Site icon Cenderawasih Pos

Pemkab Merauke Dinilai Tidak Konsisten

Direktur  PT Simpati Tirta Irja Mr. Lotong Fuliono  Foo menunjukkan sertifikat tanah  yang diperolehnya sejak 1995   yang peruntukannya  untuk KPR jauh sebelum Peraturan  Daerah  terbit , kemarin. (FOTO : Sulo/Cepos )

MERAUKE-  Direktur  PT  Simpati Tirta Irja Mr. Lotong Fuliono  Foo menilai  Pemerintah Kabupaten Merauke  tidak konsisten dan  melanggar  hukum  terkait  dengan arahan ruang  untuk pembangunan perumahan bagi Masyaraat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Bloref, Kelurahan Kelapa Lima Merauke.  

   Kepada wartawan   di Merauke,  Senin (23/9), Lotong mengungkapkan sejak   Bupati Soekarjo  tahun 1985  lalu , dirinya sudah mendapatkan   rekomendasi arahan ruang izin lokasi  untuk penerbitan sertifikat   dengan  permohonan  pelepasan   tanah adat seluas  48 hektar   dan pengurusan sertifikat HGB selama 20 tahun.  

  ‘’Rekomendasi diterbitkan   tahun 1995    yang berbunyi  luas bangunan  untuk KPR adalah 60 persen dan sisanya diperuntukan untuk  penghijauan dan resapan,’’ katanya. 

   Selanjutnya, kata     Lotong  pada  saat kepala Bappeda atas Nama Nasori membentuk tim meninjau  lapangan  bersama pihak pertanahan  yang saat itu masih ditangani  Willem Pakidi   dimana saat itu disepakati  bahwa yang diperbolehkan   adalah 41,2 hektar. Sedangkan   sisanya  kurang lebih 7 hektar  digunakan untuk resapan kota  Merauke. 

  ‘’Saat itu, saya   tidak meminta ganti rugi  kepada negara dan merelakan  untuk resapan perumahan KRP dan kepentingan masyarakat secara bersama,’’ katanya. Saat       itu, lanjut Lotong, Pertanahan mengeluarkan  surat ukur nmomor 2717/1996 dimana untuk lahan 41,2 hektar untuk KPR. 

  “Setelah  itu terbitlah sertifikat pertanahan nasional berlambangkan  burung garuda Republik Indonesia  dengan sertifikat   bangunan nomor  8.192  dengan surat ukur  tertanggal 18 maret 1996  dengan surat keputusan Kakanwil BPN Provinsi  Papua,’’ katanya. 

  Menurut Lotong, sejak  tahun 1996 tanah miliknya tersebut    sesuai arahan ruang diperuntuk untuk KPR. Namun  lanjutnya,  Lotong, ketika pihaknya   mulai membangun  perumahan  bagi masyarakat yang  berpenghasilan  rendah tersebut,  ternyata arahan   ruang tidak sesuai  yang telah ditetapkan Bappeda   tahun 1996. 

  ‘’Perlu juga kami   pertanyakan kepada instansi  terkait,   mengapa program yang telah ditetapkan tahun 1996  itu  telah berubah  tanpa  sepengetahuan kami sebagai pemilik tanah. Berarti  pejabat terkait yang  telah melakukan perubahan  ini melanggar  hukum,’’ kata  Lotong.   

   Lotong mengungkapkan, bahwa  jika pihaknya  hanya diberi 100 meter dari jalan, sementara   pada  bagian yang sejajaran perumahan Bloref   ke jalan tunas Jaya justru diberikan arahan ruang dari  Kali Tamu sampai Kali Maro untuk pembangunan   dan industri yang sampai sekarang  belum terwujud. 

  ‘’Ini ada apa. sementara   kami yang  akan membangun  rumah untuk masyarakat  berpenghasilan   rendah  justru hanya diberi 100 meter dari jalan. Saya  minta aparat penegak  hukum untuk mengusut  ini,’’ tandasnya. 

  Karena itu, menurut    Lotong  jika hal ini tidak cepat diselesaikan   maka  dirinya  tidak lagi akan membangun  perumahan MBR tapi  rumah  komersial yang  menurutnya  sudah  barang tentu  masyarakat berpengasilan rendah sulit  untuk mendapatkan  rumah  tersebut. (ulo/tri) 

Exit mobile version