Site icon Cenderawasih Pos

Kepala BKKBN: Didik Keluarga dengan Asah, Asih, Asuh

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo pada acara Konsolidasi Nasional Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) di Asrama Haji, Jakarta Timur, pada Jumat (27/10). (Istimewa)

JAKARTA-Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Menurut Dokter Hasto, penyebab utama tingginya angka perceraian itu karena toxic people.

Hal tersebut disampaikan Dokter Hasto saat menjadi narasumber pada kegiatan Konsolidasi Nasional Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) di Asrama Haji, Jakarta Timur, pada Jumat (27/10). Sejak 2015, angka perceraian meningkat pesat. Pada 2021 jumlahnya mencapai 581 ribu keluarga yang bercerai, sedangkan jumlah pernikahan setahun 1,9 juta.

”Saat ini, (angka) perceraian tinggi karena banyak keluarga asalnya adalah orang toxic bertemu orang waras, orang waras bertemu orang toxic atau orang toxic bertemu orang toxic akhirnya kelahi terus dan terjadilah perceraian,” kata Hasto.

Menurut Dokter Hasto, mendidik keluarga cukup dengan asah, asih, dan asuh.

”Asah diajari ilmu agama yang baik, asih dikasihi dengan sebaik baiknya, asuh diimunisasi kemudian diberikan perlindungan yang baik,” ujar dokter Hasto.

 

Dalam paparan terkait tema Keluarga, Hasto menjelaskan, pembangunan keluarga adalah fondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. BKKBN mendefinisikan pembangunan keluarga itu adalah untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas, yang hidup dalam lingkungan yang sehat.

”Itu pasti harus bisa diwujudkan dengan tujuan meningkatkan kualitas keluarga agar dapat hidup dengan rasa yang aman. Caranya banyak dan kebijakannya bagaimana membangun ketahanan keluarga,” tutur Hasto Wardoyo.

Dia menjelaskan, Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan serius karena ada batu loncatan, pada 2030 harus terlampaui dengan baik. Tidak ada yang kelaparan, tidak ada miskin ekstrem dan stunting.

”Seharusnya semua sudah turun jauh. Pendidikan juga harus bagus,” ucap Hasto Wardoyo.

”Saya titip stuntingStunting itu pasti pendek, mereka yang tadi terlalu muda, terlalu tua, anemia, bayinya stunting. Bayi stunting itu baru umur 40 tahun sudah central obes sehingga mudah terkena penyakit,” terang Hasto Wardoyo.

Menurut dia, stunting itu menjadi hambatan bagi bangsa karena pendapatan orang stunting 20 persen lebih rendah dibandingkan yang tidak stunting.

”Sehingga kalau kita ingin keluar dari middle income trap untuk menuju Indonesia Emas berat sekali, kalau stunting terlalu banyak. Panjang badan penting diukur jangan hanya berat badannya saja, karena banyak yang gemuk ternyata stunting,” ujar Hasto.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Dr. Hj. Syifa Fauzia, M. Art menyampaikan, ada beberapa tantangan spesifik masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Pihaknya dapat bersinergi dengan pemerintah, khususnya BKKBN dan BKMT dan komponen lain.

”Ini untuk dapat bisa mencari solusi bersama dengan BKMT. Di sini kita berbicara tentang bagaimana stunting, gizi buruk, serta ibu hamil. Saya sebetulnya sangat sedih jika melihat di berbagai daerah. Stunting, gizi buruk, terutama pada ibu hamil ini menjadi tantangan yang harus dijawab BKMT kalau kita lebih meluaskan program kita selain berdakwah,” papar Syifa Fauzia.

”Kita juga bisa melihat masyarakat perempuan dan anak di sana. Apakah gizinya sudah terpenuhi, karena memang persoalan stunting ini jangan sampai terjadi apa lagi untuk anggota BKMT, ini harus kita sama-sama selamatkan,” ujar Syifa. (*)

Sumber: Jawapos

Exit mobile version