Site icon Cenderawasih Pos

Closing Event, Pemuda Butuh Space Berekspresi

Penampilan grup drama dari Tambraw, Papua Barat pada hari pertama puncak acara Aksi Muda Jaga Iklim yang digelar di Pantai Hecnuck, Hotltekamp, Sabtu (30/10) kemarin. Komunitas muda di Jayapura mengaku membutuhkan ruang untuk berekspresi. (Gamel Cepos)

JAYAPURA – Agenda Aksi Muda Jaga Iklim  yang mulai digelar pada 9 Oktober lalu akhirnya ditutup pada 31 Oktober kemarin. Tercatat dalam sebulan ini ada 9 kegiatan yang digelar kelompok muda yang semua betema lingkungan.  Dari puncak  acara  yang dilakukan terlihat sekali bahwa sejatinya kelompok muda ini memiliki semangat yang tak bisa dipandang sebelah mata. Hanya saja dari semangat tersebut perlu ruang yang bisa digunakan oleh kelompok muda untuk berekspresi. Sejatinya ini bukan keluhan baru melainkan sudah cukup lama disampaikan oleh anak – anak muda di Jayapura.

 Hanya saja hingga kini mimpi tersebut belum tersampaikan. “Bukan perkara mudah bisa menggelar 9 event dalam sebulan di tengah kondisi saat ini tapi kami membuktikan bahwa jiwa dan semangat anak muda di kota ini masih tinggi. Idealisme mereka masih ada dan ini butuh disuport,” kata Adi, dari Yayasan EcoNusa usai penutupan kegiatan Aksi Muda Jaga Iklim di Pantai Hecnuck, Holtekam, Ahad (31/10). Ia  mencontohkan aksi seni drama yang dimainkan mahasiswa asal Tambrauw yang menceritakan tentang kondisi hutan dan lingkungan  mereka yang rusak. Drama ini sambil menggunakan pakaian adat mereka. 

 “Sangat menarik karena mereka datang dengan kepedulian, menceritakan isu lokal di tengah masyarakat  mereka dan itu dilakukan secara gratis, tanpa bayaran. Kami sangat mengapresiasi itu,” jelas Adi. Terkait pemuda butuh space ini juga dikeluhkan oleh Bertho salah satu pemuda yang aktif membuat film – film bertemakan adat dan budaya. Ia menyampaikan bahwa kebanyakan ruang harus disewa sementara dari kelompok muda yang aktif ini datang hanya bermodal volunteer. “Kemarin kami sudah fix dengan lokasi event tapi kami masih dibebankan dengan biaya 2 x lipat. Itu tidak bisa disanggupi teman – teman dan akhirnya kami pindah lokasi,” jelas Bertho. 

 Begitu juga dengan sinergitas antara komunitas dengan pemerintah atau instansi teknis di lapangan. Ia mengaku cukup kaget ketika melakukan pembersihan lokasi kemudian ketika meminta bantuan truk sampah justru harus membayar sebesar Rp 400 ribu lebih dulu. “Kami kesulitan jika harus seperti itu sebab sekali lagi kami berjalan dengan semangat volunteer. Kalau apa – apa semua dinilai dengan uang kami khawatir semangat teman – teman akan hilang. Harusnya hal – hal teknis seperti ini bisa dibantu toh ini juga berbicara untuk kota kita, Jayapura. Bukan daerah lai tapi daerah sendiri,” tutupnya. (ade)

Exit mobile version