Site icon Cenderawasih Pos

Maju-Mundur Revisi PKPU Pencapresan, Ketua KPU RI Bantah Berkunjung ke Istana

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (Miftahul Hayat/Jawa Pos)

JAKARTAKomisi Pemilihan Umum (KPU) RI kembali memperlihatkan sikap tidak konsisten. Yakni, soal tindak lanjut aturan batas usia capres/cawapres setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Terbaru, KPU RI memutuskan untuk merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden/Wapres.

Sikap KPU tersebut merupakan kali kedua. Awalnya, 16 Oktober 2023, KPU menyampaikan akan merevisi PKPU 19/2023. Namun, berselang dua hari kemudian (18/10), sikap itu berubah.

Lembaga penyelenggara pemilu tersebut hanya mengeluarkan surat dinas yang ditujukan ke parpol. Dalihnya, diktum dan putusan MK sudah jelas dan bisa dijadikan landasan.

Eh, kemarin (25/10) tiba-tiba Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyampaikan sikap berbeda lagi. Dia tidak menampik, jajarannya akan merevisi PKPU 19/2023.

Ditanya soal alasannya, Hasyim berkelit bahwa surat dinas yang sebelumnya diterbitkan itu hanya tahap awal. Revisi PKPU akan tetap dilaksanakan. ’’Itu kan bertahap, surat dulu,’’ ujarnya.

Di balik sikap tersebut, beredar desas-desus bahwa Hasyim sempat berkunjung ke Istana Negara pada Senin (23/10). Nah, kabar itu pun memunculkan spekulasi seputar pilpres pasca putusan MK.

Namun, ketika dikonfirmasi, Hasyim membantahnya. Pria asal Kudus tersebut menegaskan, dirinya tidak pernah menerima undangan untuk menghadap ke istana. ’’Saya di kantor, stand by saja,’’ jelasnya.

Hasyim menerangkan, saat ini pihaknya telah berkirim surat ke Komisi II DPR RI untuk dilaksanakan rapat konsultasi revisi PKPU tentang pencapresan tersebut. Dia berharap, seusai reses yang berakhir pada 30 Oktober mendatang, bisa langsung digelar rapat konsultasi.

Kapan revisi PKPU itu bisa selesai? Apakah harus ditargetkan selesai sebelum penetapan capres-cawapres pada 13 November? Hasyim tidak menjawab dengan gamblang. ’’Ya secepatnya lah,’’ ujar akademisi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

Seperti pernah diberitakan, pada pekan lalu (16/10), MK mengabulkan permohonan uji materi judicial review tentang syarat usia minimal capres/cawapres.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU 7/ 2017 tentang Pemilu yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Namun, dari sembilan hakim MK, tiga hakim menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Yakni, Wakil Ketua MK Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya MK menolak permohonan pemohon. Selain itu, dua hakim menyatakan alasan berbeda (concurring opinion).

Putusan itu pun memicu kontroversi dan banjir kecaman. Bahkan, muncul pelesetan MK sebagai Mahkamah Keluarga. Saat ini Mahkamah Kehormatan MK tengah menyelidiki para hakim konstitusi atas laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku atas putusan tersebut.

Putusan MK itu telah memberikan jalan kepada para kepala daerah, anggota DPR/DPRD, dan DPD yang berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres. Termasuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi. (jawapos)

Exit mobile version