kata Maikel.

  Sementara Emanuel Gobay selaku Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Adat Papua menyampaikan dalam perkara tersebut secara prinsip ada banyak isu yang mereka ajukan sebagai dalil gugatan diantaranya, isu tentang masyarakat ada dan hak hak yang melekat pada mereka. Dimana menurutnya Frengky Woro dalam menggugat DPMPTSP Papua, betul betul memperjuangkan hak masyarakat adat, dan juga anak cucu mereka.

    Merekapun mengaggap perjuangan Frangky Woro tersebut harus didorong. Sebab eksistensi    pimpinan marga beserta hak haknya yang melekat pada pimpinan marga diakui oleh negara.

  Untuk itu apabila ada inverstor yang masuk untuk membuka usaha diatas tanah adat di Papua, harusnya Pemerintah hadir sebagai mediator antara Masyarakat adat dan Investor. Sebab hak masyarakat adat diakui oleh negara.

  “Tapi sayangnya dalam menerbitkan SK ini, DPMPTSP justru tidak melibatkan pimpinan marga Woro sebagai bagian dari suku Wayo,” tandas Emanuel.

  Hal ini lanjutnya menjadi fakta kuat bagaimana DPMPTSP telah terbukti melanggar asas umum pemerintahan yang baik. Padahal Frengky Woro sebagai salah satu pemilik lahan dari objek perkara ini,, tidak dilibatkan dalam penerbitan SK ini. “Inikan bukti bagaimana pemerintah tidak menghargai hak masyarakat adat,” kata Emanuel.

   Yang sangat disayangkan lagi kata Emanuel Gobay, tim penilaian Amdal terhadap lahan tersebut, justru memberikan rekomendasi kepada DPMPTSP sebagai rujukan Penerbitan SK No. 82 tahun 2021.

  Ada apa dengan tim penilaian Amdal ini, karena kami tau yang membiaya proses Analisis mengenai dampak lingkungan hidup ini, dibiayai oleh PT IAL, tidak mungkin pemerintah menyediakan APBD untuk menganalisi ini, jadi hal inilah yang patut dipertanyakan,” tandasnya.

   Lebih lanjut dia sampaikan kenapa tuntutan masyarakat adat Awyo harus didorong, sebab didalam hutan yang menjadi objek perkara terdapat banyak makluk flora dan fauna. Jika SK tersebut dilaksanakan, lantas bagaimana nasib hewan hewan yang ada didalam hutan tersebut.

  “Padahal kita tau bahwa makluk flora dan fauna yang ada, juga bagian dari mata pencaharaian masyarakat setempat, tapi kalau hutan adat ini dijadikan lahan dan pabrik sawit, bagaimana nasib masyarakat setempat,” tanyanya.

  Oleh sebab itu menurutnya perjuangan Frengky Woro dalam mepertahankan hutan adat tersebut sangat jelas untuk kelentingan hak hidup masyarakat adat Awyo. Diapun mengatakan ada banyak hal yang menjadi dasar tuntutan masyarakat adat dalam penerbitan SK No. 82 tahun 2021 tersebut. Sehingga pihaknya mengharapkan Majelis Hakim PTUN dalam memutuskan perkara tersebut tidak terpengaruh dengan intervensi pihak lain.

  “Namun kami harapkan Majelis Hakim memberikan putusan yang berpihak pada hajat hidup masyarakat adat di Papua,” pungkasnya. (*/tri)

Exit mobile version